Isu Terkini

Pemprov DKI Jakarta Batalkan Izin Reklamasi, Swasta Harus Tanggung Jawab Kerusakan

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Hari Rabu (26/9) kemarin, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang diwakilkan langsung oleh Gubernur Anies Baswedan, mengumumkan dicabutnya izin reklamasi tiga belas pulau yang telah direncanakan untuk dibangun. Sesungguhnya, pencabutan izin ini berhubungan dengan salah satu janji kampanyenya dan akhirnya, Anies menepati janji tersebut. Pembangunan pulau-pulau buatan di Teluk Jakarta ini sempat menimbulkan pro dan kontra bagi banyak kalangan, terutama warga yang tinggal di sekitar lokasi dan aktivis lingkungan.

Dalam kesempatan yang sama, Anies juga menyebutkan bahwa keempat pulau yang telah separuh jadi pun tetap akan diselesaikan oleh pemerintah. Penyelesaian pembangunan itu pun mau diadakan kajian lebih lanjut supaya tidak akan memperparah kerusakan kondisi lingkungan sekitar Teluk Jakarta. Di sisi lain, pencabutan izin ini mendapat sambutan positif dari berbagai pihak, terutama para aktivis lingkungan.

Salah satu aktivis lingkungan yang menyabut baik keputusan ini adalah Tubagus Soleh Ahmadi, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta. Apa kata Tubagus mengenai hal ini?

Sudah Seharusnya Batal, Namun Terdapat Catatan Penting untuk DKI Jakarta

Ketika dihubungi oleh Asumsi.co, Tubagus Soleh Ahmadi, atau yang lebih sering dikenal dengan Bagus, menyatakan bahwa pembatalan reklamasi dan pencabutan izin reklamasi memang menjadi langkah tepat pemerintah DKI Jakarta. Meski begitu, langkah yang tepat ini harus juga dibarengi dengan beberapa hal penting.

“Sudah seharusnya reklamasi batal dan pencabutan izin reklamasi tersebut sudahlah tepat namun harus ada beberapa catatan penting yang kemudian harus dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta,” ungkap Bagus.

Beberapa hal penting tersebut adalah pertama, pemerintah selama ini telah melakukan sesuatu hal yang buruk sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Tidak ada upaya untuk memulihkan lingkungan berdasarkan prinsip ekologis dan hak asasi manusia. Ekosistem pesisir dan laut yang juga menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat justru dirusak. Pemerintah harus dapat bertanggung jawab mengenai hal ini.

“Selama ini pemerintah telah melakukan pembiaran terjadinya kerusakan lingkungan hidup di teluk Jakarta, karena selama ini tidak ada upaya untuk memulihkan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan ekologis dan Hak Asasi Manusia. Kerusakan Teluk Jakarta secara langsung merusak ekosistem pesisir dan laut yang juga merupakan sumber-sumber kehidupan bagi masyarakat nelayan Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu pemerintah juga harus bertanggung Jawab kepada nelayan Jakarta yang selama ini termiskinkan akibat tercemarnya wilayah kelola mereka,” tutur Bagus.

Kedua, pemerintah juga harus melakukan peninjauan kembali izin untuk seluruh industri yang dapat mencemari Teluk Jakarta di masa depan. Jika industri tidak dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya, izin untuk industri tersebut harus dicabut. Berkaitan dengan penggunaan empat pulau reklamasi, transparansi dan analisis partisipatoris dari warga sekitar pesisir Teluk Jakarta menjadi hal yang esensial, selain keadilan ekologis dan HAM yang juga menjadi hal yang penting.

“Bersamaan dengan itu, pemerintah harus melakukan review izin kepada seluruh industri yang berpotensi mencemari teluk Jakarta. Jika terbukti mereka tidak mampu melindungi lingkungan hidup maka izinnya harus dicabut. Oleh karenanya upaya pemulihan teluk di Jakarta harus mengedepankan transparansi, partisipasi warga dan nelayan, serta keadilan ekologis dan hak asasi manusia,” ucap Tubagus.

Polemik Teluk Jakarta sebagai Kawasan Strategis untuk Ekonomi Harus Ditinggalkan

Selain melihat peran apa saja yang harus dilakukan oleh pemerintah, Bagus juga menekankan pentingnya meninjau ulang regulasi yang memang sudah ada sejak dulu. Salah satu regulasi yang bermasalah adalah Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1995 yang melihat kawasan Pantai Utara Jakarta sebagai daerah komersil strategis. Hal ini membuat kerusakan Teluk Jakarta seolah-olah dibiarkan begitu saja oleh pemerintah.

“Selama 27 tahun sejak terbitnya Keppres Nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, kerusakan teluk Jakarta menjadi seolah-seolah dibiarkan oleh Pemerintah. Agenda pemulihan tidak menjadi agenda strategis baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah, karena kehadiran Keputusan Presiden tersebut, yang juga kelanjutan Keputusan Presiden (Soeharto) Nomor 17 tahun 1994 tentang Repelita Enam, dimana kawasan Pantai Utara Jakarta termasuk kategori kawasan Andalan yang memiliki nilai strategis dari sudut pandang ekonomi,” tutur Tubagus.

Dengan begitu, sudah saatnya tidak lagi melihat kawasan Pantai Utara Jakarta sebagai daerah yang bernilai strategis secara komersil saja. Sudah saatnya memikirkan dampak apa yang terjadi akibat komersialisasi, yang salah satunya adalah kerusakan lingkungan hidup. Selain itu, pandangan yang melihat Pantai Utara Jakarta sebagai kawasan komersil strategis juga telah membuat para nelayan merugi. Nelayan yang bergantung dengan ekosistem pesisir dan laut menjadi sekelompok orang yang paling rentan menjadi korban dengan kerusakan lingkungan hidup ini.

“Pandangan melihat Pantai Utara Jakarta bernilai strategis adalah pandangan yang keliru, “kuno”, dan seharusnya sudah ditinggalkan oleh Pemerintah, karena mengorbankan lingkungan hidup demi pendapatan ekonomi tanpa memikirkan kerugian lingkungan hidup yang tidak dapat tergantikan. Sementara masyarakat nelayan yang selama ini sangat bergantung dengan keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut Jakarta menjadi sektor yang paling rentan oleh kerusakan teluk Jakarta, ditambah lagi reklamasi yang semakin membatasi sumber-sumber kehidupan warga dan masyarakat nelayan. Pada akhirnya nelayan semakin terus termiskinkan dan tercerabut dari akar kehidupannya,” lanjut Bagus.

Menutup perbincangan, Bagus juga menekankan kembali pentingnya pengambilalihan empat pulau yang sudah terbangun oleh pemerintah. Pemerintah harus hadir dan melakukan kajian mendalam agar penggunaan pulau tersebut tidak kembali merusak lingkungan. Bagus juga menilai bahwa peran swasta di pulau tersebut harus segera dihapuskan, kecuali peran swasta yang berkaitan dengan tanggung jawabnya terhadap kerusakan lingkungan yang telah diperbuat.

“Selain mencabut izin 13 reklamasi, pemerintah juga harus berani memberhentikan 4 pulau reklamasi yang sudah terbangun, mengambil alih dan kemudian melakukan kajian mendalam untuk diapakan pulau tersebut. Tentunya bukan kembali diserahkan ke swasta, kecuali tanggung jawab kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang selama ini ditimbulkan oleh aktivitas reklamasi,” tutup Bagus.

Share: Pemprov DKI Jakarta Batalkan Izin Reklamasi, Swasta Harus Tanggung Jawab Kerusakan