Budaya Pop

Zine dan Perlawanan Media Bawah Tanah Pada Masa Orde Baru

Abdul Qowi Bastian — Asumsi.co

featured image

Situasi di Cimahi, Jawa Barat, pada Mei dua puluh tahun lalu adem ayem saja. Tidak ada tanda-tanda kerusuhan dan kepanikan seperti yang melanda Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia.

Kiki Esa Perdana, yang pada Mei 1998, masih berusia 15 tahun, enggak pernah merasa ada yang berbeda dalam hidupnya. Kehidupannya di kota kecil itu berjalan seperti biasanya. Ia pergi ke sekolah layaknya anak-anak pada umumnya.

“Hidup saya enggak terganggu secara pribadi,” kata Kiki kepada Asumsi beberapa waktu lalu, pada awal Mei 2018, dua puluh tahun setelah reformasi yang membawa angin perubahan melanda Indonesia.

“Orangtua saya sempat bilang, bakal ada perubahan di negeri ini, tapi enggak terjadi apa-apa,” ujarnya mencoba mengingat-ingat perubahan apa yang terjadi kepada dirinya maupun keluarganya serta lingkungan sekitar.

Yang ia ingat, beberapa pekan sebelum terjadi kerusuhan dan penjarahan yang hanya bisa ia saksikan melalui layar kaca, ada sejumlah teman-teman SMA-nya yang membagikan zine musik bermuatan politik di sekolahnya.

Pada saat itu, ia belum sepenuhnya paham apa itu zine. Yang ia tahu, kertas yang ia genggam dan baca sepintas itu berbentuk lembaran fotokopian berwarna hitam putih yang disteples.

“Di sekolah saya beberapa minggu sebelum kejadian, beredar zine bermuatan politik. Tahun-tahun itu banyak yang bawa,” kata pria yang sekarang menjadi dosen komunikasi di sebuah universitas swasta di Jakarta itu.

“Saya baca salah satu zine tulisannya tentang kapitalisme, yang sebelumnya jarang masuk zine seperti itu ke SMA,” ujarnya menambahkan.

Istilah-istilah seperti “kapitalisme” masih terdengar asing di kuping Kiki yang masih berusia remaja. Kata yang baru ia temukan di atas lembaran kertas itu memantik perhatiannya. Bagaimana tidak, zine yang biasanya membahas tentang skena musik lokal—utamanya punk, rock, dan hardcore—tiba-tiba membicarakan tentang kapitalisme dan negara.

Tentu bukan tidak ada sebabnya ketika aliran musik bawah tanah mulai membahas isu-isu berbau politik. Toh, jenis musik punk dan sebagainya memang identik dengan anti-kemapanan, yang terukirkan melalui lirik-liriknya dan juga tampilan para anggota subkultur itu.

“Apa sih ini?” gumamnya.

Ia mengaku tidak sepenuhnya mengingat konten apa yang tertulis dalam zine tersebut.

“Yang saya ingat tulisannya, bahwa negara kita dipegang kapitalis dan rakyat harus bertindak,” ucapnya.

Tapi satu yang ia tahu, ini bukan sembarangan hal. Soalnya, teman-teman yang membawa dan membagikan zine, melakukannya secara diam-diam.

“Teman-teman bawa itu sembunyi-sembunyi, disimpan di dalam tas. Bawa ke atas meja aja enggak berani. Ngebagiinnya di WC atau lewat kolong meja di tempat duduk di kelas,” ujar Kiki mengenang.

Apa Itu Zine?

Zine adalah sebuah media alternatif non-komersil dan non-profit yang dipublikasikan sendiri oleh individu. Istilah “zine” sendiri diambil dari kata “magazine” dalam bahasa Inggris yang berarti majalah. Meski demikian, bentuk zine tidak melulu persegi panjang dan puluhan halaman layaknya majalah yang bisa didapat di toko-toko buku.

Siapapun bisa menjadi penulis zine, atau biasa disebut zinester. Tidak perlu biaya besar untuk menghasilkan sebuah zine. Hanya berbekal, pulpen, kertas, mesin fotokopi, dan staples, setiap orang sudah bisa membuatnya.

Namun berbeda dengan majalah, zine tidak mempunyai deadline atau periode kapan harus diterbitkan. Semaunya si pembuat saja.

Stephen Duncombe, penulis buku seminal tentang zine, Notes From Underground, mendefinisikan zine sebagai “majalah dengan sirkulasi kecil yang non-komersil, non-profesional, di mana penciptanya memproduksi, menerbitkan, dan mendistribusikannya sendiri.”

Sirkulasinya pun sangat terbatas, umumnya berputar pada komunitas si pembuat, baik itu dikerjakan secara pribadi maupun kolektif. Harganya pun sangat murah. Jika dulu sebuah zine bisa dihargai Rp1.500 hingga Rp2.000, saat ini berkisar antara Rp20.000 hingga Rp35.000.

Sedangkan zinester kenamaan, R. Seth Friedman yang menerbitkan zine periodikal bernama Factsheet Five, menyebut zine adalah “publikasi amatir yang dibuat sendiri dalam skala kecil dan dikerjakan karena cinta. Jarang sekali mendapatkan keuntungan atau bahkan menutupi biaya produksi”.

Awal mulanya, zine muncul di Inggris pada tahun 1970an, masa di mana musik punk tengah berjaya. Zine dijadikan medium independen dan alternatif bagi anggota subkultur punk untuk menyuarakan ekspresi mereka yang tidak terjangkau oleh media massa.

Zine mulai masuk ke Indonesia pada awal 1990an. Sama seperti di Inggris dan negara Barat lainnya, komunitas minoritas lah yang pertama-tama mengadopsi zine. Mereka menggunakan zine sebagai bentuk perlawanan terhadap komoditas mainstream media.

Zine Sebagai Bentuk Perlawanan ‘Censorship’

Pada Juni 1994, pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan otoriter Presiden Soeharto, membredel tiga majalah; Tempo, Editor, dan DeTik. Sebagai respon dari pembredelan yang disebut sebagai akhir dari proses liberalisasi politik “keterbukaan”, sejumlah warga—bukan jurnalis profesional atau pun mereka yang memiliki latar belakang sebagai penerbit—mulai menerbitkan karya sendiri dalam bentuk zine.

Pada masa inilah, pelajar, mahasiswa, dan aktivis politik dan sosial di Indonesia membuat dan menerbitkan zine, meski pada kala itu tidak melulu dikenal sebagai “zine”. Publikasi bermuatan politik saat itu lebih banyak berbentuk pamflet, brosur, atau poster. Ragam jenis ini jika dikategorikan bisa termasuk dalam artian zine.

Konten zine-zine lainnya pada saat itu juga bukan hanya tulisan provokatif seputar kapitalisme atau komunisme, tapi juga gambar-gambar yang membangkitkan semangat nasionalisme rakyat, khususnya kaum muda.

Apalagi pemerintah Orde Baru yang kerap menerapkan sensor dalam pemberitaan media, membuat para zinester menuangkan pendapat mengenai topik-topik yang tidak dibahas di mainstream media. Seiring berjalannya waktu, zine yang awalnya digunakan sebagai medium untuk anak-anak punk, beralih fungsi menjadi sarana politik.

Terlebih, sejak pembredelan ketiga media di atas, zine berfungsi sebagai bentuk perlawanan dan medium aktivisme politik yang membawa pergerakan dari bawah tanah.

Secara tidak langsung, zine memiliki peran dalam menjatuhkan pemerintahan Orde Baru. Mantan Ketua Dewan Pers Lukas Luwarso, dalam sebuah tesis berjudul Manufacturing Control: New Legislations Threaten Democratic Gains in Indonesia yang diterbitkan dalam jurnal Asian Cyberactivism: Freedom of Expression and Media Censorship, mengatakan, mahasiswa dan aktivis membuat zine sebagai bentuk protes terhadap pembungkaman kebebasan berekspresi yang dituangkan dalam publikasi alternatif independen.

Sekelompok orang yang menamakan diri mereka OPSI menerbitkan sebuah zine berjudul Insureksi Albania pada 1997. Mereka mengilustrasikan poin-poin penting di mana rakyat menolak menjadi konsumen media massa, tapi juga produsen konten berita. Dalam zine-nya, OPSI menulis, “Pamflet ini tidak ditujukan untuk melecehkan atau mempromosikan ideologi politik apapun. Ini adalah teks bersejarah mengenai gerakan insureksi yang disebabkan oleh kebijakan moneter dan ekonomi internasional.”

Pemberontakan di Albania memang merupakan sebuah isu yang jarang didengar atau dibahas di mainstream media, terlebih di Indonesia. Tapi mengapa sekelompok anak kelas menengah di Bandung secara kolektif mengumpulkan data, menulis, dan menerbitkan zine mengenai insiden tersebut? Mereka berdalih, Albania merupakan salah satu negara yang pertama kali terkena dampak krisis moneter internasional.

Dalam zine yang kemudian mereka terbitkan pada 2005, OPSI menyebut ada benang merah antara yang terjadi di Albania dan Indonesia. Mereka meyakini, gerakan pemberontakan di Albania bisa dijadikan pembelajaran bagi masyarakat Indonesia untuk memahami situasi dan kondisi di belahan dunia lain, membandingkan dan menganalisa apa yang bisa dipelajari dan diadopsi dalam sebuah negara.

Masih Ada Tempat Bagi Zine

Zine berevolusi. Jika pada awal kemunculannya pada 1970an, zine merupakan tempat melayangkan ekspresi anggota komunitas musik underground secara global, dan pada pertengahan menuju akhir 1990an di Indonesia, zine menyentuh ranah politik dan sosial, kini zine lebih dikenal sebagai bentuk ekspresi personal dan komunitas.

Musisi seperti Kartika Jahja juga dikenal sebagai seorang zinester. Ia terlibat aktif dalam pembuatan zine yang digelar pada Festival Zine Bandung beberapa tahun lalu. Penulis kenamaan Ika Vantiani juga diketahui sebagai seorang zinester.

Tiga orang kawan bernama Zelva, Nando, dan Deva pun pernah terinspirasi untuk membuat zine yang diberi nama Di Udara, dari lagu grup band indie Efek Rumah Kaca, mengenai keganjilan meninggalnya aktivis HAM Munir Said Thalib yang diracun arsenik dalam penerbangan ke Belanda.

Bentuk zine sekarang pun sudah mengalami kemajuan. Hal itu diakui oleh panitia penyelenggara festival zine, Deden Erwin Suherman.

“Mungkin dulu banyak kawan-kawan hanya bikin zine dari photostate, xerox, tapi sekarang mereka sudah ada yang colourful, mulai dari cetakannya, mulai dari packaging. Banyak progress di zine-zine lokal di Bandung dan juga mungkin di Indonesia. Progress sangat bagus,” kata Deden.

Isinya pun semakin beragam.

“Kalau dulu mungkin karena di Bandung, wacana-wancara seperti anarchism, punk, isu-isu politik, gitu masih banyak, masalah left-wing gitu. Tapi sekarang bervariasi mulai dari musik, sport, makanan, wanita. Jadi sekarang  tema-tema sudah banyak berubah dari mulai dulu yang hanya tentang politik, anarchism, tapi sekarang sudah mulai banyak tema,” kata Deden.

Meski demikian, perlahan eksistensi zine sejak sekitar satu dekade lalu, mulai tergerus zaman, seiring berkembangnya internet. Banyak zinester yang beralih ke blog dan media sosial sebagai tempat untuk berekspresi. Namun Deden meyakini, bahwa masih ada special place bagi zine di hati zinester sejati.

Share: Zine dan Perlawanan Media Bawah Tanah Pada Masa Orde Baru