Sembilan puluh tahun yang lalu, Moehammad Yamin memberikan secarik kertas yang isinya ia tulis sendiri, kepada Sugondo Djojopuspito, di tengah Sunario Sastrowardoyo yang sedang berpidato di sesi terakhir Kongres Pemuda. Tidak ada yang tau isi surat itu selain Yamin dan Tuhan. Yamin hanya berkata pada Sugondo, “ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan kongres ini).” Setelah diberikan ke Sugondo, secarik kertas yang ditulis Yamin pun diedarkan ke peserta kongres lain untuk disetujui dengan cara pembubuhan paraf di surat tersebut. Seusai disepakati dan ditandatangani, Sugondo pun membacakan isi dari secarik kertas tersebut, yang setelahnya dijelaskan oleh Yamin. Sampai saat ini, isi dari secarik kertas yang ditulis oleh Yamin tersebut dikenal oleh seluruh dunia sebagai Sumpah Pemuda.
Cerita di atas merupakan penggambaran yang dijelaskan oleh Sugondo Djojopuspito di dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ke Arah Kongres Pemuda II. Tepat di tanggal 28 Oktober 1928, pemuda Indonesia bersatu untuk mendeklarasikan persatuan gerakan pemuda di seluruh Indonesia. Dalam deklarasi tersebut tertulis nyata dan jelas tentang keinginan pemuda Indonesia saat itu. Yaitu, bahwa seluruh pemuda di Indonesia berikrar untuk bertumpah darah satu, tanah Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Kembali ke hari ini, 90 tahun dari deklarasi Sumpah Pemuda, ternyata orang muda tidak sama sekali kehilangan signifikansinya dalam kemaslahatan bangsa Indonesia ini. Jika 90 tahun yang lalu para pemuda begitu berpengaruh dalam perjuangan untuk kemerdekaan, kini orang muda juga tetap berpengaruh dalam kehidupan berkenegaraan di Indonesia. Saat ini orang muda, atau yang lebih dikenal dengan istilah milenial, dianggap menjadi populasi paling signifikan yang dapat memengaruhi tidak hanya hasil Pemilu 2019 sebagai pemilih, tetapi juga sebagai pemeran aktif dalam kontestasi perpolitikan terbesar di tahun 2019 nanti. Di berbagai tingkat dan lembaga, orang muda banyak yang mendaftarkan dirinya menjadi calon legislatif, dan bahkan menjadi juru kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Milenial, dengan jumlah total 34,4 persen masyarakat Indonesia, menjadi lumbung suara yang begitu besar. Menguasai milenial berarti memiliki kesempatan besar untuk mendominasi hasil Pemilu 2019 nanti.
Hari ini, milenial dan politik menjadi dua entitas yang tak terpisahkan. Menciptakan narasi milenial sudah hampir pasti memiliki aspek politik di dalamnya. Berbicara tentang politik pun tentu harus berhadapan dengan narasi milenial yang begitu populer. Menjadi tak terpisahkan, permasalahan yang timbul adalah masih banyak milenial yang sebenarnya belum paham apa yang harus dilakukan menghadapi politisasi milenial dan justru bersikap apatis. Lalu, bagaimana?
Pemahaman mengenai milenial dan politik yang dipahami saat ini memang masuk dalam konteks yang begitu sempit. Milenial ditujukan pada generasi yang lahir di tahun 1980 hingga 1999, dan politik dikategorisasikan hanya terbatas pada politik praktis. Padahal, makna berpolitik tidak sesempit itu. Harold Lasswell mendefinisikan politik sebagai “siapa yang mendapat apa, kapan, dan bagaimana.” Maksudnya, Lasswell lebih luas melihat politik sebagai kegiatan untuk mencapai kebutuhan tertentu di waktu-waktu tertentu dengan cara tertentu. Kebutuhan yang terbatas, namun keinginan manusia yang tak berbatas, menjadi politik satu-satunya cara untuk mengalokasikan sumber daya agar dapat terdistribusi dengan justifikasi-justifikasi yang rasional.
Sedangkan Ponton dan Gill, lebih luas lagi, mendefinisikan politik sebagai cara-cara sebuah urusan sosial dipahami dan dikelola, dan merupakan cara yang digunakan untuk orang-orang mengontrol situasi. Politik tidak hanya sekadar kontestasi politik, tetapi juga sebagai sebuah usaha mengelola urusan-urusan sosial yang menjadi isu dalam sehari-hari. Salah satu contoh politik yang sederhana menurut Ponton dan Gill adalah, misalnya, memengaruhi keputusan bapak pengemudi ojek online untuk tidak mengikuti jalan sesuai peta, tetapi justru mengikuti jalan yang sesuai dengan keinginan penumpang. Hal itu saja sudah berpolitik.
Lalu, apa hubungannya menjelaskan kedua definisi di atas dengan milenial? Hubungannya adalah bahwa ‘berpolitik’ bukan lah sesuatu yang sempit dan harus dihindari atau ditakuti oleh para milenial saat ini, khususnya bagi para milenial yang belum tahu apa makna dalam berpolitik itu sendiri. Berpolitik bisa sesederhana memengaruhi kebijakan pengemudi ojek online, atau sesederhana memilih jalan hidup secara mandiri, terlepas dari konstruksi sosial di sekitarnya. Yang pasti, menjadi milenial itu sudah harus cerdas dalam berpolitik, karena jika tidak, bahaya laten yang dapat timbul adalah terciptanya dua kelas yang senjang dalam generasi milenial, yaitu milenial yang menjadi subyek dalam berpoltik, dan milenial yang menjadi objek dan justru terpolitisasi.