Gerakan atau deklarasi #2019GantiPresiden dan #Jokowi2Periode tengah ramai jadi sorotan jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Sebenarnya seperti apa kita harus bersikap melihat maraknya kampanye dua kubu pendukung calon presiden dan wakil presiden pilihan mereka tersebut?
Kembali pada akhir pekan kemarin, tepatnya Sabtu, 25 Agustus 2018, sebuah diskusi bertema pembahasan #2019GantiPresiden dengan pembicara Ratna Sarumpaet dan Rocky Gerung dibatalkan setelah ada aksi penolakan dari massa di Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Setelah menggelar aksi di depan pintu masuk Bandara Depati Amir Kota Pangkalpinang itu, massa aksi akhirnya membubarkan diri pada siang hari. Mereka bubar setelah mendapat informasi jika kegiatan diskusi Gerakan Selamatkan Indonesia (GSI) itu sudah dibatalkan panitia.
Nah, terkait hal itu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sendiri sebenarnya menyatakan jika deklarasi #2019GantiPresiden dan #Jokowi2Periode atau acara sejenisnya tidak masuk dalam kategori kampanye.
Menurut Wahyu, kegiatan deklarasi tersebut boleh dilaksanakan saat ini dan tidak termasuk kampanye di luar jadwal. “Baik #2019GantiPresiden atau #Jokowi2Periode itu bukan termasuk media atau metode kampanye,” kata Wahyu di Kantor KPU, Jakarta, seperti dilansir dari CNN Indonesia, Senin, 27 Agustus 2018.
Wahyu pun melanjutkan bahwa acara deklarasi #2019GantiPresiden dan #Jokowi2Periode tidak termasuk definisi kampanye yang diatur dalam Peraturan KPU No. 24 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu. Dalam PKPU itu, ada beberapa metode kampanye, di antaranya pertemuan tatap muka, pertemuan terbatas, dan rapat umum.
Lebih detil lagi, acara deklarasi #2019GantiPresiden dan #Jokowi2Periode cenderung dekat dengan definisi “rapat umum” karena sama-sama melibatkan banyak orang di tempat umum.
Meski begitu, deklarasi #2019GantiPresiden dan #Jokowi2Periode tidak memaparkan visi dan misi pasangan calon, sehingga tidak dapat disebut sebagai kampanye. “Itu diluar regulasi yang telah dibuat KPU meski ada kaitannya,” ujar Wahyu.
Dengan demikian, Wahyu pun menegaskan bahwa masyarakat bisa menggelar deklarasi semacam itu. Terlebih Indonesia sendiri merupakan negara demokrasi dan hak kebebasan berpendapat pun dijamin.
Walaupun diperbolehkan, kegiatan atau gerakan semacam itu tetap harus mematuhi peraturan yang berlaku. Setiap warga yang ingin menggelart acara dan mengundang banyak orang, harus mendapat izin dari pihak berwenang seperti kepolisian.
Nah, terkait perdebatan yang panas soal dua kubu ini hingga penolakan diskusi di sejumlah daerah, Pengamat Politik Universitas Padjajaran, Idil Akbar, pun menganggap hal itu masih debatable. Apalagi, sejauh ini, perdebatan tersebut ramai diperbincangkan di jagat media sosial.
“Debatable ya kalau persoalannya ini sudah masuk dalam ranah debat netizen di media sosial. Sehingga kemudian ramai jadi sorotan, persoalannya pun jadi debatable apalagi kalo bicara kebenaran, kedua kubu saling klaim soal kebenaran itu,” kata Idil kepada Asumsi.co, Senin, 27 Agustus.
Menurut Idil, dalam konteks ini, secara objektif, supremasi hukum harus tetap dikedepankan. Idil pun setuju bahwa di dalam hukum dan konstitusi Indonesia, warga negara dijamin untuk menjalankan kebebasan berdemokrasi dan menyatakan pendapat.
Di sisi lain, memang alasan keamanan juga harus diprioritaskan. Jangan hanya karena sebuah diskusi digelar di sebuah daerah, lalu situasi berubah jadi panas lantaran ada kelompok lain yang menolak hingga menggelar aksi di jalan.
“Namun di sisi lain ada persoalan keamanan juga yang harus dijaga dan dikedepankan. Itu juga dilindungi secara konstitusional,” ujarnya.
“Nah dalam hal ini memang agak sumirnya adalah ketika ada rantai putus informasi di bagian mana sebetulnya terutama pada aparat keamanan ini dalam bersikap. Dalam hal ini tentu sekali lagi kita memang harus bijak.”
Idil pun tak tidak ingin menilai salah atau benar soal peristiwa penolakan diskusi yang terjadi di Riau atau Bangka Belitung itu. Apalagi sejauh ini, masih banyak informasi yang bertebaran saling klaim kebenaran di media sosial, terutama kedua kubu.
“Tetapi, apa yang terjadi sebenarnya juga kita belum terlalu paham juga kan. Kalau saya dalam posisi ini tetap demokrasi harus dikedepankan, makanya dialog juga harus dikedepankan,” kata Idil.
“Ketika persoalan di Riau dan Bangka Belitung itu terjadi, kemudian dialoglah yang harusnya dikedepankan sebagai alat untuk menengahi permasalahan tersebut.”
Namun Idil pun menegaskan bahwa masalah seperti ini memang agak rumit, apalagi kedua pihak, baik kubu #2019GantiPresiden dan #Jokowi2Periode mengklaim ada di posisi yang benar. “Sulit memang, kalau sudah dua-duanya mengklaim benar, kalau sudah sama-sama keras, maka akan sulit jadinya.”