“Kita tuh literally harusnya bener-bener dare to invest lho dengan anak-anak muda millenial which is mereka tuh penerus bangsa di masa depan.”
Kira-kira kalimat seperti itulah yang kerap muncul dari obrolan anak-anak Jakarta Selatan masa kini. Fenomena bahasa gaul ala anak Jaksel atau Jakarta Selatan ini bahkan masih ramai diperbincangkan dan jadi bahan lucu-lucuan di sosial media sampai hari ini.
Bahasa gaul anak Jaksel yang merupakan campuran antara bahasa Indonesia dan Inggris ini memang terdengar unik. Bayangkan saja, dalam setiap kalimat yang dilontarkan, terdiri dari gado-gado kosakata Indonesia dan Inggris.
Kata-kata seperti “literally, which is, even, to be honest, confuse, usually, basically, prefer, sceptical” dan sebagainya akan sering kita dengar saat memasuki atau berinteraksi dan ngobrol dengan anak Jaksel. Terkait hal ini, bakal calon presiden Sandiaga Uno pun memberikan tanggapannya.
Bahasa gaul ‘Anak Jaksel’ yang memadukan bahasa Indonesia dengan bahasa keinggris-inggrisan ramai diperbincangkan. Bakal cawapres Sandiaga Uno, yang sebenarnya kerap juga menggunakan bahasa campuran Indonesia dan Inggris, punya pandangan sendiri terkait fenomena ini
“Kita harus pandai menjaga jati diri bahasa kita, keluhuran bahasa Indonesia kita yang baik. Kalau situasi informal, kita gunakan momen tertentu untuk menyentuh demografi tertentu. Seperti milenial dengan bahasa-bahasa yang mereka mengerti,” kata Sandi di Mal Ancol, Jakarta Utara, Selasa, 11 September.
Menurut Sandi sendiri, bahasa gaul anak Jaksel yang tengah ramai jadi sorotan itu hanya bersifat sementara dan tidak baku. Namun, penggunaan bahasa dan istilahnya itu, lanjut Sandi, bisa digunakan untuk menarik perhatian millenial.
“Dalam pembicaraan yang bisa meng-grab atensi mereka dan bisa relevan dengan apa yang mereka rasakan, perjuangkan, dan ingin terlibat, ya harus bahasa yang ringan dan terhubung dengan aplikasi mereka. Aplikasi mereka kan rata-rata berbasis bahasa Inggris,” ujar pria berkacamata itu.
“Ini yang menarik karena kadang ada bahasa Arab yang ikut, seperti ‘unfaedah’. Itu kan bahasa Inggris dan Arab, jadi bahasa milenial. Jadi sudah nggak ada lagi bahasa Indonesianya,” ucapnya.
Sebenarnya, faktor apa sih yang membuat anak Jaksel terbiasa menggunakan bahasa gaul campuran Indonesia-Inggris seperti itu? Lalu, apa yang seharusnya dilakukan terkait penggunaan bahasa di masa depan?
Menurut Ivan Lanin, Wikipediawan pecinta bahasa Indonesia, kebiasaan menggunakan bahasa campuran itu disebut code mixing. Ivan mengatakan sebenarnya penggunaan bahasa gado-gado itu sudah ada sejak lama dan bukan hanya sekarang saja.
“Itu kan istilah ilmiahnya menurut linguistik itu adalah campur kode atau code mixing. Nah itu sebenarnya bukan fenomena yang baru dan dari dulu juga sudah ada,” kata Ivan Lanin kepada Asumsi.co, Rabu, 12 September.
“Kalau misalnya kita lihat juga dari zamannya jong-jong Sumpah Pemuda itu juga, orang-orang dulu juga suka campur-campur menggunakan bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia. Cuma ya tetap beda bahasanya saja”.
Kalau dulu, menurut Ivan, yang dicampur adalah bahasa Belanda, namun sekarang sudah berubah dan yang dicampur itu adalah bahasa Inggris. Terkait penggunaan bahasa gado-gado itu, Ivan pun tak berani menilai sembarangan, apa motivasi di balik itu.
“Nah, jadi sekarang kan yang dipertanyakan kan apa motivasinya, tapi umumnya saya kan enggak berani menuduh ya, umumnya itu untuk menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi, derajat sosial,” ucap Editor Google Indonesia itu.
Ivan mengambil contoh penggunaan bahasa pada masa Sumpah Pemuda. Menurut Ivan, hal itu terbukti bahwa di masa itu yang ngomong campuran bahasa seperti itu rata-rata memang orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi.
“Jadi untuk menunjukkan bahwa mereka lebih tinggi tingkat intelektualitasnya. Terus kemudian kalau campur kode itu sendiri tuh diperlukan kalau misalnya orang belajar bahasa baru kan, saat dia belum tau kosakata tertentu, itu dia memang suka nyampur bahasa”.
Hanya saja, menurut Ivan, masalahnya yang terjadi sekarang itu bahwa sebenarnya mereka yang terbiasa berbahasa campuran sebenarnya sudah tau dengan perbendaharaan kosakata. “Bahwa meeting itu artinya rapat, cancel itu artinya batal, tapi ngomongnya tetap saja meeting-nya dicancel”.
“Jadi memang disengaja kalau saya lihat. Sehingga dari kesengajaan ini, maka akhirnya keterusan dan jadi kebiasaan”.
Meski menggunakan bahasa campuran, Ivan mengatakan bahwa bahasa anak Jaksel itu tak layak dibully dan diolok-olok. Apalagi kebiasaan itu sudah menjadi pilihan masing-masing.
“Ya namanya mengolok-olok enggak ada yang layak ya. Menurut saya enggak pantes juga ya diolok-olok ya, artinya ya memang mereka punya tujuan khusus, pengen keliatan lebih intelek, ya itu pilihan mereka”.
“Kalau misalnya segala macem bentuk mengolok-olok ya tetap saja enggak bagus. Ya udah dikasih tau aja kalau misalnya mereka tetap memilih seperti itu ya itu pilihan mereka”.
Ivan sendiri, yang aktif bermedia sosial Twitter ini, akan terus mengingatkan, bahwa kalau bahasa campur kode itu menunjukkan ketidakberaturan pikiran karena dia tidak bisa memisahkan mana kosakata yang dimiliki oleh satu bahasa tertentu.
“Tapi kalau misalnya ada orang-orang yang melakukan itu di sekitar saya, ya saya terima saja. Maksudnya ya itu jadi bagian dari fenomena, terutama dalam ragam percakapan ya”.
Ivan pun lebih menganjurkan untuk menggunakan bahasa yang teratur yang dinamakan alih kode. Di mana orang-orang berbicara dengan menggunakan satu kalimat satu bahasa. Jadi, enggak ada campuran bermacam kosakata dari bahasa dua negara atau lebih dalam satu kalimat.
“Kalau menurut saya boleh-boleh saja itu namanya alih kode, yang artinya satu kalimat satu bahasa. Boleh, enggak masalah, misalnya satu kalimat itu bahasa Inggris, terus kalimat berikutnya bahasa Indonesia, kalimat berikutnya bahasa Sunda”.
“Nah, itu kan tetap teratur tapi juga menunjukkan bahwa dia bisa memilih dengan bahasa apa dia berkomunikasi. Saya punya banyak teman yang berasal dari Eropa, mereka bisa berbicara menggunakan setidaknya beberapa bahasa seperti Perancis, Belanda, Jerman, yang paling umum itu”.
Ivan mengatakan saat mereka berbicara bahasa Perancis, ya mereka juga menggunakan kosakata bahasa Perancis dalam satu kalimat. Begitu juga saat berbicara dengan orang-orang lain yang berasal dari beda negara.
“Kemudian misalnya dalam satu komunitas mereka lagi ngobrol nih ada empat orang, lalu dia ngobrol ke orang ini pakai bahasa Perancis, dia ngobrol ke orang itu pakai bahasa Belanda, dan ngomong ke orang lainnya pakai bahasa Jerman.”
“Ya udah tapi mereka tertib gitu. Jadi konsisten ya satu kalimat satu bahasa dan hal itulah yang saya perjuangkan sebenarnya,” ujar pria kelahiran Jakarta pada 16 Januari 1975 silam tersebut.