Beberapa minggu ke belakang, politik Australia terguncang. Kepemimpinan Malcolm Turnbull sebagai Perdana Menteri Australia berhasil dikudeta anggota Partai Liberal Australia, partainya sendiri. Scott Morrison, anggota Partai Liberal Australia yang dinilai “lebih kanan” secara politik, akhirnya menggantikan Turnbull. Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Australia merupakan negara dengan sistem pemerintahan parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Dengan sistem tersebut, mosi tidak percaya atau no confidence vote dapat terjadi sewaktu-waktu untuk mengkudeta perdana menteri. Mosi tidak percaya ini hampir pasti tidak akan terjadi ketika perdana menteri mendapat dukungan dari seluruh anggota parlemen yang berasal dari partai atau koalisinya. Namun, ketika perdana menteri tidak dapat lagi mendapatkan suara anggota partai dan koalisi di parlemen, di situlah kudeta dapat terjadi.
Pemilihan umum di Australia untuk memilih anggota parlemen dan partai yang memegang pemerintahan dilaksanakan setiap tiga tahun sekali. Perdana menteri diangkat berasal dari partai yang memenangi pemilihan umum tersebut. Itu artinya, satu periode untuk perdana menteri yang dipilih melalui pemilihan umum seharusnya berakhir tiga tahun. Namun sayangnya, berdasarkan laporan Vox, naiknya Morrison menggantikan Turnbull ini membuat Morrison sebagai perdana menteri Australia kelima dalam lima tahun terakhir. Sebuah bukti adanya ketidakstabilan dalam perpoitikan Australia.
Ketika berbicara kudeta terhadap Turnbull, perlu ditilik dari bagaimana Malcolm Turnbull naik dengan cara yang sama: mengkudeta Tony Abbott. Kala itu, di hari minggu malam, tanggal 13 September 2015, Malcolm Turnbull mempertemukan seluruh anggota Partai Liberal Australia, baik dari sayap kiri maupun kanan, di Canberra. Dilaporkan oleh The Australian bahwa pertemuan tersebut dilakukan oleh Turnbull untuk menghitung-hitung dan memastikan suara akan berpihak pada Turnbull ketika pemilihan umum pemimpin partai dilaksankan. Setelah memastikan hal tersebut secara matang, pertemuan pun diselesaikan.
Pada sore besoknya, hari Senin tanggal 14 September 2015, Abbott pun langsung berhasil dikudeta. Pemilihan umum ketua partai dilaksanakan dan Turnbull memenangkannya dengan telak, 54-44. Saat itu juga, Turnbull naik menjadi perdana menteri Australia ke-29, dengan Abbott hanya berhasil menjabat sebagai perdana menteri Australia selama dua tahun.
Dipercepat tiga tahun kemudian, tepatnya di tanggal 24 Agustus 2018, kondisi pun berbalik. Turnbull lah yang kini dikudeta oleh anggota partainya sendiri. Salah satu motor penggerak dari kudeta ini adalah Peter Dutton. Namun berbeda dengan nasib Turnbull, Dutton justru gagal mendapatkan posisi sebagai perdana menteri. Ketika pemilihan umum untuk menggantikan Turnbull, Dutton kalah tipis dengan Scott Morrison. Morrison, yang sebelumnya memegang jabatan Menteri Keuangan Australia, menggantikan Turnbull sebagai perdana menteri. Morrison pun diperkirakan akan hanya menjabat setahun, karena Australia akan melaksanakan pemilihan umum sesuai jadwal di tahun 2019 nanti.
Fakta bahwa sudah ada empat perdana menteri yang diturunkan melalui kudeta dalam satu dekade terakhir, alih-alih melalui pemilihan umum terjadwal, seolah-olah menunjukkan satu fakta lain: adanya ketidakstabilan dalam sistem parlementer Australia. Mosi tidak percaya memang merupakan salah satu fitur utama yang membuat check and balance di sistem parlementer berjalan dengan baik. Namun di sisi lain, mosi ini membuat pergantian perdana menteri bisa terjadi kapan saja. Dalam kondisi apapun, anggota parlemen yang tidak puas dengan kepemimpinan dapat mengajukan mosi. Memang tidak semudah itu dalam praktiknya, namun fakta bahwa adanya pergantian yang begitu cepat dalam satu dekade ke belakang menunjukkan bahwa mosi tidak percaya justru menciptakan ketidakstabilan.
Jika dilihat lebih luas lagi, sebenarnya sistem parlementer tidak akan bermasalah jika konsolidasi partai, untuk setidaknya satu kali masa kepemimpinan, berjalan dengan baik. Sayangnya, hal ini lah yang menjadi akar masalah. Partai politik semakin terpecah belah dan anggota di dalamnya jauh lebih mementingkan kepentingan pemodal partai dan keinginan berkuasa, alih-alih kepentingan partai. Berdasarkan artikel Washington Post yang ditulis Sam Roggeveen, berhasilnya kudeta Malcolm Turnbull terhadap Abbott menjadi awal dari hal tersebut. Turnbull, yang dianggap oleh partainya sendiri adalah orang ‘asing’, berhasil meringsek masuk menggunakan Partai Liberal Australai sebagai kendaraan untuk menjadi perdana menteri. Munculnya nama-nama seperti Petter Dutton dan Scott Morrison merupakan reaksi balik dari loyalis partai untuk mengembalikan nilai-nilai kepartaian tersebut.
Di atas kertas, Dutton sukses menggulingkan Turnbull dan Morrison kini memegang tampuk kekuasaan. Loyalis partai pun seolah mendapatkan angin segar, karena orang ‘asing’ seperti Turnbull tidak lagi ada di kekuasaan. Namun, permasalahan yang lebih dalam dan masih belum dapat terselesaikan adalah bagaimana menciptakan kembali partai yang kondusif dan dapat dipercaya oleh masyarakat. Hal ini yang menjadi sulit, terutama seiring kuatnya arus perbedaan antara Partai Liberal Australia.
Scott Morrison kini telah menjabat sebagai perdana menteri ke-30 Australia. Ia adalah seorang konservatif moderat. Meskipun begitu, terdapat beberapa kebijakan ‘kanan’ klasik yang juga pernah didukungnya selama ia berkarir di dunia politik. Sebut saja kebijakan stop the boat yang merupakan kebijakan menolak pencari suaka masuk ke Australia, atau penolakannya terhadap undang-undang yang mengizikan pernikahan sesama jenis.
Berangkat dari kondisi tersebut, tentu terlihat posisi Scott Morrison sebagai perdana menteri selama satu tahun ke depan. Kebijakannya akan seputar bagaimana menciptakan perbatasan yang lebih kuat. Selain itu, ia juga pasti akan memperjuangkan ekonomi ala konservatif yang memberikan pajak rendah dan membatasi peran pemerintah. Lebih dari itu, ketika ditanya media pada hari Jumat (24/8) lalu, ia menyatakan bahwa saat ini yang juga menjadi fokusnya adalah menciptakan kohesifitas partai yang lebih baik. Hal ini menjadi masuk akal, mengingat pemilihan umum akan dilaksanakan bulan Mei tahun 2019 dan Partai Liberal Australia justru memiliki gambaran yang kurang baik di masyarakat seiring dua kudeta yang terjadi dalam kurun waktu tiga tahun.
“Bring our party back together which has been bruised and battered this week,” ujar Scott Morrison kepada media.