Isu Terkini

Nasib Warga Desa Sungai Iyu, Aceh, Tergusur Perusahaan Sawit

Habil Razali — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Sri Hariyati tentu tak pernah membayangkan dirinya termasuk dalam 64 Kartu Keluarga yang digusur oleh perusahaan sawit. Padahal, ia sudah menetap di Desa Perkebunan Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh selaman bertahun-tahun.

Perempuan berusia 47 tahun itu tampak terbata-bata saat menjelaskan kisah panjang awal mula timbul sengketa antara warga dan perusahaan sawit di desanya, dalam diskusi Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) di sebuah warung kopi di Banda Aceh, pada Jumat sore, 19 Oktober 2018.

Warga yang bermukim di Desa Perkebunan Sungai Iyu yang telah berdiri sejak tahun 1953 ini, dituduh telah menguasai lahan dan aset perusahaan karena wilayah perkampungan mereka berada dalam Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan sawit PT Parasawita (belakangan dialihkan ke PT Rapala). Padahal izin HGU baru terbit pada tahun 1973, jauh setelah kampung seluas 144 hektare itu berdiri.

Pada awal HGU terbit, warga Sungai Iyu tidak mempermasalahkannya karena sebagian dari mereka menjadi karyawan dan ikut bekerja di perusahaan sawit PT Parasawita. Namun, masalahnya kemudian muncul saat PT. Parasawita mengalihkan HGU dan aset perusahaannya ke PT. Rapala (Raya Padang Langkat) pada tahun 2013.

Peralihan Hak Guna Usaha PT. Parasawita kepada PT. Rapala dikabulkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI sesuai dengan surat No. 5002-5003/14.3-300/XII/2013 Tanggal 9 Desember 2013, selanjutnya dilakukan pengalihan hak atas tanah berdasarkan Akta Jual Beli No. 808/2013 Tanggal 14 Desember 2013 dan didaftarkan balik nama sertifikatnya pada Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Tamiang pada Tanggal  20 Desember 2013. PT. Rapala merupakan perusahaan yang berkedudukan di Medan, Provinsi Sumatera Utara.

Setelah peralihan HGU dan aset itu, PT Rapala sebagai pemilik izin HGU yang baru, menganggap keberadaan Desa Perkebunan Sungai Iyu masuk ke kawasan areal perusahaan. Oleh karenanya, sejak saat itu PT Rapala meminta warga untuk keluar dari kampungnya sendiri karena diklaim oleh perusahaan masuk dalam HGU.

Mereka juga tidak menerima warga yang kebanyakan bekas karyawan PT Parasawita untuk bekerja di PT Rapala. Menurut mereka, yang dialihkan hanya areal perkebunan dan tidak termasuk karyawan. Selain itu, mereka juga meminta agar warga mengosongkan perumahan di Desa Sungai Iyu, yang sebelumnya didirikan oleh PT Parasawita.

Keberadaan desa ini telah ada jauh sebelum diterbitkan HGU PT.Parasawita yang pertama di tahun 1973 dan diperpanjang pada tahun 1990. HGU PT. Parasawita berakhir pada 31 Desember 2015 lalu dan telah diperpanjang oleh PT. Rapala, yang terdaftar pada tanggal 22 April 2014. Berdasarkan hasil pengukuran batas bidang tanah –kadastral– dilakukan untuk proses perpanjangan izin, luas areal HGU mencapai 1.108,6 hektare. Luas itu tercantum dalam peta bidang tanah nomor 66/2013 tanggal 20 Desember 2013.

Dari seribu hektare lebih luas HGU itu, ternyata terdapat sebagian areal yang harus dikeluarkan (enclave) dari HGU PT Rapala, yaitu seluas 34,9 hektare. Areal yang dikecualikan dari HGU itu, merupakan persawahan yang terletak di sebelah barat seluas enam hektare, lahan SDN Marlempang seluas sekitar 1,1 hektare, persawahan areal pemukiman, jalan umum, dan parit keliling di wilayah Desa Tengku Tinggi seluas 27,8 hektare. Namun anehnya, pemukiman Desa Perkebunan Sungai Iyu seluas 144 hektare, tidak termasuk dalam wilayah yang dikecualikan. Artinya, desa itu menjadi bagian dari wilayah yang berhak dikelola oleh perusahaan PT Rapala.

Siswa Dipindahkan, Sekolah Jadi Tempat Penyimpanan Pupuk

Intimidasi dan pengusiran, serta kiriman surat perintah keluar dari desa diterima oleh warga sejak tahun 2013. Salah satunya, pada medio 2016 silam, Sri Hariyati dan beberapa ibu-ibu lainnya mendatangi Sekolah Dasar Yayasan Harapan Gani Mutiara yang berada tak jauh dari rumahnya di Desa Perkebunan Sungai Iyu.

Hari itu, mereka ingin menjenguk anak-anaknya yang belajar di sekolah swasta, yang sebelumnya didirikan oleh PT Parasawita sekitar tahun 1980-an. Namun sejak ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sekolah swasta ini menjadi milik desa.

Kedatangan Sri dan orang tua murid lainnya bukan tanpa alasan, tetapi mereka terusik karena ketika sedang berlangsung proses belajar dan mengajar, pihak PT Rapala mendatangi sekolah dan turut membawa mobil dump truk. Pihak perusahaan menyuruh anak murid sekolah itu dipindahkan ke SD Marlempang yang berada di kampung sebelah.

“Kami menolak dan memohon kepada pihak perusahaan sampai akhir semester saja anak sekolah bisa sekolah di situ, jangan dulu dipindahkan ke SD Marlempang karena jaraknya jauh,” tutur Sri Hariyati. Meski telah memohon, pihak perusahaan tak mendengar suara Sri Haryati serta orang tua murid lainnya. Perusahaan tidak mengurungkan niatnya.

Pagi itu juga, perusahaan mengangkat semua meja dan kursi sekolah untuk diangkut ke sekolah di desa tetangga yang jauh dari Desa Perkebunan Sungai Iyu. Setelah bangunan sekolah kosong, Sri menyebut hingga kini bangunan sekolah di sana telah dijadikan kantor PT Rapala dan gudang penyimpanan pupuk kelapa sawit.

Pada tahun 2017, Sri menuturkan sebagian gedung sekolah yang dijadikan kantor perusahaan terbakar. Padahal menurut dia, gedung itu dijaga ketat oleh pihak perusahaan. “Padahal sekolah dijaga oleh pihak perusahaan, yang herannya kenapa bisa terbakar?” tanya Sri.

Warga Meninggal, Terpaksa Dikuburkan di Desa Tetangga

64 KK penduduk Desa Perkebunan Sungai Iyu seringkali mendapat intimidasi dari perusahaan agar segera meninggalkan desanya. Dari jumlah itu, kini hanya tersisa sekitar 50 KK yang tetap berjuang untuk tinggal di sana. Sementara yang lain memilih pindah ke rumah keluarga di daerah lain karena sudah merasa tidak nyaman, dan pindah karena dibayar oleh PT Rapala sebesar Rp2,5 juta. Dari jumlah tiga dusun di desa itu, kini yang masih ditempati hanya dua dusun. Sementara rumah peninggalan pemiliknya yang pindah, dirobohkan oleh perusahaan.

Sri menyebut, sejak tahun 2013 hingga sekarang, warga Desa Perkebunan Sungai Iyu sudah dilarang membangun bangunan fisik di desanya. Meskipun itu program pembangunan yang berasal dari dana desa. Oleh karenanya, setiap anggaran dana desa yang keluar, hanya bisa digunakan untuk program non-fisik, misalnya budidaya pertenakan dan pembelian damtruk untuk kepentingan masyarakat. Bahkan pembangunan fasilitas umum seperti parit juga tidak diperbolehkan.

Larangan pembangunan fisik bukan hanya saat membangun parit, namun turut terjadi saat warga berinisiatif hendak memagari tanah pemakaman umum milik desa yang telah ada sejak desa ini berdiri. Dengan larangan memagar pemakaman, warga memahami bahwa perusahaan memang telah melarang penguburan jenazah di tanah itu. “Pemakaman tidak boleh dipagar, tapi kalau dikuburkan mereka tidak bilang (melarang) langsung,” ujar Sri.

Tetapi yang yang meninggal baru-baru ini, kata Sri, warga menguburkan jenazahnya di kampung tetangga di Desa Paya Reuhat. “Baru-baru ini ada yang meninggal, kami kuburkan di kampung sebelah di Paya Reuhat,” sebut Sri Hariyati.

22 Warga Sungai Iyu Dijadikan Tersangka

Sengketa antara warga dan perusahaan semakin sering terjadi. Perusahaan terus memaksa warga pindah, sementara warga tetap bersikukuh untuk tinggal di kampung halamannya sendiri. Pada Jumat 20 April 2018, dibuatlah sebuah pertemuan di Kantor Kecamatan Bendahara antara warga dengan PT Rapala. Saat pertemuan itu digelar, warga yang didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh tak melihat perwakilan dari PT Rapala, yang ada hanya dari pihak kecamatan, polisi sektor, dan koramil.

Dari rapat itu, warga diminta segera meninggalkan desanya dan perusahaan akan memberikan kompensasi. Kompensasi itu antara lain, uang sewa rumah sekitar Rp10-15 juta atau untuk sewa rumah selama dua tahun, khusus untuk Datok (kepala desa) akan diberikan uang sewa Rp15-20 juta atau untuk sewa rumah selama tiga tahun, dan perusahaan akan menyediakan truk pengangkut barang dalam radius terjauh ke Medan, serta memberikan uang tali asih.

Setelah rapat itu, warga Desa Perkebunan Sungai Iyu menggelar musyawarah desa dan bakal memberikan keputusan pada rapat selanjutnya. Kemudian dalam rapat berikutnya pada 2 Mei 2018, masyarakat melalui kepala desa secara lisan dan tertulis menolak tawaran PT Rapala dan bersikukuh tetap menempati desa. Setelah penolakan tawaran itu, kemudian PT Rapala melaporkan kasus ini kepada Kepolisian Resor Aceh Tamiang.

Baru sekali dipanggil ke Mapolres, sebanyak 22 warga Desa Perkebunan Sungai Iyu langsung ditetapkan sebagai tersangka, namun tidak ditahan. Mereka berstatus sebagai tersangka berdasarkan LP.A/36/V/2018/SPKT/ tanggal 23 Mei 2018 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Jo Pasal 5 dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya.

Kapolres Aceh Tamiang, AKBP Zulhir Destrian mengakui penetapan tersangka tersebut dilakukan setelah adanya delik aduan dari pihak perusahaan. “Tapi kami belum mengambil tindakan apapun terhadap mereka, kasus sedang difasilitasi pemerintah daerah,” katanya, seperti dilansir acehkita.com, 15 Juli 2018.

Menurut Kapolres, pernah difasilitasi pertemuan antara warga dan perusahaan untuk mencari solusi. Kepolisian dalam hal ini bersikap hati-hati dan menunggu hasil dari mufakat antara warga, pemerintah daerah, dan pihak perusahaan. “Setelah ada solusi, tinggal meminta perusahaan untuk mencabut delik aduan,” tutur dia.

Terdaftar di Pemerintahan Aceh

Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Mustiqal Syahputra, mengatakan, pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga selesai dan memberikan pendampingan kepada warga. Selain itu, LBH juga akan terus melengkapi berkas sebelum kasus ini dialihkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Kita akan terus kawal kasus ini dan akan terus melakukan pendampingan kepada masyarakat,” kata Mustiqal.

Mustiqal juga menyebut, Desa Perkebunan Sungai Iyu merupakan sebuah desa yang definitif di Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang. Hal itu dibuktikan dengan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 140/911/2013 tentang penetapan nama dan nomor kode wilayah administrasi pemerintahan kecamatan, mukim, dan gampong di Aceh. Dalam keputusan itu, Desa Pekebunan Sungai Iyu Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang terdaftar di Pemerintahan Aceh dengan kode 11.16.02.04.2013 serta wilayah administrasi seluas 10.07 hektare.

“Bahkan, Permendagri sebagaimana juga telah menetapkan wilayah itu sebagai kawasan permukiman penduduk sebagaimana termuat dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,” tutur dia. Sri Hariyati tetap semangat mempertahankan desanya dari gusuran perusahaan sawit. Tekatnya semakin kuat ketika suaminya ikut terlibat dalam 22 warga yang ditetapkan sebagai tersangka. “Kami diminta untuk tinggalkan desa, perusahaan akan menggantikan uang sewa rumah sebesar Rp10 juta dan juga mencabut status ke 22 tersangka tersebut, tapi kami menolak,” tutur Sri.

Share: Nasib Warga Desa Sungai Iyu, Aceh, Tergusur Perusahaan Sawit