Isu Terkini

Remisi-remisi Blunder dan Desakan Revisi Aturan Tentang Remisi

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Beberapa waktu terakhir pemerintah memberikan sejumlah remisi aneh yang dinilai bermasalah kepada sejumlah terpidana. Misalnya saja pemberian remisi terhadap narapidana kasus pembunuhan jurnalis di Bali, I Nyoman Susrama. Remisi itu sendiri akhirnya memunculkan penolakan keras dari berbagai kalangan.

Seperti diketahui, pada Februari 2009 lalu, Susrama divonis majelis hakim penjara seumur hidup atas pembunuhan terencana terhadap seorang jurnalis surat kabar Radar Bali bernama Prabangsa secara sadis. Tubuh Prabangsa dibuang ke laut dan baru ditemukan enam hari setelahnya di perairan Padang Bai, Karang Asem, Bali. Namun, Susrama tak pernah mengakui perbuatannya.

Baru-baru ini, Susrama justru mendapatkan remisi dari Presiden Jokowi. Ketetapan itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Perubahan dari Penjara Seumur Hidup Menjadi Hukuman Sementara.

Aturan Remisi Harus Segera Direvisi

Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menilai pemerintah perlu merevisi peraturan terkait remisi tersebut. Oce merujuk pada remisi terhadap Susrama, yang diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29 Tahun 2018. Menurut Oce, Dasar hukum Keppres itu yakni Keppres Nomor 174 Tahun 1999, justru bertentangan dengan undang-undang.

“Ke depan ini momentum bagi pemerintah untuk mengubah regulasi terkait remisi terutama Keppres 174,” kata Oce dalam sebuah diskusi bertajuk “Menyoal Kebijakan Remisi dalam Sistem Hukum Indonesia” di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Kamis, 7 Februari 2019.

Oce mengatakan definisi remisi dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, adalah pengurangan masa pidana yang menjadi hak bagi narapidana. Kemudian pelaksanaan hak-hak bagi warga binaan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Selain itu, di dalam Pasal 1 angka 6 PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, juga disebutkan bahwa remisi merupakan pengurangan masa menjalani pidana. Namun, turunan dari PP itu yakni Keppres Nomor 174 Tahun 1999 yang menjadi landasan pemberian remisi Susrama, menyatakan bahwa pidana penjara seumur hidup dapat diubah.

Pada pasal 9 Keppres itu disebutkan bahwa “Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut serta berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidana sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama 15 (lima belas) tahun”.

Tak hanya itu saja, PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 1999 menyebutkan bahwa ketentuan remisi diatur dalan Peraturan Presiden. Namun, Keppres Nomor 174 Tahun 1999 tersebut tidak kunjung diubah hingga saat ini.

“Jadi mau tidak mau Keppres 174 yang sekarang digunakan presiden untuk menerbitkan Keppres 29 Tahun 2018, mestinya Keppres ini sudah harus diganti, harus dicabut, kemudian dibentuk peraturan yang baru sebagaimana amanat dari PP terbaru,” ujarnya.

Menurut Oce, Keppres tersebut berpotensi menimbulkan polemik kembali jika tidak direvisi. “Kalau peraturan ini masih eksis, ke depan akan muncul lagi kebijakan yang katakanlah akan memicu protes publik atau kontroversi di publik,” ucapnya.

Keputusan Remisi Diminta Libatkan Masyarakat

Senada dengan Oce, Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti mengatakan agar kejadian serupa, yakni pemberisan remisi bermasalah tersebut, tidak terus berulang, meminta agar pemerintah merevisi Keppres terkait. Bivitri menegaskan bahwa langkah yang ditempuh sama sekali tidak rumit lantaran beleid itu bukan Undang-Undang (UU).

“Harus ada kajiannya dulu dan saya kira itu tidak akan terlalu lama. Setelah kajian mengenai pengaturannya supaya tidak tumpang tindih, kemudian bisa langsung bikin drafnya,” kata Bivitri dalam diskusi Menyoal Kebijakan Remisi Dalam Sistem Hukum Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis, 7 Februari 2019.

Tak hanya itu saja, Bivitri mengatakan pemerintah juga bisa merujuk pada sejumlah kajian tentang Keppres itu yang sudah ada. Misalnya saja ia menjelaskan bahwa Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) dan ICW (Indonesia Corruption Watch) pernah melakukan kajian terkait Keppres itu.

Bivitri juga berharap pemerintah bisa melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang pemberian remisi. Hal itu berkaca pada pemberian remisi selama ini yang hanya berdasarkan pada pertimbangan laporan kepala lembaga pemasyarakatan, yang kemudian diteruskan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

“Masyarakat tidak dilibatkan. Itulah yang menurut saya harus diubah. Publik biasanya enggak tahu, karena prosesnya tidak transparan. Kita pun enggak bisa lihat siapa yang dikasih [remisi], jadi biasanya hanya tahu begitu diumumkan lewat Keppres,” ucap Bivitri.

Remisi Bermasalah Lainnya

Menurut Bivitri, tahun ini masyarakat Indonesia sudah dua kali dikejutkan dengan kabar pemberian remisi dan berujung pada munculnya permasalahan baru. Tak hanya soal remisi Susrama saja, remisi lainnya juga bermasalah yakni ketika pemerintah memberikan remisi 74 bulan dan 110 hari kepada mantan Direktur Utama Bank Century, Robert Tantular.

Perlu diketahui, sebelumnya Robert merupakan penjahat yang dijerat dalam empat pidana sekaligus yakni pidana perbankan 9 tahun penjara dan denda Rp100 miliar subsider 8 bulan, pidana perbankan 10 tahun dan denda Rp10 miliar subsider 6 bulan, pidana pencucian uang 1 tahun penjara, dan pidana pencucian uang 1 tahun dan denda Rp2,5 miliar subsider 3 bulan.

Menurut Bivitri, Lembaga Pemasyarakatan seharusnya bisa melihat konteks, latar belakang permasalahan, dan tak hanya melihat perlakuan baik narapidana selama menjalani hukuman sebelum memberikan remisi. Pihak berkepentingan lainnya diharapkan juga diberi kesempatan memberi pertimbangan. “Konsultasi dengan pemangku kepentingan, misalnya KPK untuk Robert Tantular, dan berkomunikasi lebih baik dengan publik,” ujar Bivitri.

Share: Remisi-remisi Blunder dan Desakan Revisi Aturan Tentang Remisi