20 Maret 2018 kemarin, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merayakan usianya yang ke-20 tahun. Sejarah panjang perjuangan pun masih terus berlanjut dan akan tetap hidup sampai keadilan terwujud.
Angka 20 memang terasa cukup penting, lantaran hari jadi KontraS tahun ini menjadi penanda reflektif gerakan reformasi, karena 20 tahun KontraS bertepatan dengan momentum 20 tahun Reformasi yang akan diperingati pada bulan Mei mendatang.
Usia ke-20 tahun dinilai sebagai usia yang matang untuk terus menyebar keberanian dan merawat kemanusiaan. KontraS akan terus ada sampai negara bisa menuntaskan seluruh kasus pelanggaran HAM dan keadilan terpenuhi bagi masyarakat Indonesia.
Runtuhnya Orde Baru dan Lahirnya KontraS
Di awal berdirinya, KontraS memang identik sebagai bentuk gerakan perlawanan terhadap rezim kepemimpinan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Semua dimulai pada tanggal 12 Mei 1998, ketika aparat keamanan menembak mati empat mahasiswa Universitas Trisakti.
Kala itu berlangsung demonstrasi damai menentang rezim Orde Baru di depan kampus Trisakti. Saat itu pula gelombang gerakan reformasi langsung pecah sehingga mengubah konstelasi politik Indonesia.
Alhasil, kondisi itu pun memancing gelombang besar sejumlah demonstrasi massa dan mahasiswa serta perlawanan rakyat terhadap rezim Orde Baru yang dianggap gagal. Situasi pun sulit dikendalikan saat itu.
Akhirnya pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakilnya saat itu, BJ. Habibie. Setelah lengsernya Soeharto, rezim Orde Baru kehilangan kekuatan utamanya.
Soeharto turun, kondisi Indonesia pun berubah drastis. Keran reformasi mulai dibuka dengan masuknya fase politik yang baru yakni menurunnya legitimasi dan otoritas politik negara atas masyarakat sehingga peran masyarakat sipil semakin kuat.
KontraS lahir 20 tahun lalu atas inisiasi keluarga korban penghilangan paksa dan sejumlah tokoh serta kelompok masyarakat sipil.
Lahirnya KontraS melekat dengan situasi sosial politik saat itu, sejalan dengan menguatnya tuntutan dan perlawanan rakyat kala itu dalam menyuarakan pelanggaran HAM yang terjadi akibat tindakan represif rezim Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto dan para royalisnya.
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, kekuasaan yang dimiliki Presiden Soeharto dan kroninya telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam kondisi hak asasi manusia paling buruk yang dampaknya masih dirasakan hingga saat ini.
Atas kebutuhan akan alat perjuangan baru, sejumlah aktivis dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan luar YLBHI akhirnya berkumpul untuk mendeklarasikan berdirinya organ taktis bernama KontraS pada 20 Maret 1998.
Pada saat itu, disepakatilah namanya Komisi untuk KontraS, kepanjangan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Selain itu, nama KontraS sebenarnya juga bermakna Kontra Soeharto.
Sejumlah lembaga yang mendukung berdirinya KontraS adalah YLBHI, LBH Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), PIPHAM, LP-HAM, LA-Pasipa, PMII, Center for Policy Strategy Management (CPSM).
Lalu, ada juga sejumlah tokoh yang mendukung seperti Franz Magnis Suseno, Todung Mulya Lubis, Mulyana W. Kusumah, Ibrahim G. Zakir, Hermawan Sulistyo, dan lainnya.
“Organisasi ini hanya berawal dari kumpulan orang nekat untuk merespons situasi politik yang semakin memanas dengan banyaknya praktik penghilangan orang secara paksa oleh penguasa Orde Baru yang paranoid,” kata mantan Koordinator KontraS, Haris Azhar kepada Asumsi, Kamis 22 Maret.
“Orang-orang nekat itu bisa ditelusuri dari nama pendiri dan para pekerja di hari-hari awal organisasi berdiri. Selain individual, juga turut serta sejumlah organisasi yang bekerja pada isu HAM dan demokratisasi.”
“Dalam penilaian saya ya, orang-orang tersebut seperti Mulyana W. Kusuma, Todung Mulya Lubis, Franz Magnis Suseno, M. Billah dengan sejumlah pekerja seperti Munir (sekaligus pendiri), Robertus Robet, Ezki Suyanto, Daniel Hutagalung, bukan sekedar musiman.”
“Mereka adalah sejumlah individu yang memang punya track record petarung pada isu hak asasi manusia, demokratisasi, dan penegakan hukum di zaman Orde Baru,” ujar Haris.
KontraS Tak Punya ‘Kitab Suci’
Dalam melakukan kerja-kerja investigasi, Haris mengakui bahwa sampai hari ini, KontraS memang tak memiliki kitab suci atau semacam buku panduan cara melakukan advokasi, meskipun KontraS pernah menerbitkan buku, menyelenggarakan berbagai workshop atau memberikan pelatihan advokasi HAM kepada berbagai kalangan.
“Saya ingat berkali-lali di masa kepemimpinan Munir, bahwa KontraS jangan mengulang kerjaan LBH-LBH, karena KontraS bukan LBH. Pernyataan-pernyataan itu keluar dari orang-orang yang notabene merupakan aktivis LBH seperti Munir, Munarman, dan Robertus Robet,” ucap Haris.
“Dulu saya mencari tahu maksud pernyataan ini, namun belakangan saya makin paham maksud tersebut. Setidaknya dalam konteks historis, KontraS didirikan untuk melengkapi kerja YLBHI dan organisasi lain yang sudah ada dalam bidangnya seperti litigasi dilakukan YLBHI, bidang riset dan penerbitan dikerjakan ELSAM, dan lain-lain. Lalu apa tugas KontraS? Saya menamakan sebagai ‘Advokasi 360 Derajat’.”
Advokasi 360 Derajat yang dimaksud Haris sendiri adalah advokasi yang mengenal segala jenis tindakan untuk memastikan fakta pelanggaran HAM nyata dan terang terungkap, lalu disampaikan kepada pihak yang kompeten agar terjadi penanganan situasi yang tepat sesuai standar HAM.
Indonesia Masih Jalan di Tempat dalam 20 Tahun Reformasi
Sementara itu, Koordinator KontraS, Yati Andriyani mengatakan bahwa memasuki 20 tahun Reformasi, Indonesia nyatanya belum mampu keluar dari berbagai persoalan HAM, korupsi, perusakan, eksploitasi, pengusaan sumber daya alam, dan berbagai tindak kejahatan lainnya yang diakibatkan oleh kekebalan hukum (impunitas) para penjahat HAM dan kroni-kroninya.
“Indonesia seperti tengah dituntun kembali menuju watak Orde Baru dengan berjalan mundur menapaki kembali jejak watak represif, dan menuju pada situasi yang mempersempit nilai dan ruang demokrasi,” kata Yati Andriyani.
Lebih lanjut, Yati mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo yang di dalam dokumen Visi Misi dan Progam Aksi menyatakan bahwa reformasi 1998 menjanjikan lahirnya Indonesia Baru yang lebih demokratis, sejahtera, berkeadilan, dan bermartabat.
Namun 16 tahun kemudian atau pada 2014, jalan menuju pemenuhan janji-jani reformasi itu tampak semakin terjal dan penuh dengan ketidakpastian. Dan dalam tiga Problem Pokok Bangsa, Presiden Jokowi menyebutkan wibawa negara merosot apabila membiarkan pelanggaran hak asasi manusia dan lemah dalam penegakan hukum. Ternyata kini faktanya jauh dari dari kenyataan.
“Janji-janji itu belum juga ditepati. Memasuki tahun ke-4 Pemerintahan Joko Widodo-JK yang ada malah menambah persoalan menjadi semakin pelik dan terjal, lemahnya penegakan hukum, penuh ketidakpastian hingga impunitas yang semakin langgeng.”
Terlebih, jelang 20 tahun Reformasi, pemerintahan Jokowi masih gagal dalam menindaklanjuti penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu dan sejumlah agenda keadilan transisi lainnya.
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM sebagai amanat konsitusi, reformasi dan sejumlah peraturan perundang-undangan, tidak dilaksanakan Presiden Jokowi karena tidak ada satu pun kasus-kasus tersebut yang diproses di Pengadilan HAM ad hoc.
Selain itu, pemerintah juga gagal menemukan dan mengungkapkan di mana keberadaan para korban penghilangan paksa, dan juga terus “menyembunyikan” keberadaan dan isi Dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir.
Presiden juga tidak menindaklanjuti janji ratifikasi Konvensi Internasional Penghilangan Orang Secara Paksa meski Pemerintah Indonesia sudah terlebih dahulu menandatanganinya pada tahun 2010 silam. Ironisnya, Presiden Jokowi justru mengangkat dan memberikan tempat strategis bagi aktor-aktor penjahat HAM masa lalu di dalam pemerintahannya.
“Sementara para korban pelanggaran HAM yang setiap hari Kamis sore berdiri di depan Istana Presiden untuk menagih keadilan melalui “Aksi Kamisan”, tidak pernah digubris dan dipenuhi hak-hak konstitusionalnya.”
Memasuki dua dekade berdirinya KontraS, masih banyak sejumlah kasus pelanggaran HAM dan pembatasan kebebasan sipil terus terjadi dan berulang.
Kematian aktivis HAM Munir Said Thalib, pendiri sekaligus mantan Koordinator KontraS, disusul kasus kekerasan terhadap pembela HAM lainnya menjadi ancaman serius bagi demokrasi, kebebasan sipil dan jaminan hak atas keadilan.
Lemahnya penegakan hukum juga terlihat dalam kasus Novel Baswedan, salah seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diserang secara terbuka dengan mengunakan air keras. Sudah 11 bulan sejak peristiwa ini terjadi, namun proses hukumnya tidak pernah tuntas.
Oleh karena itu, momentum 20 tahun Reformasi ini juga menguji sejauh mana Indonesia mampu menjalankan momentum elektroral di tahun politik ini secara substantif dan berkualitas, tidak selalu berujung dengan bagi-bagi kekuasaan semata.
Pada momentum 20 tahun KontraS, 20 tahun Reformasi, KontraS pun mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama memastikan agenda reformasi dipatuhi sebagai rambu oleh penguasa.
KontraS menolak dan melawan segala bentuk dan tindakan kekerasan dan refresif, menolak upaya-upaya dan aktor-aktor yang berupaya untuk menyeret kembali bangsa ini ke era yang totaliter, anti demokrasi dan HAM dan mendorong penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, penegakan hukum, reformasi sektor keamanan, dan pemberantasan korupsi.