Dalam upacara pembukaan Asian Para Games 2018 kemarin (6/10), Presiden Joko Widodo bersama anak perempuan penyandandang disabilitas bernama Bulan Kurnia Rudianti, dan atlet panahan Abdul Hamid melepaskan anak panahnya ke huruf ‘D’, ‘I’, dan ‘S’, sehingga kata “disability” (ketidakmampuan) berubah menjadi “ability” (kemampuan).
Gambaran itulah yang diimpi-impikan para penyandang difabel. Mereka kerap dianggap tidak memiliki kemampuan apapun, padahal setiap orang tentu dilahirkan berbarengan dengan kemampuannya masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh Reshma Wijaya Bhojwani, pendiri Saraswati Learning Center, sebuah sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
Sejak usia muda, Reshma hidup berdampingan dengan dua sepupunya yang merupakan ABK, saat menikah dan punya anak, ia pun juga harus menerima kenyataan bahwa anak keduaya memiliki kelainan genetik, down syndrom.
“Anak saya ini yang benar-benar menginspirasi saya, karena dia, cahaya di dalam diri saya keluar dan saya jadi mengetahui tujuan dari hidup saya. Awalnya [sekolah] hanya untuk anak saya, tetapi saat saya menerima murid lain, dan saya tidak pernah bisa membilang ‘tidak’,” ujar Reshma bercerita pada Asumsi.co di SLC, Cempaka Putih Tengah, Jakarta Pusat, 5 Oktober 2018.
Dari situ, ia memutuskan untuk fokus membantu anak-anak lain yang memiliki kebutuhan khusus. Ia mengejar gelar dalam pendidikan kebutuhan khusus dan terapi perilaku, di saat itu pula ia mendapatkan akses untuk membuat sekolah yang ia beri nama Saraswati Learning Center (SLC).
Sekolah dimulai dengan 17 anak, tetapi kini SLC yang bertempat di Cempaka Putih, Jakarta Pusat itu sudah memiliki lebih dari 70 murid. Berbeda dengan sekolah lainnya, di SLC, Reshma menerima murid dari berbagai jenis ABK, baik itu down syindrom, autism, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Cerebral Palsy (CP), Sensory Processing Disorder (SPD), dan kelainan lainnya. Tak hanya itu pula, Reshma bahkan menerima murid dari kalangan keluarga yang ekonominya mampu, maupun tidak mampu.
“Perjuangan kami di sini adalah untuk anak berkebutuhan khusus, bukan untuk uang, atau cari nama, organisasi ini adalah non profit,” tegas Reshma.
Reshma membeberkan bahwa bahwa non-profit yang ia maksud adalah tidak adanya subsidi silang yang ia lakukan untuk menjalankan sekolahnya. Bayaran dari para orangtua yang memiliki ekonomi mampu, digunakan untuk operasional sekolah. Sedangkan para murid yang tidak mampu, akan tetap disekolahkan tanpa biaya dengan layanan yang sama, berkat dana dari para donatur atau sponsor.
Bagi Reshma, setiap anak dengan berbagai sindrom yang mereka miliki, sebenarnya akan selalu ada peluang untuk bisa hidup dengan mandiri. Oleh karenanya, itulah pentingnya sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Program-Program di SLC
Sebelum bergabung dengan kelas, calon siswa di SLC biasanya akan didiagnosis terlebih dahulu oleh psikolog klinis sekolah. Hal itu perlu dilakukan untuk mengetahui apa kekuatan serta kekurangan yang terdapat dari sang anak. “Tapi di Saraswati Learning Center, kami tidak melihat difabel atau disabilitasnya, kami melihat kepada kemampuannya yang kami bilang abilitas, the ability of individuals.”
Diagnosa tersebut, kata Reshma bukan hanya untuk mengetahui kelainan yang disandang oleh calon murid itu, tapi juga untuk menentukan metode pembelajaran yang tepat. Sebab, setiap anak yang didiagnosa memiliki autisme saja, punya penanganan yang berbeda-beda. Misalkan saja, seorang anak autis yang sangat mahir matematika tetapi tertinggal dalam keterampilan komunikasinya, maka program yang akan dibuat adala fokus pada matematika dan memurnikan kemampuan berbicara dan menulisnya sesuai dengan gaya belajar anak.
Namun sebelum itu dilakukan, Reshma berpesan pada seluruh orang tua yang memiliki ABK, baiknya melakukan intervensi dini sejak usia 0-4 tahun. Sebab di umur itu, anak akan lebih mudah menyerap edukasi yang diberikan. Di SLC pun, Reshma menyediakan fisioterapis, ahli terapi okupasi, dan ahli terapi bicara untuk membimbing para orang tua melakukan intervensi dini pada anaknya yang ABK.
“Kami memberikan program ini bukan hanya kepada anak, tapi memberikan edukasi kepada orang-orang tua, jadi bagaimana mereka bisa melakukannya di rumah. Kalau intervensi di kami itu hanya sebulan sekali, selebihnya orang tua yang melakukan,” terang Reshma.
Beranjak melewati usia empat tahun, barulah SLC memberikan sekolah formal dengan program khusus yang harus dijalani sesuai dengan buku yang mereka buat dari berbagai sumber, seperti montessori, cambridge, dan yudhistira. Jenis-jenis pelajarannya pun bermacam-macam. “Ada music and movement, dia ada komputer, dia ada dance, ada cocking, ada juga matematika, ada bahasa, ada IPS untuk yang SD.”
Setelah sekolah formal, ada pula program untuk murid yang berusia 18 tahun ke atas yang disebut kelas vokasi, atau kuliah. Meski kelas vokasi di SLC baru hanya ada delapan murid saja, namun mereka tetap menjalankan program itu dengan sungguh-sungguh. Semua dilakukan untuk menyiapkan mereka ke dalam dunia kerja, sehingga keterampilan seperti cara berbicara, mengatur keuangan, dan lainnya bisa ditangani sendiri.
Reshma bahkan mengungkapkan bahwa muridnya yang mengikuti kelas vokasi sudah dipercaya untuk berjualan di bazar dan pameran. Di tahun kedua berdirinya SLC ini, bahkan ada murid yang membuka usaha online menggunakan layanan Shopee dan Instagram. Rencananya, tahun keempat nanti, Reshma memiliki impian agar anak-anak muridnya bisa mengelola kafe.
“Sehingga membuat orang menerima bukan karena kasihan, tapi karena anak ini bisa, jangan menerima karena dia buta atau tuli, atau dia cacat, ‘oh kasian ya terima aja’, jangan. Jadi terimalah, karena dia pasti ada bakat kok, sedikit pasti ada, tidak mungkin kita dilahirkan tanpa kemampuan,” tandasnya.