General

Hasil Hitung Cepat Pilkada, Bagaimana Nasib Para Calon Kepala Daerah yang Kalah?

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 27 Juni 2018 udah berlalu, nih. Hasil perhitungan cepat dari berbagai lembaga survei juga udah keluar, bahkan penghitungan resmi di website Komisi Pemilihan Umum  (KPU) juga sudah memasuki angka 80% jumlah suara masuk.

Dari data yang sudah terkumpul itu, meskipun belum resmi, namun masyarakat sudah bisa menebak siapa sosok calon kepala daerah yang berhasil mendapatkan suara terbanyak. Terlebih, para pasangan calon juga udah pada mengucap syukur atas kemenangan berdasarkan hasil quick count.

Tapi, kira-kira bagaimana ya nasib mereka para pasangan calon yang gagal memimpin daerahnya?

Ikhlas Mencari Jabatan Lain

Seperti yang kita ketahui bersama, guys. Bahwa calon kepala daerah yang saat ini sedang harap-harap cemas menanti keputusan hasil perhitungan KPU, berasal dari beragam latar belakang profesi. Mereka awalnya ada yang menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR Daerah (DPRD), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian RI (Polri), kepala desa hingga juga Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sayangnya, dari serangkaian syarat untuk mencalonkan diri jadi calon kepala daerah, ada satu syarat yang mewajibkan sesorang itu harus mundur dari jabatan . Hal itu sesuai dengan Pasal 42 ayat (4) huruf b Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Kepala Daerah, di mana para calon harus nyerahin surat pengajuan pengunduran diri ke KPU.

Jadi, buat mereka yang dulunya menjabat sebagai menteri, polisi, atau TNI, udah enggak bisa lagi balik lagi ke pekerjaannya. Contohnya aja, Agus Harimurti Yudhoyono yang sempat bertarung di Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu sebelumnya adalah anggota TNI dengan pangkat Mayor. Namun setelah mengundurkan diri dan ternyata kalah, ia enggak bisa balik lagi jadi tentara. Walupun sekarang udah punya jabatan baru di Partai Demokrat sebagai Komando Tugas Bersama (Kogasma). Jadi, buat para calon kepala daerah yang tidak terpilih namun juga enggak bisa balik ke profesi awalnya, maka mereka harus legowo cari kerjaan lain, kayak AHY.

Jadi Marbut Masjid

Jadi pengurus masjid (marbut) emang kurang keren kalau dibandingkan jadi kepala daerah. Tapi, beberapa di antara politikus sering menyebutkan profesi itu jika tak berhasil mendapatkan jabatan di dunia politik.

Misalnya aja, Fahri Hamzah yang ngomong di berbagai media massa bahwa tahun depan dirinya bakal pensiun dari dunia politik karena dirinya tidak ada di dalam daftar sementara nama-nama calon legislatatif dari PKS.

Meskipun begitu, Fahri tetap enggan untuk pindah ke partai lain karena PKS baginya adalah partai yang sangat ia cintai dan ia merasa ikut berkontribusi membesarkan. Oleh sebab itu, jika nanti tak lagi jadi anggota DPR, Fahri  lebih memilih jadi marbut masjid.

Jika kita ingat-ingat lagi, pilihan menjadi marbut enggak cuman sekali aja diucapkan oleh seorang politikus. Jusuf Kalla juga pernah berujar hal yang sama, ketika dirinya kalah melawan Susilo Bambang Yudhoyono di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu, ia sempat ditanya akan melakukan kegiatan apa, dan jawabannya mau mengurus masjid.

Mungkin, kepala daerah gagal juga ada yang berminat jadi marbut masjid?

Dipenjara

Sebelum hari pencoblosan, kita tentu udah sering mendengar berita tentang para calon kepala daerah yang udah resmi jadi peserta Pilkada 2018, tapi malah terciduk Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK). Uniknya, selama proses penyelidikan, para tahanan KPK itu tetap sah menjadi peserta pilkada dan tetap bisa dipilih.

Bayang-bayang penjara sebenarnya enggak cumn akan menghantui cakada yang kalah aja, guys. Kalau kalian ingin tahu, ada lho tahanan KPK yang justru mendapatkan suara terbanyak di Pilkada. Adalah pasangan cabup-cawabup Syahri Mulyo yang berpasangan dengan Maryoto Bhirowo berhasil mengumpulkan suara 60,1 persen dalam hitung cepat, dan mengalahkan rivalnya Margiono-Eko Prisdianto yang mengumpulkan hanya 39,9 persen suara yang masuk.

Padahal, Syahri ini udah ditangkap KPK sebelum Hari Raya Idul Fitri 2018 lalu karena diduga menerima suap Rp 1 miliar terkait proyek peningkatan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Tulungagung.

Enggak cuma masalah korupsi, kalah dalam Pilkada dan akhirnya masuk penjara juga mengingatkan kita pada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang divonis dua tahun karena tuduhan penistaan agama beberapa waktu lalu.

Share: Hasil Hitung Cepat Pilkada, Bagaimana Nasib Para Calon Kepala Daerah yang Kalah?