Isu Terkini

Waspada, Ketika Media Sosial Dijadikan Alat Penyebaran Doktrin Terorisme

Fariz Fardianto — Asumsi.co

featured image

Penyebaran ajaran radikal terhadap agama bukan hanya didapatkan melalui interaksi langsung atau melalui institusi pendidikan seperti pesantren. Tapi juga bisa melalui medium lain seperti film dan, terutama, media sosial. Hal tersebut diakui oleh Siska Nur Azizah dan Dita Siska Millenia. Keduanya adalah tertuduh pelaku penyerangan polisi di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, pada pertengahan Mei lalu.

Dalam wawancaranya dalam Majalah Tempo, Dita, seorang santri kelas XII Pondok Pesantren Darul Arqom di Kendal, mengaku mendapat pemahaman radikal melalui media sosial.

“Saya belajar otodidak dari berbagai grup WhatsApp dan channel Telegram sejak November tahun lalu,” kata Dita.

“Di Telegram, salah satu channel-nya bernama Turn Back Crime. Di sana banyak artikel tentang Islamic State [ISIS] dan video-video eksekusi, pemenggalan. Saya juga banyak baca dari Instagram. Nama akunnya yang ada Ikhwan gitu.”

Penggunaan media sosial yang seharusnya bisa menjadi alat positif ternyata juga memiliki dampak negatif. Menurut Khoirul Anwar, seorang pegiat dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), dalam penelitiannya terhadap mualaf yang baru bergabung ke agama Islam selama satu sampai dua bulan, hal tersebut benar adanya.

Tak jarang para mualaf itu dengan gampangnya menemukan informasi-informasi terkait kegiatan jihad dari dunia maya maupun dunia nyata. “Saya rasa penting untuk mulai menggencarkan pemahaman kepada mualaf bila kegiatan jihad tidak melulu dengan mengobarkan emosinya dan ikut berperang layaknya milisi di Timur Tengah,” kata Khoirul dalam diskusi bertajuk Memahami Proses Radikalisasi Keluarga Pelaku Teror yang digelar oleh EIN Institute, sebuah lembaga yang mempromosikan pluralisme, di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Baca juga: Bukan Kejadian Langka, Peran Perempuan Dalam Aksi Terorisme

Sementara itu, Machmudi Hariono, seorang mantan kombatan jaringan Jamaah Al Islamiyah (JI), mengungkapkan berdasarkan pengalamannya pada masa lampau, media film juga menjadi alat propaganda teroris untuk menyusupkan doktrin perang kepada generasi muda di Indonesia.

Kepala keluarga pelaku bom Surabaya, Dita Oepriarto, belakangan diketahui kedapatan gemar menonton film propaganda jihad semasa hidupnya.
“Mas Dita itu suka dengan ceritanya film yang menceritakan dunia pergerakan Islam. Saya waktu SMA juga tertarik. Dari film itu, sempat terbesit niat saya ingin berangkat ke Bosnia mengingat ketika itu ada perang saudara dan genosida di sana,” ujar Machmudi yang punya nama samaran Yosep Adirima alias Yusuf Adirima ini, saat mengenang perubahan sikapnya menjadi seorang teroris.

Rasa penasaran ditambah pikiran yang terinspirasi berjuang di medan perang akhirnya singkat cerita membawa Machmudi menimba ilmu ke sejumlah pesantren. Setelah sebuah pesantren di Ponorogo tak bisa menjawab rasa penasarannya, ia lantas pindah ke Pesantren Al Mukmin di Ngruki Sukoharjo.

Perkenalannya dengan dunia jihad kemudian berlanjut saat berguru ke Pesantren milik Amrozi, pelaku bom Bali yang ada di Lamongan.

Ketika itu tahun 1999 terjadi konflik agama di Poso dan Ambon. Oleh pengasuh pesantren milik Amrozi itu, ia tiba-tiba dikirim ke Mindanao, ujung selatan Filipina.

“Saya yang tidak punya kemampuan sama sekali dituntut ikut angkat senjata, berperang melawan negara, ikut mengorganisir bom dan sebagainya,” akunya.

Selepas bebas dari kurungan penjara kurang lebih 8 tahun, Machmudi telah berubah total. Ia dalam berbagai kesempatan mengajak teman-temannya sesama mantan napiter untuk insyaf dan kembali ke jalan yang benar.

“Untuk menyambung hidup, saya membuka warung, membuka rental mobil dan usaha kecil kecilan lainnya,” ujarnya.

Share: Waspada, Ketika Media Sosial Dijadikan Alat Penyebaran Doktrin Terorisme