Setiap orang punya versi sendiri dari pahlawan kebanggaannya. Kalau versi serius, jelas nama besar seperti Soekarno, Hatta, sampai Jenderal Soedirman, merupakan sederet pahlawan nasional seluruh warga negara Indonesia yang telah memperjuangkan kemerdekaan. Namun, secara personal, sudah pasti banyak yang menjawab orangtua dan guru adalah sebenar-benarnya pahlawan.
Meski pasti ada juga yang mungkin menjawab lain, misalnya menilai petugas kebersihan di kampungnya sebagai pahlawan, pembantu di rumah, pemadam kebakaran, sampai atlet-atlet berprestasi Indonesia, sebagai sosok pahlawan. Anggapan itu sah-sah saja, selama sosok-sosok tersebut memberi manfaat dan berjasa bagi banyak orang secara terus menerus.
Lalu, kenapa banyak yang memilih orangtua dan guru sebagai pahlawan di kehidupannya? Tentu orang-orang punya alasan dan pandangan masing-masing soal itu. Alasan utama tentu karena orangtua dan guru merupakan orang yang paling berjasa di kehidupan hampir setiap orang di muka bumi ini.
Persis seperti apa yang dikatakan oleh Soekarno, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan jasa pahlawannya. Dari petuah itu, jelas bahwa pahlawan merupakan sosok yang berjasa bagi orang-orang yang dicintainya. Orangtua dan guru masuk memenuhi kriteria ini.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan adalah “Orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran”. Jadi, secara umum jika merujuk definisi tersebut, maka orangtua dan guru ya memang layak dijadikan sebagai sosok pahlawan di kehidupan orang-orang.
Pahlawan dalam kehidupan pribadi masing-masing, seperti orangtua dan guru, dalam sosiologi berada di kelompok significant others (orang lain yang sangat berarti). Orang-orang yang masuk dalam kategori significant others bisa orangtua, guru anak, pasangan hidup, keluarga, teman, kerabat, dan sejenisnya.
Tahun lalu, saat masih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno pernah mengatakan bahwa banyak orang berada di sekitar kita yang berperan sebagai pahlawan. Salah satunya, yakni guru-guru dan orangtua. “Pahlawan-pahlawan itu adalah guru-guru kita, orangtua kita, yang membesarkan kita. Pahlawan-pahlawan ini tentunya pahlawan yang ada di zaman now,” kata Sandi di Lapangan IRTI, Monas, Jakarta Pusat, Jumat, 11 Oktober 2017 lalu.
Menurut Sandi, guru-guru dan orangtua adalah sosok yang mengajari banyak anak bangsa menjadi pribadi dan orang-orang yang berguna. Namun, mereka justru sama sekali tidak pernah berkoar-koar bahwa mereka adalah pahlawan.
Orangtua, jelas bahwa ayah dan ibu kalian, ayah dan ibu kita semua adalah pahlawan. Butuh argumen apalagi untuk menyanggah hal itu? Enggak perlu rasanya. Ya kurang mantap apa lagi coba istilah seperti “surga di telapak kaki ibu” yang sudah jadi harga mati itu.
Ngomongin soal ayah, sama juga. Ada ayah yang rela menggendong anaknya di bahu saat menyaksikan pertandingan sepakbola, mengantar anaknya ke sekolah pakai sepeda, rela diguyur hujan sementara memayungi anaknya dengan payun, sampai rela menghabiskan uang banyak demi mengajak anaknya makan enak. Pokoknya, ayah jadi orang terdepan yang rela membanting tulang untuk menafkahi keluarga serta mengajarkan banyak petuah-petuah hidup yang berguna.
Lalu, bicara guru sebagai pahlawan. Ya sama aja macam orangtua, yang tak butuh bahan debat lagi untuk membantah bahwa mereka-mereka ini layak disebut pahlawan. Seperti kalimat kiasan yang sudah melegenda “Anda enggak akan bisa jadi Polisi, Tentara, Dokter, atau Politisi kalau bukan karena guru, jadi jangan sombong”. Sering kan kalian mendengar istilah itu?
Bahwa di balik kesuksesan siapa saja yang menggapai puncak karier tertingginya di dunia kerja, tentu ada campur tangan guru. Tanpa mereka, tentu saja kita tidak akan pernah bisa seperti sekarang.
Selama ini, guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Apa yang enggak kalian dapatkan dari seorang guru yang sudah mengajari kalian banyak hal sejak TK, SD, SMP, hingga SMA? Pelajaran, pengetahun, bagaimana bersikap, bertingkah laku, berkelakukan baik, bahkan kasih sayang pun dikasih sama guru-guru kalian, ya kan?
Para guru membentuk karakter kita mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Semata hanya ingin membuat kita menjadi orang yang berguna. Sayangnya, kadang-kadang masih ada juga Tanpa di sadari kita tidak menganggap terlalu penting kehadiran mereka. Enggak cuma menguras otak dan pikiran, tapi juga menguras fisik dan tenaga.
Nyaris setiap hari sewaktu kalian masih mengenyam pendidikan bangku sekolah, pasti selalu bertemu dengan guru. Bayangkan saja, enam hari dalam seminggu, Senin sampai Sabtu, guru harus selalu mendedikasikan dirinya untuk murid-muridnya yang merupakan putra putri terbaik bangsa di masa mendatang. Itu berlangsung terus menerus, bertahun-tahun. Kalian sanggup?