Ketika Tuti Tursilawati memutuskan untuk menjadi buruh migran ke Arab Saudi, tentu ia hanya ingin penghidupan yang lebih baik. Ia hanya ingin dapat menafkahi keluarganya di Indonesia dengan bekerja sebaik-baiknya, sama seperti mimpi buruh migran asal Indonesia lainnya. Tetapi alih-alih dihargai dan mendapatkan haknya, Tuti justru menerima sesuatu yang ia tak pernah pikirkan sebelumnya. Dilecehkan, tidak digaji 6 bulan lamanya, diperkosa sembilan pria, dan kemarin, 29 Oktober 2018, Tuti pun dieksekusi mati atas dakwaan membunuh majikan tanpa adanya notifikasi ke pemerintah Indonesia.
Indonesia bukannya tidak pernah mengirimkan bantuan kepada Tuti. Pemerintah Indonesia, selama delapan tahun Tuti menghadapi hukuman mati, telah memberikan beragam bantuan, seperti bantuan hukum, diplomatik, dan sosial padanya. Dalam salah satu artikel Serikat Buruh Migran Indonesia, disebutkan kalau langkah hukum pemerintah Indonesia sudah bermacam-macam bentuknya. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah sudah mendampingi proses investigasi di Kepolisian dan Badan Investigasi, menghadiri persidangan di pengadilan, memberikan pengacara untuk Tuti, melakukan penelusuran secara langsung ke aparat hukum terkait, menyampaikan memori banding, dan melakukan peninjauan kembali (PK). Namun, tidak ada satu langkah tersebut pun yang mengubah keputusan Mahkamah Jazaiyah di Thaif memberikan keputusan hukuman mati Had Ghilah kepada Tuti. Hukuman mati Had Ghilah ini adalah hukuman mati yang cukup tinggi tingkatannya, yang bahkan pengampunan raja dan keluarga korban pun tidak dapat mengurangi hukuman untuk Tuti.
Selain langkah hukum, langkah diplomatik pun sebenarnya pernah dilakukan Indonesia. Mulai dari nota diplomatik, surat pribadi Dubes RI di Riyadh, hingga Surat Presiden RI dan pertemuan antara BJ Habibie dengan pejabat pemerintah Arab Saudi pun tidak mengubah keputusan untuk tetap menghukum mati Tuti Tursilawati. Di luar kedua langkah tersebut, pemerintah juga pernah melakukan bantuan sosial seperti melakukan pendekatan dengan keluarga korban melalui lembaga pemaafan dan rekonsiliasi, memfasilitasi kunjungan orang tua Tuti untuk bertemu Tuti Tursilawati, dan memberikan dukungan moral pada Tuti langsung.
Beragam langkah pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dari berbagai tingkat, mulai dari KJRI hingga presiden. Namun, Arab Saudi tidak bergeming sama sekali. Padahal, jika dilihat secara menyeluruh, bukannya semua ini berangkat dari tingkah laku yang semena-mena dari warga Arab Saudi yang mempekerjakan buruh migran asal Indonesia? Di sini, saya tidak sedang mempromosikan tindakan membunuh seseorang atas motif balas dendam, tetapi memang di sini baik pemerintah Arab Saudi maupun warganya nampak sekali tidak peduli pada kesejahteraan warga Indonesia yang bekerja di sana, terutama warga Indonesia yang bekerja sebagai buruh migran. Kasus pelecehan seksual dan tidak digajinya buruh migran Indonesia di Arab Saudi ini bukannya yang pertama kali. Namun, alih-alih melihat ke warganya sendiri seperti apa, Arab Saudi justru tidak peduli pada kekerasan yang terjadi dan hanya berfokus pada apa yang dilakukan korban seperti Tuti pada majikannya.
Untuk semakin memperjelas kekejaman dan ketidakpeduliannya Arab Saudi pada buruh migran asal Indonesia, mari kita tengok ke beberapa kasus yang masih segar dalam ingatan. Muhammad Zaini Misrin Arsyad merupakan buruh migran asal Madura yang dieksekusi oleh Arab Saudi dengan tuduhan membunuh majikannya di kota Mekkah tahun 2004. Pada tanggal 18 Maret 2018 kemarin, ia dieksekusi mati oleh Kerajaan Arab Saudi. Sama seperti yang sedang terjadi, eksekusi Zaini juga tidak disertai dengan pemberitahuan ke pemerintah RI. Padahal, notifikasi tersebut bersifat wajib dalam aturan mandatory consular notification. Yang lebih parahnya lagi, ada temuan yang mengatakan bahwa Zaini justru dipaksa untuk mengaku telah membunuh dengan cara disiksa. Seperti dilansir detik.com, Toriq, anak dari Zaini, bercerita bahwa Zaini dipaksa mengaku dengan cara dipukul. “Abah dipukul pakai pipa, digantung sampai enggak menginjak tanah. Itu setiap hari perlakukan kayak gitu,” ungkap Toriq dalam acara Mata Najwa, Rabu (28/3/2018).
Sebelumnya, sedikit lebih mundur ke belakang, Siti Zaenab di bulan April 2015 pun juga pernah dieksekusi mati atas dakwaan kasus yang serupa dengan Zaini dan Tuti. Zaenab didakwa membunuh majikannya, Nourah binti Abdullah Duhem Al Maruba. Ia dieksekusi mati di Arab Saudi atas kasus pembunuhannya di tahun 1998. Jika ditelisik ke kronologi hingga terbunuhnya Nourah, adalah Nourah yang awalnya melakukan kekerasan pada Zaenab. Nourah melakukan tindak kekerasan pada Zaenab karena ia meminta ingin pulang pada Hari Raya Idul Fitri tahun 1998. Ia dijambak, dipukul kepalanya, dan dicekik lehernya. Siti pun mencari pisau dan menusuk majikannya sebagai perbuatan balas dendam.
Kejadian yang diterima oleh Zaini, Zaenab, dan kini Tuti adalah tiga contoh dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada buruh migran Indonesia dan bentuk tidak pedulinya pemerintah dan hukum Arab Saudi pada warga Indonesia. Alih-alih memastikan bahwa tidak ada kekerasan dan diskriminasi hak untuk warga Indonesia yang bekerja di sana, Arab Saudi hanya mementingkan apa yang sudah dilakukan oleh buruh migran Indonesia. Padahal, tentunya setiap kasus juga harus ditelisik awalnya seperti apa, untuk menentukan apakah hukuman yang seharusnya diberikan. Di sini, menurut saya, Arab Saudi telah melakukan satu langkah fatal, yaitu tidak menghargai warga dan pemerintah Indonesia yang selama ini menilai Arab Saudi sebagai salah satu negara sahabat.
Tidak hanya pada Indonesia, Arab Saudi ini memang negara yang kontroversial dan semakin kontroversial belakangan ini. Negara yang menjadi pusat Islam namun tetap dapat beraliansi dengan Amerika Serikat. Sedang berusaha mempromosikan pariwisata dan banyak program lainnya untuk meningkatkan devisa dari sektor non-migas, tetapi tidak ramah pada pendatang. Malah belakangan ini, Arab Saudi baru saja membunuh salah satu jurnalis seniornya di Turki. Beragam kontroversi dan kontradiksi ini membuat Arab Saudi menjadi negara yang justru semakin hostile bagi banyak pihak.
Kembali ke kasus buruh migran Indonesia, hal ini juga menjadi bukti lain bahwa Arab Saudi sebenarnya bukanlah negara yang ramah pada pendatang asal Indonesia. Ya, kecuali pada orang-orang kaya yang mau tidak mau terkapitalisasi dengan melakukan perjalanan suci ke sana, Arab Saudi hanya lah sebuah negara otoriter, diskriminatif, dan tidak ramah sama sekali. Indonesia pun seharusnya melakukan langkah berani dengan tidak lagi menganggap Arab Saudi sebagai negara sahabat, setidaknya sampai mereka dapat menjamin hak hidup masyarakat Indonesia. Karena masa iya, kita mau bersahabat dengan negara lain yang tidak menjamin kehidupan saudara kita sendiri?