Kerusuhan Mei 1998 masih meninggalkan trauma yang mendalam di kalangan masyarakat yang mengalaminya. Gerakan yang awalnya bermaksud untuk mendemonstrasi kekuasaan Presiden RI ke-2 Soeharto yang kelewat absolut itu berubah menjadi panggung kekerasan, di mana ada lebih dari 288 orang meninggal, 101 orang luka-luka, 92 perempuan korban pemerkosaan, hingga ratusan rumah mall dan toko terbakar. Kerugianpun ditaksir mencapai Rp 2,5 Triliun.
Satu pertanyaan yang masih tersisa di masyarakat saat ini adalah, siapakah dalang dari aksi kekerasan tersebut?
Beberapa saksi mengatakan, bahwa memang ada kelompok provokator yang menyulut kerusuhan dengan cara melempar batu dan membakar toko demi menyulut emosi massa. Ciri-cirinya, mereka punya penampilan yang khas seperti tentara, dengan badan tegap, berambut cepak, namun memakai baju SMA dengan wajahnya yang tua. Kelompok provokator itu kemudian pergi meninggalkan jejak setelah kerusuhan mulai meledak. Tak ayal, para saksi memberikan istilah untuk para provokator tersebut sebagai ‘kelompok siluman’, yang datang tiba-tiba, dan juga menghilang secara misterius.
“Dari fakta yang ada, jelas sekali bahwa itu ulah militer,” ujar Sekretaris Umum Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin seperti dilansir dari CNN (12/05/2015).
Memang, ada banyak nama dari TNI khususnya Angkatan Darat serta kepolisian yang diduga kuat ada hubungannya dengan kekerasan 98. Artikel Tirto (22 Mei 2017) menyebutkan bahwa komandan lapangan saat itu di antaranya adalah Prabowo Subianto, Wiranto hingga Timur Pradopo. Hal ini tentunya membuat kepercayaan masyarakat kepada TNI AD dan Polri pada saat itu berada di titik nadir. Di saat itulah Korps Marinir TNI AL justru muncul dan melakukan pendekatan yang berbeda dibanding kedua satuan lainnya.
Untuk menggali lebih banyak soal peran TNI AL di Reformasi 98, ASUMSI berbincang dengan Kolonel Laut Beni Rudiawan, dari TNI AL yang kini menjabat sebagai biro akademik di Universitas Pertahanan (Unhan) soal keterlibatannya di momentum reformasi tersebut. Yuk, simak!
Marinir kerap disebut-sebut sebagai kawan bagi masyarakat saat kerusuhan Mei 1998, bisa dijelaskan alasannya?
Saat kejadian itu memang yang menangani pertama itu kan polisi, lalu karena polisi tidak mampu akhirnya minta bantuan ke TNI, nah yang maju jelas angkatan darat karena saat itu pucuk pimpinan kan angkatan darat, Pak Harto. Karena merasa loyalitas, angkatan darat berusaha menangani, namun saat itu kan mungkin kita juga tahu bahwa terjadinya pembakaran-pembakaran di beberapa mall itu ada indikasi itu angkatan darat. Karena ada indikasi itu, masyarakat bukannya makin simpati, akhirnya masyarakat yang melakukan penjarahan. Nah karena situasi udah makin rumit, kita kerahkan.
Tugas bapak waktu itu apa?
Saya waktu itu di penerbangan, tugasnya memberangkatkan pasukan marinir yang bukan hanya dari Jakarta, tapi dari Surabaya pun kita berangkatkan ke sana. Kebetulan saya di penerbangan, saya nyiapin pesawatnya.
Bagaimana persisnya peran marinir waktu itu?
Memang sudah ada doktrin untuk marinir bahwa, angkatan darat ternyata tidak mendapat respon positif dari masyarakat karena ada indikasi-indikasi pembakaran yang justru dilakukan oleh oknum-oknum angkatan darat yang berpakaian preman, kan indikasinya begitu. Akhirnya masyarakat bukannya makin simpati malah makin benci, ini kok beberapa mall dibakar malah sama oknum angkatan darat? Terutama Kopassus kan waktu itu angkatannya. Nah marinir, karena udah ada doktrin seperti itu, akhirnya lebih menggunakan cara-cara persuasif. Dan memang untuk marinir dari mulai tamtama, bintara, perwira, kita didoktrin untuk deket dulu sama masyarakat, jangan mengandalkan kekerasan. Ya walaupun ada juga sih oknum-oknum marinir prajurit yang berulah. Tapi alhamdulillah kejadian di pusat kota, yang di Senen itu, kita berangkatkan marinir dari Kwitang ditambah pasukan dari Surabaya juga, kita memang udah bener-bener membantu. Jadi dari doktrin bahwa kita ini udah tau masyarakat udah enggak seneng sama angkatan darat karena pucuk pimpinan juga angkatan darat, semua pos-pos dikuasai sama angkatan darat, pemerintahan paling rendah pun di kelurahan aja kan babinsa itu kan angkatan darat. Ya itu bisa dibilang kita diuntungkan situasi.
Strateginya marinir seperti apa?
Yang jelas kita dengan cara persuasif melakukan strategi pendekatan pada masyarakat, terus kemudian melakukan pendekatan-pendekatan pada korban-korban, terutama dari kelompok masyarakat etnis Tionghoa itu kan yang banyak jadi korban, kita malah nyiapin mobil, nyiapin truk untuk evakuasi, dan sebagainya. Jadi masyarakat kan liat, oh ini kok marinir beda cara penanganannya.
Contoh lain penanganannya?
Contohnya ya ketika terjadi kerusuhan itu, kita seminimal mungkin menggunakan senjata, walaupun itu peluru karet. Jadi kita memang enggak sama sekali, karena kita tahu lah, dari cara gulung baju kan juga udah beda angkatan darat sama angkatan udara. Ditambah juga sikap marinir waktu itu sudah didoktrin pokoknya jangan sampai malah memperkeruh suasana. Diusahakan seminimal mungkin kita jangan menggunakan senapan, udahlah pake tangan aja lah, pasang badan, ibaratnya gitu.
Ingatan tentang 1998?
Memang pemerintah saat itu, Soeharto, di satu sisi memang dia bagus pemerintahannya karena menggunakan TNI sebagai kekuatannya, tapi TNI yang mana dulu. Karena TNI kita kan darat laut udara, tapi saat itu kelihatan sekali bahwa angkatan darat lah yang paling diunggulkan, tapi karena kita tidak boleh berpolitik, kita hanya melihat aja, presiden kita kok begini. Dan bahkan, waktu itu kan ada Fraksi ABRI di MPR, ya itu kan orang-orang itu semua. Saya enggak bilang Soeharto itu jelek, karena ya memang sudah waktunya mungkin kita harus reformasi. Bahwa kita enggak bisa hanya mengandalkan militer untuk melakukan pendekatan pada masyarakat, yang paling salah adalah ketika TNI digunakan sebagai alat politik.
Bagaimana hubungan antara marinir dengan angkatan darat pasca 1998?
Ya kita sih tetap solid, walaupun ada aja gesekan-gesekan di level bawah terutama di pasukan, baik itu darat, laut dan udara bahkan dengan kepolisian. Di tambah lagi semenjak adanya UU TNI itu kan Polri memisahkan diri, tapi kita juga melihat, kenapa Kapolri kok bisa di bawah langsung presiden? sementera di negara-negara lain, kepolisian itu di bawah kementerian. Jadi memang era reformasi itu bagus karena membuka keran demokrasi, tapi kan permasalahan negara tidak hanya dilihat dari aspek politik.
Bagaimana cara marinir tetap menjaga netralitasnya sebagai prajurit pasca 1998?
Menurut saya, kan memang TNI tidak boleh berpolitik, oke, hak pilih kita dicabut juga enggak ada masalah, tapi jangan politik menggunakan kekuatan militer. Ini yang kita doktrin betul, agar jangan sampai prajurit TNI bergabung masuk ke dalam salah satu partai atau pendukung partai. Makanya setelah era reformasi kan banyak ada kejadian helikopter angkatan laut dipinjem sama Pemda untuk dipakai kampanye, ini jangan sampai terjadi. Pokoknya kalau saya flashback, janganlah negara ini menggunakan TNI sebagai politik.
Pandangan Pengamat: Marinir Hadir di Waktu yang Tepat
Menurut pengamat politik dan keamanan Yohanes Sulaiman, sebenarnya pasukan marinir yang terjun saat kerusuhan Mei 1998 tidaklah banyak, namun kehadirannya menjadi tepat ketika para demonstran dan aparat tak mau lagi bernegosiasi.
“Mereka berada pada masa yang tepat, marinir saat itu menjadi pasukan satu-satunya yang berani dan mau bertindak demi melindungi para korban, dan juga menciptakan ketertiban,” ujar Yohanes pada ASUMSI (15 Mei).
Pengamat yang juga merupakan dosen di Universitas Ahmad Yani Semarang ini juga memuji sikap marinir yang menurutnya bisa menjaga kehormatan sebagai prajurit dalam situasi 1998 yang genting.
“Marinir ini memiliki kekuatan yang lebih terhadap tanah air, ia bisa menjaga kehormatan meskipun keadaan dan kondisi saat itu bisa dibilang parah, dan menurut saya itu adalah bukti kehebatan marinir. Ironisnya sekarang marinir sudah melupakan perjuangannya, dan sekarang kekuatan mereka pun tidak terdengar lagi namanya,” tandasnya.