Bagi seorang Rian Ernest, terjun ke politik adalah kebetulan. Tiga tahun yang lalu, ia tak pernah membayangkan bahwa sejak dua bulan terakhir ini hingga tahun depan, dirinya akan sibuk memperkenalkan diri kepada calon konstituennya di daerah pemilihan (dapil) DKI I Jakarta Timur.
Pria kelahiran Berlin, Jerman, 24 Februari 1987, itu kini mantap ingin menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) lewat Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang baru diloloskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bisa mengikuti kontestasi Pemilu 2019 mendatang.
Namun sebelum memutuskan untuk memperkenalkan diri dan mengetuk langsung rumah warga satu per satu, Rian mengaku telah melewati proses pertimbangan yang panjang.
“Awalnya gue enggak mau masuk politik. Karena sama dengan anak-anak muda lainnya, gue buta dan tuli sama politik Indonesia. Gue liat ekosistemnya begitu jorok, bikin gue ogah masuk politik,” ujarnya kepada Asumsi pada Senin, 26 Februari.
Namun satu yang pasti, Rian punya passion di bidang kebijakan publik. Kandidat Master in Public Policy di Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura, ini ingin melayani orang banyak. Hal itulah yang menumbuhkan minatnya terhadap bidang ketatanegaraan. Setelah menamatkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rian kemudian bekerja sebagai pengacara perusahaan. Gajinya besar. Namun tetap saja, ada yang hilang di dalam hatinya.
“Memang jadi pengacara ini rasanya keren ya, pakai jas, ketemu client di penthouse, tapi gue lebih ada kepuasan batin ketika turun ke kampung dan bertemu masyarakat,” akunya.
Magang di Kantor Gubernur Ahok
Setelah menjalani profesi sebagai corporate lawyer selama kurang lebih enam tahun, Rian memutuskan untuk banting stir menjadi staf magang di kantor mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ia menyebut, gajinya di kantor Ahok hanya sepertiga dari gajinya sebagai pengacara. Namun kesempatan untuk belajar politik dari sosok gubernur asal Belitung Timur itu membuka matanya tentang sisi baik dari politik.
“Dengan gue kerja langsung sama dia, seruangan setiap hari, gue jadi yakin bahwa kita bisa, kok, berpolitik tanpa korupsi,” ujarnya.
“Tapi kalau lo kerja sama orang, semuanya jadi tergantung majikan lo. Contohnya aja kayak sekarang, kalau Pak Ahok di penjara atau sakit, terus gue mau kerja sama siapa? Mendingan gue maju sendiri. Indonesia butuh orang-orang yang berpolitik,” ucap Rian perihal salah satu alasan yang mendasarinya maju sebagai bakal calon anggota legislatif (caleg) tahun depan.
Berangkat dari niatnya ini, Rian memantapkan diri untuk bergabung dengan PSI. Menurutnya, partai binaan mantan reporter Grace Natalie ini punya potensi yang besar untuk menarik suara publik. Selain itu, dengan banyak mendudukkan anak muda di kepengurusannya, Rian melihat PSI punya idealisme politik yang lebih kuat dibanding partai lain.
Kini Rian menjabat sebagai Wakil Ketua DPW di PSI DKI Jakarta. Kegiatannya selain memperkenalkan diri kepada warga dari Cipinang hingga Kampung Melayu adalah juga menyelesaikan pendidikan S2-nya di Singapura.
Mantan Pengajar Muda di Nusa Tenggara Timur itu bercita-cita akan terwujudnya demokrasi yang murah dan kampanye yang rendah biaya.
“Gue selama ini turun aja ke rumah-rumah, satu-satu gue datengin, terus gue memperkenalkan diri. Gue bilang warga bahwa gue pengen melamar kerja lewat sini, Jakarta Timur. Lalu gue dengarkan aspirasi mereka apa. Gue pengin memberikan pendidikan politik pada rakyat bahwa nyaleg tidak selalu identik dengan bagi-bagi sembako atau duit, tapi justru dengan bertukar pikiran,” katanya.
Ingin Duduk di Komisi III atau Komisi IX
Rian juga begitu antusias ketika membicarakan soal kerja legislatif idealnya jika kelak terpilih nanti.
Ia sudah tahu di mana ia ingin duduk, yaitu di Komisi III yang membawahi bidang hukum, hak asasi manusia (HAM), dan keamanan, atau komisi IX yang membawahi soal tenaga kerja, transmigrasi, kependudukan, dan kesehatan.
Alasannya sederhana saja. Untuk Komisi III, Rian ingin menaikkan gaji polisi dan penegak hukum yang selama ini begitu rendah sehingga kinerjanya kurang maksimal. Hal itu bermula dari keinginannya menjadi jaksa setelah lulus kuliah hukum di UI. Namun cita-cita itu ia urungkan setelah mengetahui bahwa gaji fresh graduate di kejaksaan pada 2003 hanya Rp2 juta. Pada saat itu, ia menyadari pentingnya arti remunerasi yang layak bagi penegak hukum untuk menangkis godaan korupsi.
Sedangkan untuk Komisi IX, alasannya lebih personal. Rian ingin membenahi sistem BPJS yang menurutnya begitu penting. Ada cerita sedih namun inspirasional bagi Rian di balik pembenahan BPJS ini.
“Kalau enggak ada BPJS, pasti gue udah bangkrut karena almarhumah Mama dulu mengidap kanker. Waktu itu, biaya sekali kemo (chemotheraphy) adalah Rp40 juta,” ucapnya.
“Pas masih dirawat, gue nawarin Mama untuk jual mobil atau rumah demi biaya pengobatan, tapi Mama bilang bahwa kita punya BPJS. Jadilah selama kemo, biayanya ditanggung BPJS. Di situ gue sadar pentingnya asuransi kesehatan ini.”
Jika melihat dari perawakannya yang merupakan blasteran Indonesia-Jerman, Rian mengakui bahwa selama ini banyak pihak yang menganggap dirinya berasal dari keluarga kaya raya. Padahal, hidupnya justru sangat sederhana.
“Enggak ada tuh kemewahan. Mama single parent, gue kuliah S2 aja beasiswa. Kalau enggak beasiswa, duit dari mana gue?” katanya.
Karena modalnya yang tidak besar inilah, Rian berkomitmen untuk terus mengetuk pintu-pintu warga di Jakarta Timur untuk membantunya melenggang ke Senayan.
“Gue enggak bakal bagi-bagi duit. Yang gue bisa, ya ketemu sosialisasi door-to-door aja. Gue masih muda, jadi masih kuat untuk turun ke lapangan sampai tahun depan. Ini strategi kampanye gue,” ujarnya penuh semangat.