General

Olahraga Pagi di Jakarta Ternyata Berbahaya, Kenapa?

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Tangkapan Layar YouTube Asumsi

Sebagai ibu kota berpenduduk 10,56 juta jiwa, Jakarta dikeilingi sejumlah kawasan industri besar, berjuta-juta kendaraan dan manajemen pengolahan sampah yang belum sempurna. Hal ini menyebabkan buruknya kualitas udara kota ini bagi warganya, serta berdampak pada hak asasi paling mendasar yang wajib dimiliki seluruh umat manusia, yaitu menghirup udara bersih.

Seberapa Buruk Kualitas Udara Jakarta?

Riset Air Quality Life Index (AQLI) University of Chicago Tahun 2019, menyebut polusi udara memangkas usia penduduk Jakarta hingga 5 tahun. “Kualitas udara Jakarta pada tahun 2019, 5 kali lebih buruk dari standar WHO,” demikian disampaikan riset tersebut.

Pandemi COVID-19 kerap dianggap sebagai waktunya bumi untuk benar-benar beristirahat. Bila dikaitkan dengan kondisi udara Jakarta, hal ini mungkin benar adanya. Saat polusi sedang parah-parahnya, udara Jakarta memang terasa amat menyesakkan.

Baca juga: Sutopo Bukan Perokok, Kok Bisa Terkena Kanker Paru?

“Aku beberapa hari keluar, pulang selalu sakit tenggorokan,” kata salah satu warga Jakarta.

Warga lainnya yang berprofesi sebagai pegawai kantoran mengamini semakin buruknya kualitas udara di Jakarta. “Kotor, terus banyak debu, asap dan lain lain,” ucapnya.

Apa Saja Isi Udara?

Lantas apa saja isi udara yang kita hirup sehari-hari? Badan Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan isi udara terdiri dari: 

  1. Nitrogen: membentuk 78% dari udara yang kita hirup,
  2. Oksigen: 21%,
  3. 1% lainnya terdiri dari karbon dioksida (CO2), Neon (Ne), Helium (He), Hidrogen (H) dan gas lain. 

Di dalam udara, juga terdapat kandungan partikel PM 2.5. Kandungan ini yang paling berbahaya di dalam udara. Sebab, ukurannya yang lebih kecil dari diameter sehelai rambut manusia atau sebutir pasir pantai halus. 

WHO menjelaskan, PM 2.5 mudah terhirup dan sangat sulit disaring. Bahkan, sebagian besar masker wajah mengalami kesulitan  menyaring PM 2.5.

“Partikelnya sangat kecil. PM 2.5 bisa menembus paru-paru hingga ke aliran darah manusia,” demikian disampaikan WHO.

Adapun kandungan racun yang terdapat dalam PM 2.5 mulai dari nitrat (NO-3), sulfat (SO4), logam berat dan bahan kimia lain. “Masalah kesehatan dapat terjadi setelah paparan jangka pendek dan jangka panjang terhadap PM 2.5.”

Seberapa Banyak Kandungan PM 2.5 di Udara Jakarta?

Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta, Yusiono Supalai mengatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, saat ini memiliki 5 stasiun pemantau kualitas udara yang tersebar di 5 kota administrasi provinsi DKI Jakarta. 

Kelima stasiun pemantauan kualitas udara ini, lanjutnya, dibekali alat high volume air sampler yang bisa mendeteksi isi udara termasuk PM 2.5. 

Yusiono mengatakan, dengan alat ini, dapat diketahui pencemaran udara dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang sangat jelas terlihat adalah curah hujan. 

“Kemudian yang kedua adalah suhu. Suhu yang tinggi itu akan menyebabkan distribusi dari pencemaran udara itu akan lebih luas dan akan lebih cepat hilang,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, ia mengingatkan setiap kendaraan bermotor yang beroperasi wajib memenuhi persyaratan teknis dan layak jalan. 

“Persyaratan layak jalan yang wajib dipenuhi itu adalah kendaraan tersebut harus lulus emisi,” ucapnya.

Namun, ternyata negara lain sudah menggunakan alat yang lebih spesifik untuk mengukur kualitas udara yang sesuai dengan standar WHO, yakni low volume air sampler.

Alat ini bisa mengukur lebih detail karena mengambil sampel udara lebih sedikit. Sayangnya hingga saat ini, alat tersebut belum menjadi standar di Indonesia.

Aplikasi Air Visual mengungkapkan, dari sejumlah alat pendeteksi udara yang ada di Jakarta, Kedutaan Besar Amerika Serikat, termasuk yang memiliki alat pengukur kualitas udara yang sesuai dengan standar WHO. 

Sementara itu, perusahaan teknologi NAFAS memiliki alat yang dapat mengukur kualitas udara dalam skala kecil tapi tersebar di mana-mana.

Co-Founder & CEO NAFAS Nathan Roestandy menjelaskan, alat milik mereka menggunakan sensor teknologi laser yang hanya fokus untuk mendeteksi beberapa polutan penting saja. 

Baca juga: Rencana Buang Limbah Radioaktif Dikecam, Jepang Harus Bagaimana?

“Sehingga sensornya itu bisa jauh lebih kecil dan jauh lebih murah. Kita ada hampir seratus sensor di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Di Yogyakarta kita baru ada enam titik,” kata Nathan.

Seaman Apa Udara Jakarta untuk Olahraga?

Bagi kalian yang sedang rajin-rajinnya olahraga sepeda dan lari, baik yang sungguh-sungguh melakukannya atau sekadar ingin membuat konten, jangan lupa untuk selalu mengecek kualitas udara. Pastikan kualitas udara saat akan beraktivitas dalam kondisi aman. 

Aplikasi NAFAS, mempelajari jika level PM 2.5 ini rendah atau aman untuk berolahraga karena manfaat berolahraga lebih besar daripada resiko polusi udara. 

Berdasarkan pengamatan alat deteksi udara ini, ternyata olaraga pagi di luar ruangan justru paling berbahaya dilakukan di Jakarta. Selain itu, daerah yang paling banyak ruang hijaunya juga ternyata memiliki kualitas udara yang buruk. 

“Banyak juga miskonsepsi yang pada pagi hari dari pukul 05.00 sampai pukul 09.00 itu air quality lumayan parah,” ujar CEO NAFAS.

Kualitas udara di Jakarta, berdasarkan alat pemantauan ini, justru membaik setelah jam makan siang yakni pukul 12.00, pukul 13.00 hingga jam sibuk.

“Jadi rush hour itu sebetulnya bukan jam dimana air quality itu sangat buruk. Sekitar jam 21.00 malam sampai jam 09.00 pagi itu yang paling parah sebetulnya,” tuturnya.

Menurutnya, buruknya kualitas udara Jabodetabek pada pagi hari disebabkan lapisan batas atmosfer yang semakin rendah. Artinya, polusi yang dihasilkan sepanjang siang dan malam semakin terperangkap lebih dekat ke permukaan tanah. Faktor lain yang memengaruhi adalah pola hujan dan angin. 

“Itulah penyebabnya pada musim hujan kualitas udara buruk tidak sekonsisten di musim kemarau,” imbuhnya.

Bagaimana Dampaknya Jika Harus Beraktivitas di Luar Ruangan? 

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, dr Erlangga Samoedro mengatakan kegiatan luar ruangan boleh dilakukan di Jakarta, asal memperhatikan durasi serta intensitasnya. 

“Kalau main di luar kurang dari 90 menit, kemudian yang baik untuk melakukan olahraga justru di sore hari yang baik,” ujar Erlangga.

Ia mengungkapkan pagi hari ketika baru muncul Matahari, mulai dari pukul 07.00 justru sudah tinggi tingkat polusi udaranya. Namun, dibandingkan dengan orang yang berada di rumah, beraktivitas atau olahraga di luar ruangan dengan polusi udara, menurutnya lebih baik.

“Karena keuntungan olahraga itu sendiri lebih baik, dibandingkan dengan kerugian akibat polusi yang ada di luar,” ucapnya.

Share: Olahraga Pagi di Jakarta Ternyata Berbahaya, Kenapa?