Gerakan 212 yang dilakukan pada tanggal 12 Desember 2016 merupakan gerakan yang jelas. Gerakan tersebut bertujuan untuk meruntuhkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari kursi Gubernur DKI Jakarta untuk masa kepemimpinan selanjutnya, sekaligus memenjarakan Ahok atas tindakannya yang didakwa menistakan agama Islam. Sama seperti gerakan-gerakan yang sukses pada umumnya, gerakan 212 begitu solid dan kuat karena ada musuh bersama dan tujuan yang spesifik.
Selepas semua tujuan telah tercapai, yaitu menjebloskan Ahok ke penjara, gerakan 212 tiba-tiba nampak seperti kehilangan arah. Tidak adanya lagi tujuan dan pandangan yang sama dalam gerakan tersebut justru semakin terlihat. Hal ini terlihat, salah satunya, adalah dari banyaknya tokoh-tokoh yang keluar dari gerakan tersebut. Salah satunya adalah Usamah Hisyam, Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) yang mundur dari jabatan Anggota Penasihat Persaudaraan Alumni (PA) 212. Siapa Usamah Hisyam ini?
Usamah Hisyam adalah seseorang yang benar-benar seorang wartawan yang meniti karir dari bawah. Menjadi anak ketujuh dari dua belas bersaudara, Usamah pindah ke Jakarta selepas lulus dari SMP. Di Jakarta, ia masuk ke SMA 36 Rawamangun, Jakarta Timur. Di SMA ini lah jiwa kewartawanannya begitu terasa, dengan mendirikan majalah sekolah yang diberi nama Kreasi. Untuk membuat majalahnya tenar, ia mengajak dua penyanyi remaja tahun 1980-an, Dian Mayasari dan Jayanti Mandasari, untuk ikut mengasuh Majalah Kreasi.
Lulus dari SMA, ia pun melanjutkan sekolah ke Sekolah Tinggi Publisistik di Lenteng Agung, atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Ia masuk ke sekolah tinggi ini tahun 1984. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Usamah menjadi penulis lepas dan wartawan freelance di beberapa media, seperti Harian Minggu Sinar Harapan, Harian Pelita, dan Majalan Sportif.
Lulus kuliah, Usamah diterima sebagai wartawan di Majalah Bulanan Popular. Spesialisasi Usamah saat itu adalah profil para artis sekaligus menulis tentang artikel sepak bola. Ia menuliskan berita-berita tersebut di bawah binaan Pemimpin Redaksi Majalah Popular, John Halmahera.
Pengalamannya yang sudah cukup besar di dunia wartawan membuat ia didapuk oleh Majalah Matra sebagai redaktur di tahun 1989 hingga 1990. Bekerja bersama nama-nama besar seperti Fikri Djufrie, Nano Riantiarno, Atmodjo, dan Kun Syarief Hidayat, menjadi inspirasi utama Usamah. Berbarengan dengan naiknya jabatan Usamah menjadi redaktur, ia pun mendapatkan gelar sarjana Komunikasi di athun 1989.
Perkenalannya dengan Surya Paloh di pertengahan tahun 1991, yang saat itu sedang mengembangkan Kelompok Usaha Surya Persindo, membuat ia direkrut menjadi Redaktur Edisi Minggu Media Indonesia. Di tahun 1995, Usamah pun didapuk menjadi Redaktur Politik dan Keamanan (Polkam) di Media Indonesia, jabatan yang begitu prestisius karena menentukan wajah Harian Media Indonesia. Menjadi wartawan bidang Polkam, Usamah mendalami dunia politik, karena ditugaskan untuk mengawal perkembangan pemberitaan serta dinamika politik di lingkungan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Penugasan ini melebarkan akses komunikasinya ke petinggi-petinggi PPP seperti Ketua Umum PPP saat itu Buya Ismail Hasan Metareum, dan Hamzah Haz.
Komunikasi yang terus berlanjut dengan Buya membuat Usamah dipilih menjadi speech writer Ketua Umum PPP di tahun 1992-1998. Muktamar III PPP tahun 1994, Usamah diangkat menjadi Ketua Departemen Penerbitan dan Media Massa DPP PPP. Di Pemilu tahun 1997, Usamah terpilih menjadi anggota MPR/DPR RI dari Dapil Jawa Timur. Pahamnya ia dalam bidang Politik dan Keamanan membuat ia terpilih menajdi anggota komisi I DPR RI, sekaligus menjadi anggota Badan Pekerja MPR RI tahun 1998-1999. Kala menjadi anggota legislatif, Usamah memperjuangkan UU Pers, yang bertujuan untuk memerdekakan pers secara profesional.
Di tahun 1998 hingga 2003, Usamah aktif di Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK). Keaktifannya di gerakan kepemudaan ini membuat Usamah dipercaya menjadi Asisten Pribadi Wakil Presiden RI kala itu, Hamzah Haz, yang memang datang dari PPP.
Pindah dar PPP, Usamah ditawari menjadi pemimpin Partai Demokrat Provinsi Banten. Seizin Ketua Umum PPP Dr. Hamzah Haz, Usamah pun memimpin Partai Demokrat Banten selama tiga tahun dari tahun 2005 hingga tahun 2008. Di tahun 2009, Usamah menjadi konsultan politik Jenderal TNI Wiranto, untuk meloloskan Partai Hanura dari Parliementary Threshold (PT) sekaligus mengupayakan Wiranto menjadi capres/cawapres. Usamah sukses meloloskan Partai Hanura dari PT dengan total suara 3,5 persen dan sukses melobi Wiranto menjadi cawapres Jusuf Kalla di Pemilu 2009 tersebut. Sayangnya, pasangan JK-Wiranto kalah di putaran pertama.
Memimpin Parmusi, Usamah tetap dekat dengan berbagai ormas Islam Indonesia lainnya. Sebut saja Muhammadiyah, NU, dan bahkan FPI. Tidak hanya ormas Islam Indonesia, ia juga dekat berbagai pihak yang tidak berkaitan dengan ormas Islam. Bahkan, Usamah dekat dengan Jokowi, meskipun beberapa kali pernah berseberangan pikiran, seperti menggugat Presiden melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ia merasa bahwa menggugat presiden adalah hal yang biasa dalam demokrasi.
Sampai mundurnya Usamah dari jabatan Anggota Penasihat Persaudaraan Alumni (PA) 212, ia terus aktif dalam Persaudaraan Alumni 212 tersebut. Ia mundur karena tidak sepaham dengan pilihan Ijtima Ulama untuk memilih Prabowo sebagai calon presiden. Usamah, ketika dihubungi oleh CNN Indonesia Selasa (27/11) kemarin, menyatakan bahwa, “Kalau bukan Habib Rizieq, ya Zulkifili Hasan, atau Yusril Ihza, atau Tuan Guru Bajang. Kalau tentara, kan ada Gatot Nurmantyo yang lebih dekat dengan Islam,” ungkap Usamah. Ia pun menilai bahwa 17 poin yang dihasilkan dalam Ijtima Ulama tidak sesuai dengan semangat PA 212 yang selama ini mendambakan penerapan syariat Islam. “Ada enggak yang mengatakan kata ekonomi syariah misalnya. Ada enggak? Satu pun enggak ada. Coba cek. Kenapa ini enggak ada? Katanya yang mau perjuangkan syariat Islam,” tutur Usamah.