Isu Terkini

Membedakan Arab, Saudi, dan Muslim

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Ketika duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, satu hal yang paling saya ingat selama pelajaran Sejarah adalah tentang teori-teori masuknya Islam ke Indonesia. Teori-teori tersebut tereliminasi menjadi tiga teori utama, yaitu Persia, Gujarat, dan Mekkah. Dari ketiga teori ini, semuanya menyebutkan kalau Islam disyiarkan oleh para pedagang yang singgah di Nusantara. Pedagang asal Persia disebut sebagai pedagang Persia, pedagang asal Gujarat disebut pedagang Gujarat, dan pedagang asal Mekkah, disebut sebagai pedagang Arab. Teori-teori dan pemahaman ini begitu tertanam di otak saya.

Jika dilihat secara sepintas, tentu tidak ada masalah dalam kategorisasi tersebut. Namun yang baru saya sadari belakangan ini adalah ternyata, pelajaran tersebut telah membantu melanggengkan pandangan sempit tentang ‘orang Arab’ di Indonesia. Istilah ‘Arab’ di Indonesia menjadi sempit hanya pada seorang Muslim yang berasal dari negara Arab Saudi, dengan bentuk fisik tertentu. Padahal faktanya, jauh lebih luas dari itu.

Ketika berbicara tentang ‘orang Arab’, yang perlu sebenarnya kita sadari bahwa ‘Arab’ adalah sebuah identitas yang kita sematkan pada seseorang yang terlahir dan berkembang di negara-negara Arab dengan kebudayaan Arab. Ini terlepas dari agamanya, atau bentuk fisiknya seperti apa. Jika ada seseorang bermata sipit dan berkulit kecoklatan lahir di salah satu negara Arab, maka ia tetap adalah seorang Arab. Warna kulitnya tersebut tidak mengurangi identitas ke-Arab-annya. Apalagi kalau orang tersebut tumbuh kembang di lingkungan dengan kebudayaan Arab yang kental.

Di paragraf sebelumnya, saya sempat menyinggung tentang negara-negara Arab. Apa aja sih, negaranya? Ada Mauritania, Maroko, Aljazair, Libya, Mesir, Sudan, Somalia, Djibouti, Arab Saudi, Oman, Yaman, Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Kuwait, Iraq, Suriah, Yordania, dan tentunya Arab Saudi. Jadi, kalau kalian bertemu dengan orang-orang yang lahir dan tumbuh kembang di negara-negara tersebut dan menganut kebudayaan Arab yang kental, terlepas dari fisiknya, dia tetap seorang ‘Arab tulen’.

Terus, bagaimana dengan warga negara Arab Saudi? Ini memiliki istilahnya sendiri, yaitu Saudi. Seorang Saudi ditentukan dari kewarganegaraannya. Jika ia merupakan warga negara Arab Saudi yang terdaftar di pencatatan sipil, terlepas dari bentuk fisiknya atau identitas kebudayaannya seperti apa, ia adalah seorang Saudi. Mayoritas, Saudi adalah seorang Arab, namun bisa saja tidak. Jika ada seseorang yang tumbuh kembang di Indonesia, memiliki kebudayaan, pola pikir, dan tingkah laku sebagai seperti orang Jawa, misalnya, tetapi ia pindah kewarganegaraan ke Arab Saudi, ia pun menjadi seorang Saudi yang bukan seorang Arab. Ia adalah seorang Jawa-Saudi.

Terakhir, saya pun ingin meluruskan tentang sesuatu yang sebenarnya cukup mudah tetapi masih banyak yang belum paham. Yaitu adalah identitas seorang Muslim. Benar, Islam berasal dari Arab Saudi, dan tentunya banyak kebudayaan Islam yang diambil dari kebudayaan Arab. Meskipun begitu, Islam tidak hanya terbatas dengan kebudayaan Arabnya. Di Indonesia, terdapat kulturnya sendiri, sehingga Islamnya di Indonesia bisa saja berbeda. Begitu pun dengan Islam di Arab. Tidak semua orang Arab adalah seorang Muslim. Banyak agama lain yang juga tersebar di kawasan tersebut, seperti agama Kristen atau agama Yahudi. Mengaitkan Islam hanya sebatas untuk orang Arab, atau orang Arab sebagai seorang Muslim adalah pandangan yang salah karena terlalu sempit.

Untuk sebagian orang, nampaknya apa yang saya jelaskan ini remeh. Namun beberapa isu belakangan ini mengindikasikan masih banyak yang belum bisa membedakan antara Arab, Saudi, dan Muslim. Untuk menjadi seorang Arab, tidak perlu beragama Islam, menjadi warga negara Arab Saudi, atau pun memiliki bentuk fisik tertentu. Menjadi seorang Saudi, tidak perlu berkebudayaan Arab. Menjadi seorang Muslim, tidak perlu mempraktikkan budaya Arab atau memiliki paspor Arab Saudi. Hal ini lah yang harus dipahami agar konflik-konflik atau isu-isu tertentu tidak termakan oleh khalayak banyak. Dengan pendidikan identitas yang baik, ruang untuk politik identitas pun dapat semakin dipersempit.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: Membedakan Arab, Saudi, dan Muslim