General

RUU Air Terganjal Pilpres, Padahal Minum Enggak Bisa Ditunda

Iman Herdiana — Asumsi.co

featured image

Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) 2015 lalu, praktis Indonesia tidak punya undang-undang baru tentang air. Padahal air hajat hidup orang banyak. Siapa sih yang tidak butuh air?

Penghapusan UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air terjadi lima tahun lalu, tepatnya 18 Februari 2015. Undang-undang ini dihapus setelah PP Muhamadiyah dan sejumlah tokoh mengajukan gugatan atau judicial review ke MK. Mereka menilai, UU Sumber Daya Air memiliki unsur yang melegalkan privatisasi dan swastanisasi air. Sebagai hajat hidup orang banyak, semestinya air dikuasai negara, bukan diperdagangkan seperti komoditas lainnya oleh pengusaha. MK pun mengabulkan gugatan tersebut.

Sejak putusan MK hingga kini, Indonesia terpaksa menggunakan undang-undang yang lama selagi menunggu pengesahan UU SDA yang baru yang masih dalam bentuk RUU.

Perancangan RUU Sumber Daya Air menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab di saat penggogokan inilah yang perlu diwaspadai masuknya pasal atau ayat yang bisa menjadi celah korupsi di bidang pengelolaan air. Terlebih sudah lama Indonesia tidak mempunyai undang-undang sumber daya air yang baru.

Di sisi lain, KPK menilai pengelolaan air khususnya air tanah memiliki peluang besar untuk dikorupsi. “Sebenarnya celah itu bisa dua, celah disengaja untuk dibuat jadi celah, dan celah yang akhirnya dimanfaatkan, termasuk di air ini,” kata Deputi Pencegahan KPK, Epa Kartika, yang menghadiri diskusi panel Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia (PAAI) bertema “Mau di Bawa ke Mana Pengelolaan Sumber Daya Air (Tanah) Indonesia” di Mulltiroom Gedung CRCS Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Kamis (10/1/2019).

Epa menegaskan, ke depan bahkan air jadi komoditi yang bisa lebih mahal dari minyak atau komoditi lainnya. Sebab air kebutuhan urgent, wajib didapatkan oleh semua manusia di muka bumi ini. Maka tidak heran jika dalam pengelolaannya, muncul problem baik dari sisi suplai sampai permintaan. Pertanyaannya, kata Epa, apakah problem tersebut berkaitan dengan korupsi? “Secara letterlek bisa jadi itu terjadi karena korupsi,” katanya.

Buruknya tata kelola air sehingga menghasilkan gugatan pada payung hukumnya menunjukkan ada sesuatu yang salah. “Di Undang-undang air ini yang paling kita takutkan kalau ada pasal-pasal yang menjadi ruang untuk diciptakan korupsi, itu yang kita ga mau. itu menjadi state kepcer,” katanya.

Untuk itu, KPK serius mengawasi proses penggodokan RUU SDA ini. Jangan sampai ada transaksi kepentingan tertentu. “Jadi kalau bisa dijaga dari awal kenapa tidak,” tandasnya. KPK sendiri selama ini sudah banyak menganalisa kebijakan-kebijakan atau regulasi yang bersifat korup. Jika hasil analisanya postitif, KPK akan mengusulkan perubahan terhadap regulasi tersebut.

Kementerian Khusus Air Tanah

Ketua Dewan Pakar PAAI Prof.Ir. Lambok Hutasoit M.Sc., Ph.D menyatakan, sudah lima tahun Indonesia mengalami kekosongan hukum tentang sumber daya air. Dengan kekosongan payung hukum tersebut, sulit dilakukan gerakan atau upaya terkait konservasi sumber daya air.

“Saya melihatnya kalau undang-undang belum, setiap gerakan perlu payung hukumnya. Ini kan negara hukum, ya.  Kalau payung hukumnya ga ada ya illegal. Repot dong kalau ga ada. Saya melihatnya selama 5 tahun ini kayaknya kita melakukan hal-hal yang illegal (tentang pengelolaan air),” kata Lambok.

Dihapusnya UU SDA oleh MK otomatis membuat peraturan turunannya seperti Peraturan Presiden (PP) tidak berlaku. Pakar air ITB tersebut khawatir, selama ini praktik pengelolaan air menjadi illegal karena tidak jelas payung hukumnya. Contohnya, di bidang pengemboran air tanah yang memerlukan perizinan yang mengacu pada undang-undang. “Itu kan dasarnya harus undang-undang sumber daya air. Tapi ga ada, bagaimana,” katanya.

Untungnya, ketika memutuskan UU SDA dihapus, MK memberlakukan kembali UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. PAAI berharap Undang-undang SDA segera diundangkan. Karena itulah pihaknya menggelar diskusi panel “Mau Dibawa ke Mana Pengelolaan Sumber Daya Air (Tanah) Indonesia”.

“Kalau ada Undang-undang sudah jadi kan jadi tenang. Dasarnya jelas,” tandasnya. Dalam diskusi panel, PAAI menyampaikan dua usulan agar diakomodir RUU SDA, yaitu adanya kementerian khusus yang mengurus air tanah dan permukaan. Kementerian diperlukan sebagai koordinator mengingat masalah koordinasi tentang air ini bikin pusing, masing-masing kementerian memiliki kewenangan terkait pengelolaan air, mulai Kementerian PUPR, Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, dan lainnya.

Usulan kedua, PAAI meminta pengaturan untuk air tanah yang ada di laut yang selama ini tidak ada aturannya. “Karena ke depan makin susah air ini. Sampai ke laut dicari orang. Harus diatur. Kalau kami usulkan itu masuk dalam UU sumber daya air ini,” katanya.

Terganjal Pemilu

Saat ini RUU SDA masih berada di DPR. Tadinya undang-undang ini ditargetkan diundangkan tahun ini. Namun karena ada Pilpres dan Pileg 2019, bisa dipastikan pengesahan RUU SDA kembali molor.

Asisten Deputi Infrastruktur SDA Kementerian Perekonomian yang juga Dewan SDA, Mohammad Zainal Fatah, menjelaskan RUU tersebut disusun atas inisiatif DPR. DPR menyampaiakannya pada pemerintah ketika Mei 2018. Pemerintah kemudian menugaskan beberapa kementerian untuk menjadi tim pembahas. Pembahasan dilakukan selama dua bulan.

Pada Juni 2018, pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) tentang air ke DPR. Dalam dokumen ini ada 600 masalah soal air. Saat ini, RUU tersebut masih dalam pembahasan di Panitia Kerja (Panja) DPR. Namun di tahun politik ini, tampaknya pembahasan tidak efektif.

“Menjadi tidak efektif karena sudah masuk ke suasana pemilu. Dulu harapannya UU ini bisa diselesaikan sebelum pemilu, tapi rasanya kondisi objektinya rasanya tidak mungkin,” katanya.

Dengan tahun politik, ia mengakui ada jeda pembahasan RUU SDA. Para anggota dewan yang menjadi anggota panitia kerja RUU SDA juga mulai sibuk mengikuti helatan pesta demokrasi.

“Tapi teman-teman kita di dewan sekarang masanya untuk menampilkan kembali bahwa beliau-beliau itu layak untuk dipilih kembali oleh rakyat. Saya ga tahu apakah dalam masa kerja sebelum reses mereka itu masih bisa dilakukan (pembahasan RUU SDA) atau tidak,” ujarnya.

Sementara dari kubu pemerintah, lanjut dia, siap-siap saja. “Kami pemerintah tidak bisa menjanjikan, tapi pemerintah siap diundang. Kalau pemerintahnya siap, kapan saja,” katanya.

Ia juga mengklarifikasi soal kosongnya payung hukum pengelolaan air. Menurutnya, hal itu tidak benar sebab sejak MK membatalkan UU SDA, MK maupun Mahkamah Agung merekomendasikan agar pemerintah menggunakan Undang-undang 11/1974 tentang perairan.

Namun karena undang-undang tersebut sudah sangat tua dan isinya terlalu sederhana, pemerintah kemudian membuat sejumlah peraturan turunannya lewat sejumlah Peraturan Presiden dan peraturan menteri, sehingga semua pengelolaan air menjadi jalan. “Karena tidak mungkin kan air minum kita hentikan, bisa mati kita,” ucapnya.

Share: RUU Air Terganjal Pilpres, Padahal Minum Enggak Bisa Ditunda