Budaya Pop

Shazam, Logika Anak dalam Narasi Manusia Super

The Conversation — Asumsi.co

featured image

Jatuh bangunnya film pahlawan super dari Amerika Serikat cukup menarik disimak. Awalnya, film-film adaptasi seperti “Batman and Robin,” “Daredevil” dan “Green Lantern” benar-benar menjadi fotokopi dari aksi komiknya. Alhasil, genre ini kerap terlihat kekanak-kanakan dan gagal memenangkan hati penonton dewasa.

Keadaan ini berbalik ketika lebih dari satu dekade lalu, Christoper Nolan mengeluarkan film pertama dari trilogi Batman yang diproduksi Warner Bros. Nolan, yang kala itu namanya tengah melejit karena membuat film-film thriller seperti “Memento” dan “Insomnia,” berhasil menyuntikkan drama dalam dosis tepat ke dalam genre superhero. “Batman Begins” yang dibintangi oleh Christian Bale tampil sebagai cerita pahlawan super yang cerdas. Unsur kekanak-kanakannya pun hilang, karena perkara melawan penjahat menjadi urusan serius untuk orang dewasa. Dalam sekuelnya, Batman menjadi lebih dari sekadar manusia berkostum kelelawar. Ia menjadi Ksatria Kegelapan alias “The Dark Knight.”

Pengangkatan derajat film pahlawan super yang dilakukan Nolan ini kemudian menjadi patokan dalam pembuatan film pahlawan super di belahan dunia barat. Nolan dianggap berhasil membuat film pahlawan super yang terpuji. Sayangnya, keterampilan melihat celah tersebut sepertinya hanya dimiliki Nolan dan gagal diteruskan oleh sejumlah sutradara yang dipekerjakan Warner Bros untuk membesarkan DC Extended Universe. Film-film seperti “Suicide Squad,” “Batman v Superman: Dawn of Justice” dan “Justice League” seperti terkena kutukan bahwa film pahlawan super harus terlihat gelap dan dramatis agar bisa tampil berwibawa. Alhasil, semakin keras DCEU mencoba tampil prima, semakin konyol jalan cerita yang mereka karang untuk membuai penonton.

Kutukan ini mulai bisa dipatahkan oleh Patty Jenkins dengan “Wonder Woman” dan James Wan dengan “Aquaman” yang serba cerah dan penuh warna. Namun, baru di film “Shazam” lah, DCEU benar-benar tampil tanpa beban.

Senangnya Mendapat Kekuatan Super

Film ini dimulai dengan kisah seorang anak kecil bernama Thaddeus Sivana yang mendadak berpindah ke alam fana ketika memainkan Magic 8-Ball. Di alam lain tersebut, ia bertemu seorang penyihir bernama Shazam (Djimon Hounsou) dan sejumlah patung berisi tujuh arwah dosa pokok yang mematikan, yakni Sombong, Serakah, Marah, Nafsu, Rakus, Malas dan Iri Hati. Sebagai anggota terakhir dari konsulat penyihir, Shazam harus mewariskan kekuatannya kepada sang Juara baru.

Thaddeus gagal menjadi Juara terpilih karena ia termakan godaan mata Iri Hati. Ia pun dikembalikan ke alam nyata. Kecewa karena dianggap gagal, Thaddeus membuat keributan yang akhirnya mencelakakan ayahnya.

FIlm “Shazam” kemudian maju sekian tahun dan berpindah tempat ke kota Philadelphia, di mana seorang anak yatim piatu bernama Billy Batson (Asher Angel) membuat keonaran dalam usahanya untuk mencari sang ibu. Karena ulahnya, Billy ditempatkan ke sebuah keluarga angkat. Di rumah barunya, ia bertemu dengan anak angkat lainnya, yakni Mary (Grace Fulton), Eugene (Ian Chen), Pedro (Jovan Armand), Darla (Faithe Herman) dan teman sekamarnya yang juga seorang difabel, Freddie (Jack Dylan Grazer).

Suatu saat, Billy membela Freddie yang tengah diolok-olok oleh murid-murid di sekolah mereka. Dalam perjalanan pulang, kereta yang ditumpangi Billy mendadak berpindah ke alam fana, di mana ia bertemu dengan Shazam. Billy pun menjadi Juara pilihan Shazam dan mendadak berubah wujud menjadi seorang pria dewasa berkekuatan super (Zachary Levi).

Meski terlihat dewasa, Zachary bermain dalam sudut pandang Billy remaja yang masih terkaget-kaget dengan kekuatan baru yang ia miliki. Dengan bantuan Freddie, Billy berhasil memahami jenis-jenis kekuatan barunya. Billy dan Freddie melakukan apa yang anak dilakukan anak seumur mereka untuk mendapat perhatian: membuat berbagai video konyol dan mengirimnya ke YouTube. Tidak ada rasa cemas dari mereka bahwa ada orang lain yang ingin menyalahgunakan atau membahayakan mereka karena memiliki kekuatan super.  Ini adalah cerminan generasi saat ini, di mana popularitas cenderung lebih penting dibanding keamanan identitas pribadi.

Tingkah mereka yang ceroboh ini akhirnya menarik perhatian Thaddeus yang saat ini sudah menjadi seorang fisikawan (Mark Strong). Sesuai dengan komiknya, perkelahian antara Shazam dengan Thaddeus jelas tidak terhindarkan. Sampai di titik ini, film berubah menjadi membosankan dan mudah ditebak.  Memang ada kejutan cukup menarik di akhir cerita yang melibatkan para saudara angkat Billy, namun keunggulan dari film “Shazam” adalah ekspresi kesenangan seorang anak yang tiba-tiba mendapat kekuatan super.

Sebagai anak angkat di bawah umur yang kurang berdaya, Billy menikmati penampilan barunya sebagai manusia dewasa tangguh. Ia tak ubahnya seperti manusia berkostum yang kemudian menjadi objek selfie para wisatawan. Sebelum pamer kekuatan listrik, kecepatan bergerak, dan ketahanan stamina, ia bahkan mampir ke supermarket untuk membeli minuman keras.

Tampil Kanak-Kanak, Tanpa Kekanak-Kanakan

Kepolosan dan logika anak di bawah umur memang jarang mendapat tempat di berbagai film pahlawan super yang selalu berusaha keras mengedepankan sudut pandang orang dewasa. Salah satu film yang pernah berhasil menampilkan kesenangan anak-anak dengan kekuatan super adalah “Chronicle” yang disutradarai oleh Josh Trank dan dibintangi oleh Dane DeHaan dan Michael B. Jordan.

Tentu saja “Shazam” belum bisa disandingkan dengan “Batman Begins” atau “The Dark Knight” yang berhasil menghadirkan cerita yang cukup kompleks, pembangunan semesta yang lengkap, hingga karakter musuh yang penuh nuansa. Namun, film ini membuktikan bahwa ternyata, trik yang dibutuhkan DCEU untuk tampil segar dan relevan adalah dengan menghadirkan kelompok penonton utama yang cenderung tak terlihat dalam film-film superhero selama satu dekade terakhir, yakni kepolosan anak-anak. “Shazam” membuktikan bahwa DCEU bisa memiliki rasa humor yang jernih tanpa harus meniru ciri khas para saingannya di dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). MCU telah lebih dulu menggunakan rasa humor sebagai jembatan antara aksi dramatis para karakter mereka dan penonton yang sesungguhnya hanya mencari kesenangan. Humor yang ditampilkan MCU adalah kontras yang diperlukan agar narasi pahlawan super mereka bisa tampil beda dari trilogi Batman terpuji dari Nolan.

“Shazam” tidak digadang nama-nama besar, baik di lini produksi maupun jajaran pemerannya. Film ketujuh dalam DCEU ini disutradarai oleh David Sandberg yang hanya pernah membuat dua film layar lebar dalam karirnya, yakni film horor berjudul “Lights Out” (2016) dan “Annabelle: Creation” (2017). Skenarionya ditulis oleh Henry Gayden, yang juga menulis film fiksi ilmiah keluarga “Earth to Echo” di tahun 2014. Zachary sendiri belum pernah mendapatkan peran utama yang membekas di layar lebar. Ia lebih dikenal sebagai aktor televisi dalam “Chuck” dan “The Marvelous Mrs. Maisel” dan penggagas sekaligus pemandu acara forum NerdHQ di San Diego Comic-Con.

Zachary sangat percaya diri dan nyaman dalam kostum Shazam yang sangat kartunis dengan warna mencolok. Di tangan Zachary, Shazam menjadi pahlawan super yang tampil beda. Tidak mudah untuk bermain konyol tanpa terlihat dibuat-buat. Zachary berhasil membuktikan bahwa kemampuan bermain komedi adalah keistimewaan tersendiri. “Shazam” sukses menjadi kejutan manis yang mengandalkan kealamian berakting, lebih dari deretan film yang sudah dipersembahkan DCEU.

Share: Shazam, Logika Anak dalam Narasi Manusia Super