Isu Terkini

Intoleransi Bukan Kebencian Biasa, tapi Produk Pemerintah Lalim

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Pekan ini, kabar tidak sedap datang dari India. Bentrok antara massa nasionalis Hindu terhadap minoritas Muslim di ibukota Delhi menewaskan 38 orang. Dokumentasi buram warga yang diarak massa dan dibunuh di jalanan membikin syok publik dan memantik luapan protes terhadap kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi.

Konflik Delhi bermula dari protes terhadap lengsernya seorang hakim yang kritis terhadap pemerintah. Hakim tersebut, S. Muralidhar, menilai Modi dan partainya, Bharatiya Janata, turut andil dalam memanas-manasi sentimen anti-Muslim di India. Pasalnya, belum lama ini Modi memperkenalkan hukum kewarganegaraan baru yang rencananya mempermudah imigran dan penduduk lintas agama mendapatkan paspor India, dengan pengecualian satu agama: penduduk Muslim.

Kontan, tagar bernada sektarian berbondong-bondong trending di media sosial. Salah satunya terang-terangan mengecam pemeluk agama Hindu sebagai teroris. Tentu saja, persoalannya tidak sesederhana itu. Konflik India, sebagaimana kasus intoleransi beragama lainnya, adalah luapan kebencian yang dipelihara oleh negara.

Penelitian dari Pew Research (2016) menunjukkan bahwa bangkitnya politik ultranasionalis kerap kali segendang sepenarian dengan naiknya intoleransi beragama. Satu dari sepuluh negara di dunia melaporkan insiden organ pemerintahan (seperti pejabat publik atau partai politik) yang menggunakan retorika nasionalis untuk memojokkan kelompok agama tertentu. 16 persen negara di dunia menggunakan retorika nasionalis untuk membenarkan diskriminasi terhadap agama minoritas.

Jumlah negara yang melaporkan insiden diskriminasi terhadap kelompok beragama oleh perwakilan negara pun meningkat. 28 persen negara di dunia dinilai melakukan pembatasan tingkat tinggi terhadap kebebasan beragama. Bahkan menurut indikator Pew Research, Indonesia termasuk salah satu negara berpopulasi tinggi yang marak mengalami pembatasan kebebasan beragama, sama seperti Mesir, Rusia, India, dan Turki.

Tak sedikit contoh pola penggunaan aparatur pemerintahan untuk melanggengkan diskriminasi berbasis agama. Belum lama ini, misalnya, Capres Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat, Michael Bloomberg, diserang dari berbagai penjuru sebab rekam jejaknya selama menjabat sebagai Walikota New York City. Selain kebijakan pemeriksaan acak polisi yang dinilai rasis, Bloomberg juga memprakarsai operasi pengawasan masif terhadap komunitas Muslim di kotanya pasca serangan teroris 11 September 2001.

Seperti dilaporkan Associated Press, kepolisian New York bekerjasama dengan CIA untuk mengirim intel menyusup ke wilayah-wilayah kota yang banyak dihuni warga beragama Islam. Sudah tentu kegiatan mereka bukan nangkring di depan tongkrongan warga sambil berpura-pura jadi tukang cuanki. Mereka membaur dan menghimpun data intelijen tentang imam-imam lokal dan mengawasi supir taksi serta penjaga warung jalanan, dua pekerjaan yang umumnya dipegang imigran Muslim.

Beberapa informan bahkan dibayar untuk memprovokasi warga Muslim mengeluarkan pernyataan-pernyataan anti-Amerika, selagi kepolisian diam-diam merekam percakapan tersebut. Ketika dikonfrontir, Bloomberg berkilah bahwa mengingat kondisi pasca serangan teroris, tindakan tersebut wajar dan sudah sepantasnya.

Aparatur negara juga digunakan untuk mendiskriminasi minoritas etnis Rohingya yang terdampar di negara bagian Rakhine, Myanmar. Menurut laporan Human Rights Watch (2018), lebih dari 730 ribu Rohingya kabur ke negara tetangga Bangladesh sejak militer Myanmar mulai melakukan pembantaian etnis pada Agustus 2017. Sejak tahun itu, Myanmar mencegah investigator internasional mengunjungi Rakhine dan menahan jurnalis yang melaporkan keadaan di lapangan.

Pengungsi yang tiba di Bangladesh melaporkan pada media internasional bahwa militer Myanmar melakukan pembunuhan massal, pembakaran, penghilangan paksa, pemerasan, dan mencegah mereka mengakses layanan kesehatan dan makanan. Perempuan dan anak-anak pun menjadi korban kekerasan seksual serta penculikan, selagi perkampungan Rohingya dijarah dan diratakan dengan tanah.

Konteks pembantaian Rohingya menunjukkan bahwa ada kelindan antara keterlibatan negara, intoleransi beragama, dan faktor lain seperti ekonomi dan ras. Myanmar menganggap etnis Rohingya sebagai imigran illegal yang berasal dari negara tetangga Bangladesh dan India, meski tak sedikit penelusuran membuktikan bahwa mereka telah turun temurun tinggal di tanah Myanmar.

Jenderal Khin Nyunt, arsitek pembantaian tersebut, menyebut bahwa masalah dengan “para Muslim ini” disebabkan kolonialis Inggris yang memboyong mereka sebagai pekerja paksa dari Bangladesh. “Kami harus mengelola populasi mereka. Mereka migran, dan kami tidak menerima tamu.” Tutur Nyunt. “Jika tidak kami tangani, penduduk asli Rakhine akan berkurang dan orang Muslim akan bertambah.”

Pada Desember 2019, pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dipanggil ke International Court of Justice (ICJ) di Den Haag, Belanda, untuk menjawab tudingan miring terhadap pemerintahannya. Dalam pengakuan yang sensasional, ia membantah bukti menggunung bahwa terjadi pembantaian secara sistematis terhadap etnis Rohingya oleh militer Myanmar. Ironisnya, ia hadir di Den Haag persis 28 tahun setelah ia dinobatkan sebagai pemenang Gelar Nobel Perdamaian.

Terakhir, kasus paling kontemporer tentu adalah India. Jika kamu getol mengikuti gonjang-ganjing politik India, kamu tidak akan kaget melihat kebencian terhadap minoritas Muslim menguar ke mana-mana. Perdana Menteri Narendra Modi akrab dengan gerakan Nasionalis Hindu yang percaya bahwa agama mayoritas tersebut mesti berkuasa di India, negara yang secara tradisional bersifat sekuler dan tak memihak agama tertentu.

Pada 2002, saat ia masih menjabat sebagai Menteri Utama negara bagian Gujarat, terjadi bentrok yang berujung pada pembantaian terhadap penduduk Muslim di sana. Lebih dari seribu orang meninggal dunia. Partainya, Bharatiya Janata, dituding memanas-manasi sentimen anti-minoritas ini dan membiarkan massa mengamuk di pedalaman India.

Sejak berkuasa sebagai Perdana Menteri pada 2014, Modi menulis ulang buku-buku sejarah, menghapus bab-bab tentang penguasa Muslim dan mengubah nama-nama tempat dari nama Islam jadi nama Hindu. Lebih gahar lagi, India membiayai upaya pencarian sebuah sungai mistis yang disucikan dalam kepercayaan Hindu tertentu. Oleh The New York Times, program tersebut disebut mirip dengan “menggunakan uang publik untuk meneliti putri duyung.”

Belakangan, muncul fenomena lain yang mencengangkan: gerombolan pelindung sapi. Hewan tersebut disucikan dalam kepercayaan Hindu, tetapi dikonsumsi dan diperjualbelikan oleh penduduk beragama lain. Di berbagai wilayah India, warga akan berkumpul untuk menggrebek toko penjual daging sapi, membajak truk pembawa sapi, dan membunuh pedagang daging sapi. Dalam kurun waktu 2015-2018, setidaknya 44 orang — 36 di antaranya Muslim — dibunuh oleh geng pelindung sapi.

Modi dan partainya turut andil dalam kekerasan ini. Menurut laporan Human Rights Watch (2019), geng-geng pelindung sapi ini underbow dari ormas-ormas yang dikelola partai Bharatiya Janata. Dalam kasus-kasus tersebut, polisi menghalang-halangi upaya investigasi, tak mengacuhkan prosedur, bahkan secara sengaja turut serta dalam pembunuhan serta upaya menutup-nutupi kejahatan. Ketika para pelaku pembunuhan pedagang sapi dilepas dari tahanan pada Juni 2017, seorang Menteri dari partai Bharatiya Janata mengucapkan selamat dan berpose bersama mereka.

Saat ini, saya merasa perlu untuk berkata bahwa semua ini bukanlah bukti bahwa agama tertentu secara khusus menjadi target pembinasaan. Formulanya sederhana: mayoritas tidak akan mau berbagi kue dengan minoritas. Selain persoalan agama, kelindan antara kepentingan politik, kemerosotan ekonomi, ketegangan etnis, hingga aksi terorisme memperpanjang siklus diskriminasi.

Indonesia tidak lepas dari pola tersebut. Laporan dari Setara Institute (2017) menunjukkan bahwa pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia meningkat jadi 208 peristiwa di 2016, lebih dari 197 insiden di 2015 dan 134 di 2014. Dari 270 laporan tindakan intoleransi beragama, 140 insiden melibatkan aktor negara seperti polisi dan pemerintah lokal.

Mereka turut andil melalui kebijakan yang diskriminatif serta pembiaran terhadap tindakan intoleransi yang dilakukan aktor non-negara seperti ormas. Setara Institute menyebut bahwa aparat kita “lembek” menangani kelompok intoleran yang mengatasnamakan agama mayoritas, dan lebih ingin menjaga perasaan mayoritas ketimbang membela hak-hak sipil. Sentimen serupa diutarakan laporan Yayasan Wahid, yang menyatakan bahwa tindakan ormas intoleran “belum sepenuhnya ditanggapi penegak hukum.”

Kebencian yang mendekam dalam suatu kampung atau antar tetangga tak akan serta merta menggurita jadi perang bila tidak ada yang memanas-manasi. Ini bukan soal pemeluk satu agama berjibaku melawan pemeluk agama lain, seperti suporter tim sepak bola rival janjian tawuran di tanah lapang. Kebencian dan prasangka adalah sesuatu yang dirawat baik-baik oleh mereka yang berkuasa. Pertanyaannya: untuk apa?

Share: Intoleransi Bukan Kebencian Biasa, tapi Produk Pemerintah Lalim