Ojek online, alias kendaraan beroda dua yang kini jadi transportasi paling diminati dikala macet melanda ternyata memiliki segudang problematika. Perang tarif antar dua perusahaan, yaitu Go-Jek dan Grab, menjadi satu hal yang paling dominan dalam permasalahan dunia transportasi berbasis digital ini.
Baru-baru ini saja misalnya, ratusan pengemudi Grab di Kota Malang, Jawa Timur, memutuskan pindah ke Go-jek pada Senin, 3 Desember 2018. Mereka merasa kecewa dengan aturan baru Grab yang dianggap membuat pendapatan harian makin menurun. Hal ini sebelumnya juga sempat terjadi para pengemudi Grab di Jakarta, yang beramai-ramai berkumpul di depan kantor Go-Jek, di Kemang Timur, Jakarta Selatan, pada Jumat, 16 November 2018 lalu.
Jadi, aturan Grab saat ini, jika pengemudi ingin medapatkan bonus minimal Rp 50.000, maka harus menghasilkan 200 berlian. Bonus berikutnya adalah Rp 80.000 dengan 265 berlian, Rp 130.000 dengan 350 berlian, dan Rp 180.000 dengan 400 berlian. Sedangkan, satu kali antar Grab Bike bernilai 10 berlian untuk jarak tempuh kurang dari 10 kilometer.
Baca juga: Rentan Diekspolitasi, Pengemudi Ojek Online Butuh Payung Hukum Secepatnya
Sehingga, jika ingin mendapatkan bonus minimal saja, seorang pengemudi harus menjalani 20 kali perjalanan Grab Bike.Di lain sisi, bonus Go-Jek saat ini dianggap lebih besar. Di Go-Jek, dengan mengantar 20 kali penumpang, seorang pengemudi bisa mendapatkan bonus sebesar Rp 80.000. Jelas lebih besar Rp 30.000 dibandingkan Grab.
Namun, secara umum, tarif Go-Ride (layanan sepeda motor Go-Jek) sendiri juga mengalami perubahan beberapa kali. Di awal kemunculannya yaitu pada 2015-an, Go-Ride mematok tarif per kilometer sebesar Rp4.000. Seiring berjalannya waktu, perubahan itu terus terjadi berkali-kali. Pada 2018 saja misalnya, tarif per kilometer pada Juni 2018 dipatok Rp2.200 hingga Rp3.300, tapi di November, tarifnya menjadi Rp1.200 per kilometer.
Baca juga: Minta Perlindungan Hukum, Pengemudi Ojek Online Demo ke Istana Negara
Mengapa bisa demikian? Tentunya hal ini berkaitan dengan penyesuaian tarif dengan perusahaan tandingan. Vice President Corporate Affair Go-Jek Michael Say mengakui bahwa satu-satunya pesaing Go-Jek kini adalah Grab. “Kalau (tarif Go-Jek) nggak disesuaikan (kondisi pasar) demand-nya nanti pindah,” ujar Michael Say.
Maka tak heran, beberapa minggu belakangan ini, para penumpang yang ingin memesan Go-Ride cukup kesulitan mencari pengumudi. Sebab rata-rata para pengemudi hanya mau mengambil orderan di bawah 10 kilometer.
Karena tarif dasar Go-Jek saat ini berharga Rp8.000, dan per kilometer dipatok Rp 1.200. Itu artinya, orderan dengan jarak lebih dari 10 kilometer hanya menguntungkan penumpang, tapi tidak dengan pengemudi seperti dirinya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo mengaku pemerintah memang tak membuat aturan spesifik mengenai ojek online. Alasannya karena tidak ada undang-undang yang mengamanahkan kementerian perhubungan menerbitkan kebijakan ojek online. Berbeda dengan transportasi roda empat yang termasuk kategori angkutan konvensional.
Baca juga: Tolak Peraturan Menteri, Sopir Taksi “Zaman Now” Long March Ke Istana
Berbeda dengan taksi online, ojek online masih belum punya status apalagi regulasi yang jelas dari pemerintah. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga seakan melepas tangan terkait perang tarif di dunia ojek online. Hal ini terjadi karena ojek yang merupakan kendaraan beroda dua tidak termasuk jenis angkutan umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Karena tidak bisa menteri membuat standar mengenai tarif. Tidak ada payung hukumnya. Boleh saja niat baik, tapi kalau tidak ada dasar hukumnya juga bisa jadi salah,” kata Sekretaris Jenderal Kemenhub Sugihardjo.
Sehingga, kata Sugihardjo, peran Kemenhub hingga saat ini hanya sebatas menjadi penengah antara penyedia layanan jasa ojek online dengan para pengemudinya.