General

Kemelut Pasca Pilpres Bayangi Korps Seragam Coklat

Admin — Asumsi.co

featured image

Pemilihan presiden (pilpres) adalah sebuah pertaruhan. Bukan hanya bagi partai politik, tapi juga semua kementerian dan lembaga setingkat kementerian. Namun, di antara semua lembaga, pertaruhan paling besar ada di tubuh Polri. Pergantian presiden hampir selalu memiliki efek domino yang kritis di Korps Bhayangkara.

Bisa ditengok kembali pergantian kepemimpinan dari Presiden Gus Dur ke Megawati pada 2001 yang langsung diawali dengan polemik pergantian Kapolri. Saat itu, Gus Dur mengangkat Chairudin Ismail sebagai Kapolri. Hal ini ia lakukan tanpa persetujuan parlemen. Tentunya, masyarakat mengira penunjukkan Chairudin sebagai Kapolri adalah utuk menggantikan posisi Surojo Bimantoro yang saat itu menjabat sebagai Kapolri. Namun, di saat yang bersamaan, Gus Dur juga mempertahankan Bimantoro.

Polemik itu sempat disebut Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kemelut Kapolri kembar. Barangkali, kejadian itulah yang membuat SBY itu tidak mencopot Da’i Bachtiar setelah resmi diangkat pertama kalinya menjadi presiden.

Saat Jokowi mengalahkan SBY dalam pemilihan presiden di tahun 2014, kemelut pergantian Kapolri kembali terjadi. Saat itu, Presiden Jokowi mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri ke DPR. Jokowi pun memberhentikan Sutarman dari jabatan Kapolri, kendati masa pensiunnya masih sekitar 10 bulan.Tak disangka, Budi tersandung kasus yag dibangun oleh KPK dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Kemelut itu memanas hingga pilihan Kapolri jatuh pada Badrodin Haiti.

Kini setelah lima tahun Jokowi menjabat, kans Jokowi untuk melangkah ke periode kedua kepresidenannya tetap besar. Tapi, keyakinan itu tidak setebal SBY saat bertarung untuk periode keduanya.

Polri Ikut Menanti Hasil Pilpres

Saat ini, lembaga korps berseragam cokelat ini kembali dihantui dampak perubahan kepemimpinan negara yang akan ditentukan dalam waktu 15 hari lagi. Pengamat Kepolisian Mufti Makarim menuturkan, setiap pergantian kepemimpinan, tidak bisa dilepaskan kecenderungan menempatkan orang yang sesuai kepentingannya. Memang bisa jadi ada gejolak, terutama jika ada ketidakrelaan.

Telegram dari Kapolri untuk mengingatkan setiap Kapolda agar netral juga bisa menjadi salah satu rem guncangan di Polri saat pergantian kepemimpinan.

”Perlu dipahami bahwa Polri tidak hanya sekali mengalami semacam ini, hampir pasti ada setiap pergantian pemimpin,” terang Mufti.

Saat ini, gejala untuk mengerem dampak pergantian kepemimpinan terhadap Polri sudah terlihat. Misalnya, sudah ada pendataan kekuatan dukungan calon presiden dan wapres yang dilakukan Polri ke daerah-daerah. Menurut Mufti, ada anggapan bahwa pendataan itu digunakan untuk mencari “kredit” ke petahana ataujustru bisa juga bekerja untuk non petahana.

Menurut Kadivhumas Polri Irjen M. Iqbal, pendataan itu merupakan strategi keamanan. Dengan memiliki data tersebut, strategi pengamanan bisa ditentukan.

”Kita memetakan massa yang mendominasi, jadi sama sekali tidak ada motif politik,” jelasnya.

Apalagi dengan dikeluarkan telegram untuk setiap Kapolda. Artinya, siapapun yang tidak netral akan diproses.

”Bahkan sudah ada proses kode etik, dan ada yang dicopot,” jelas mantan Wakapolda Jatim tersebut.

Mufti memperkirakan adanya kemungkinan untuk memilih skenario yang pragmatis demi menghindari pergantian Kapolri yang membuat heboh.

”Bisa dengan memilih orang dari patron yang ada, orang-orang di kubu Jenderal Tito Karnavian,” paparnya.

Saat ini, patron dari Tito telah mapan di tiap sel korps seragam coklat.

”Dari pada mengganggu stabilitas, sekarang semua rata-rata orang Tito. Kalau bukan, ya berarti orang BG,” jelasnya.

Beda Polri dan TNI

Berbeda dengan Polri sering heboh, TNI memiliki pergantian kepemimpinan yang jauh lebih mulus. Saat Jokowi menjabat Panglima TNI saat itu Jenderal Moeldoko ditunggu hingga pensiun.

”Karena patronnya jelas, pengaturan lobinya antara AD, AU dan AL sudah jelas. Kalau di Polri itu patronnya sosok, sosok yang dekat dengan pemimpin. Maka bisa panas banget kalau berganti,” paparnya.

Di Polri, jenderal bintang tiga memiliki kans besar untuk menjadi Kapolri. Namun, curriculum vitae saja tidak cukup untuk bisa mendapatkan jabatan Kapolri. Ada kuasa campur tangan tak terlihat dalam pemilihannya.

”Kita lihat dulu pemilihan Badrodin Haiti sebagai Kapolri, yang awalnya harusnya BG, tapi malah tidak,” terangnya.

Tito ditunjuk menjadi Kapolri saat karirnya cemerlang. Sepak terjangnya sebagai Kadensus 88 Anti Teror hingga Kapolda Metro Jaya. Saat ini, junior Tito belum ada yang karirnya terlihat  seterang Tito sebelum ia menjadi Kapolri.

”Namun, bukan berarti tidak ada,” paparnya.

Yang pasti, mengganti seorang Kapolri itu akan membuat patron baru. Pemimpin harus menghitung langkah mana yang lebih mudah, membuat patron baru atau meneruskan patron yang ada dengan kompromi tertentu.

”Itulah yang akan dipertimbangkan pemimpin,” jelasnya.

Share: Kemelut Pasca Pilpres Bayangi Korps Seragam Coklat