Isu Terkini

Aksi 212 Menyisakan Efek Sikap Intoleransi

Christoforus Ristianto — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Salah satu yang membuat demokrasi di Indonesia masih rendah dan harus dibenahi adalah faktor intoleransi keberagaman. Artinya, suatu bentuk intoleransi atau kurangnya toleransi terhadap kepercayaan maupun praktik agama lain. Akhir-akhir ini, intoleransi kerap dikaitkan dengan politik menjelang Pemilu 2019. Alhasil, munculah gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama dan kemudian dimanfaatkan secara politis guna memenangkan pihak tertentu.

Hal itu mengemuka dalam diskusi survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) bertajuk “Tren Persepsi Publik tentang Demokrasi, Korupsi, dan Intoleransi” di Jakarta, Senin (24/9/2018). Diskusi tersebut dihadiri oleh peneliti senior LSI Burhanuddin Muhtadi, koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, dan Ketua The Wahid Foundation Yenny Wahid.

Sebelumnya, sebuah perusahaan riset bisnis dan ekonomi yang berbasis di Inggris menerbitkan laporan indeks demokrasi untuk 2017. Indonesia menjadi sorotan dalam laporan itu karena anjlok 20 peringkat di tingkat dunia.

Democracy Index 2017 yang diterbitkan Economist Intelligence Unit menyebut Indonesia mengalami kemunduran menyusul Pemilihan Gubernur Jakarta 2017, “di mana gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama, yang datang dari masyarakat minoritas, dipenjara karena dugaan penistaan agama.”

(Kiri-kanan) Koordinator ICW Adnan Topa Husodo, Ketua The Wahid Foundation Yenny Wahid, Peneliti Senior LSI Burhanudin Muhtadi, dan Peneliti LSI Akhmad Khoirul Umam dalam rilis survei LSI bertajuk “Persepsi Publik tentang Demokrasi, Korupsi, dan Intoleransi di Indonesia”, Jakarta, Senin (24/9/2018). Foto: Dok. Asumsi.co

Selaras dengan laporan tersebut, berdasarkan hasil temuan survei nasional yang dilaksanakan LSI dari 1-7 Agustus 2018, Burhan menyatakan, tren intoleransi yang berkenaan dengan segi sosial dan budaya masyarakat sempat mengalami penurunan setelah Basuki atau Ahok dipenjara.

“Tren penurunan tadi awalnya turun, namun lambat laun mengalami penaikkan setelah adanya gerakan yang mengatasnamakan agama yang diawali aksi 212 di Monas,” tutur Burhan.

“Dengan pertanyaan yang sama setelah sekian tahun berlalu yang terjadi ternyata peningkatan intoleransi di dua level tadi. Makannya bukan 212 puncak dari radikalisme, tapi 212 yang membuka keran naiknya intoleransi tadi.”

Menurut Burhan, hal itu terjadi disebabkan oleh faktor mayoritas agama tertentu terhadap intoleransi politik. Tak pelak, lanjutnya, golongan mayoritas merasa harus mendapatkan perlakukan yang khusus dibandingkan dengan golongan minoritas.

Intoleransi politik yang dimaksud dalam survei ini adalah kerelaan umat Islam memilih pemimpin dari nonmuslim, mulai dari tingkat wali kota atau bupati hingga presiden. Dalam kategori ini LSI menggunakan responden muslim.

Hasilnya sejak 2016 tingkat intoleransi politik di kalangan umat Islam mengalami peningkatan. Di tingkat presiden kenaikan terjadi sebesar 11 persen. Lalu di tingkat wapres sebesar 14 persen, di tingkat gubernur 12 persen, dan di tingkat kabupaten atau kota peningkatan sebanyak 13 persen.

Hal berbeda justru terjadi dengan responden nonmuslim. Mayoritas mereka tidak keberatan bila dipimpin muslim. Menurut Burhanuddin hal itu bukan terkait agama, namun karena faktor mayoritas dan minoritas.

“Jadi salah satu penjelasan mengapa intoleransi tinggi adalah hak istimewa dari golongan mayoritas. Bahkan di kelompok nonmuslim pun kalau dia merasa mayoritas dia cenderung tidak toleran jika ada orang islam menjadi pejabat publik atau membangun rumah ibadahnya di sekitar tempat tinggal mereka,” kata Burhan.

Sementara itu, Yenny Wahid membenarkan intoleransi politik Tanah Air kini memang sedang naik. Akan tetapi, tren tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan juga di dunia. Maka dari itu, Yenny acap kecewa dengan media-media asing yang memberitakan intoleransi di Indonesia sudah lebih parah dibandingkan negara lain.

“Kita semua sama-sama sekarang menghadapi situasi ini. Bahkan sebenarnya kita agak lebih baik dalam intoleransi. Saya tidak suka kalau media-media asing menyatakan intoleransi di Indonesia menciptakan gerakan-gerakan radikal,” geram Yenny.

Untuk itu, pada Pemilu 2019, dirinya mengajak pasangan calon capres dan cawapres serta calon legislatif agar tidak membawa isu primordial yang akan memecah suara masyarakat.

“Jangan membuat bangsa ini terpecah karena isu intoleransi karena nanti akan terjadi gerakan radikalisme di negara-negara lainnya. Semua harus berkomitmen tidak memperdagangkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan,” imbuhnya.

Share: Aksi 212 Menyisakan Efek Sikap Intoleransi