Isu Terkini

Erupsi Gunung Merapi: Menunggu Berkah dari Hujan Abu Vulkanik

Fariz Fardianto — Asumsi.co

featured image

Juandi sedang sibuk mempersiapkan proses masa tanam tembakau saat rumahnya di Desa Karangpakel, Kecamatan Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, tiba-tiba diguyur hujan abu vulkanik, Jumat pekan lalu, 11 Mei, sekitar pukul 08:00 WIB.

Hujan abu itu akibat letusan freatik yang ditimbulkan dari Gunung Merapi. Letusan freatik itu muncul dari dorongan tekanan uap air yang terjadi akibat kontak massa air dengan panas di bawah kawah Merapi.

Tak lama kemudian, Juandi mendengar gemuruh kencang dari puncak Merapi. Saat berbincang dengan Asumsi keesokan harinya, pria berusia 50 tahun tersebut mengungkapkan, jarak rumahnya dengan puncak Merapi sekitar 25 kilometer.

“Dekat memang kalau mau ke Merapi. Kebetulan saya pas mau menebar benih tembakau karena bulan ini perkiraan saya sudah masuk masa tanam,” kata warga Desa Karangpakel tersebut.

Juandi mengaku semula ia mengira suara gemuruh itu merupakan hasil buangan truk pasir yang saban hari melintasi jalanan desanya. Namun, dugaannya salah. “Saya kira suara batu yang diturunkan dari truk. Ternyata itu suara dari puncaknya Merapi, Mas,” tuturnya.

Bersahabat dengan Merapi

Namun, diakuinya bahwa letusan yang kerap muncul dari Merapi tak membuatnya keder. Juandi bilang, itu hal lumrah mengingat warga desanya sejak puluhan tahun sudah hidup bersama Gunung Merapi.

Merapi, katanya, menjadi sahabat yang baik bagi semua penduduk Karangpakel.

“Gejolak alam yang dihasilkan dari Gunung Merapi merupakan anugerah bagi kita. Tuhan Maha Adil, karena setiap abu vulkanik yang dikeluarkan pasti menyuburkan tanah pertanian di sini,” ungkapnya.

Anggapan tersebut tak berlebihan. Menurut Juandi, tiap butir abu vulkanik Merapi mengandung asam, nitrogen, dan fosfor yang mampu menyuburkan tanaman.

Ia bahkan menyebut tiap kali Merapi meletus, tanaman tembakau dan padi-padian yang terhampar luas di desanya bisa tumbuh dengan subur. Ia kerap memanen tembakau dengan hasil melimpah dan kualitas terbaik.

“Trucuk kan dikenal sebagai sentra tembakau, Mas. Di sini tembakau yang dipanen jenisnya sinar matahari dan rajangan. Siklus Merapi yang batuk-batuk ini terjadi hampir mirip sama tahun 2006 silam. Cuma bedanya dulu abunya sangat pekat, sampai-sampai rumah saya ketutup abu cukup tebal,” ujarnya.

“Tapi kita selalu bersyukur. Setiap bermunajat, harus mengharapkan yang baik-baik saja. Merapi itu bukan bencana tapi berkah melimpah yang kita dapatkan di sektor pertanian,” imbuhnya.

Di tahun 2006 silam, letusan Merapi terjadi sangat besar. Juandi mengingat bila ketika itu warga desanya ada yang mengungsi.

“Tapi saya tetap mengamankan keluarga di rumah,” katanya.

Momentum 2006 sulit dilupakannya. Musababnya, saat itu hampir bersamaan dengan gempa yang hampir meluluhlantakan seluruh wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

Antara takut dan was-was, ia bersama keluarganya memilih memperbanyak doa di rumah. Tiap doa ia panjatkan dengan harapan Merapi tak mengeluarkan abu lebih banyak lagi.

Teringat Kejadian 2010

Gunawan, warga Gamping, Sleman, itu beberapa kali mengalami hujan abu. Yang paling membekas dalam memorinya ketika kejadian dua kali terakhir sebelum 2018. Tepatnya pada 2010 silam.

“Tahun 2010 Merapi erupsi besar. Tapi debunya tidak sebanyak Kelud saat njebluk tahun 2014. Hanya saja, dampaknya dirasakan merata di Gamping,” akunya.

Ketika itu, warga sempat panik. Atap rumah yang berselimut abu vulkanik terasa panas. Parahnya lagi, tidak ada hujan selama empat hari.

“Enggak ada angin juga pas itu,” bebernya.

Kondisi berbeda terjadi pada Mei 2018. Situasinya tetap kondusif. Pasokan air bersih lancar. “Ngalir terus dan enggak kotor. Kita sekeluarga kerja bakti bersihin rumah. Soalnya pernah abis dibersihin ada hujan abu susulan,” tuturnya.

Debu vulkanik biasanya baru bisa bersih total sesudah tujuh hari. Aktivitasnya sempat terhambat saat hendak berpergian keluar rumah.

“Motornya jadi kena abu vulkanik. Yang sekarang enggak parah. Cuma tipis, beberapa kali nyapu sama ngepel, udah bersih,” ujar pensiunan PNS itu.

Sementara itu, Kepala Bidang Mitigasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Gede Suantika menuturkan letusan freatik dipicu air hujan yang masuk ke dalam kawah.

Setelah itu, air bersentuhan dengan bebatuan yang terpanaskan akibat pergerakan magma yang berupaya mendekati permukaan. Hal ini menyebabkan tekanan tinggi ke atas dan memunculkan asap solfatara disertai hujan abu.

Pada bersamaan, Gede menjelaskan akan muncul bau belerang yang disebabkan kandungan gas karbon yang ada di dalamnya. Bahkan jika letusan besar, bisa memicu munculnya semburan awan panas.

Letusan freatik juga disebut sebagai letusan pembuka. Munculnya letusan ini, biasanya mengawali dua letusan lain yang kekuatannya jauh lebih besar.

“Tapi saat ini kondisinya sudah normal,” katanya.

Share: Erupsi Gunung Merapi: Menunggu Berkah dari Hujan Abu Vulkanik