Isu Terkini

Yang Perlu Dibenahi dalam Sistem Zonasi

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Ada keputusan menarik yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun ajaran 2019/2020. Itulah pengubahan tata cara penerimaan peserta didik baru bagi sekolah-sekolah negeri di seluruh Indonesia. Berdasarkan peraturan tersebut, seleksi penerimaan di Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sebelumnya mengukur nilai Ujian Nasional (UN) diubah menjadi kedekatan jarak tempat tinggal ke sekolah. Istilahnya, sistem zonasi.

Hal ini sontak menjadi buah bibir. Kelompok yang menolak, misalnya, menganggap bahwa kebijakan ini berpotensi membuat para siswa malas belajar. Untuk masuk ke sekolah impian, tak ada persaingan berdasarkan mutu, hanya perlu tinggal dekat sekolah tersebut. Di sisi yang berseberangan, argumentasi pemerataan mutu sekolah juga patut didengarkan.

Asumsi.co mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan Soeprapto, dari bagian humas Kemendikbud, dan Prof. dr. Arief Rachman, M.Pd, seorang pendidik, untuk membahas hal-hal yang mungkin luput dari pembicaraan tentang sistem zonasi selama ini.

Soeprapto menegaskan bahwa PPDB Zonasi adalah sebuah langkah pemerataan pendidikan. Program wajib belajar 12 tahun menandakan bahwa tidak boleh ada anak Indonesia yang tak menuntaskan pendidikannya hingga ke jenjang SMA. Dengan sistem zonasi, diharapkan jumlah anak putus sekolah akibat kalah bersaing dalam mendapatkan sekolah negeri dapat dikurangi.

“Sebagai layanan publik, pendidikan harus diberikan secara merata, karena memang Undang-Undang Dasar mengamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang namanya bangsa itu ya seluruh masyarakat, bukan sekelompok tertentu saja. Selama ini dalam perspektif kita, layanan pendidikan itu hanya mencerdaskan sebagian kecil saja, terutama yang banyak diuntungkan itu adalah mereka yang kelompok kaya,” ujar Soeprapto kepada Asumsi.co, Kamis (27/6).

Menurut Soeprapto, sistem zonasi memungkinkan lebih banyak orang miskin untuk menikmati pendidikan yang berkualitas. Persaingan masuk sekolah -sekolah terbaik berdasarkan nilai Ujian Nasional, katanya, hanya akan menguntungkan kelompok masyarakat yang memiliki akses lebih terhadap pendidikan.

“Yang kaya semakin jaya, karena dia punya fasilitas, tetapi mereka yang dari kelompok miskin, golongan melarat, kian sekarat,” kata Soeprapto. Ia pun melanjutkan, Layanan publik kan memang harus bersifat non-rivalry, tidak boleh dikompetisikan yang berlebihan, kemudian non-excludable, tidak boleh eksklusif, dan yang terakhir harus non-discrimination. Itu pedoman dasar kami dalam menjalankan PPDB program zonasi.”

Bergulirnya PPDB Zonasi akan diikuti dengan pemerataan sumber daya pendidikan. Hal ini demi memitigasi permasalahan yang selama ini terjadi seperti adanya sekolah favorit dan non-favorit, atau kurangnya tenaga pendidik berkualitas di satu sekolah tertentu. Soeprapto juga menambahkan bahwa ia berharap nantinya tidak ada ketimpangan antar zona.

“Kalau selama ini resources pendidikan itu menggungung di suatu tempat, tetapi di tempat-tempat lain kosong. Yang menggunung itu akan kita ratakan.”

Soeprapto menegaskan bahwa ada dua harapan lain dari diterapkannya zonasi. Pertama, mengembangkan karakter peserta didik. Karena siswa bersekolah dekat dengan tempat tinggalnya, Soeprapto berharap siswa tersebut dapat lebih peduli dengan lingkungan sekitarnya. Kedua, ia juga yakin bahwa sistem zonasi ini dapat mengurangi angka tawuran antar sekolah yang seringkali terjadi.

“Yang lain adalah karena satu sekolah itu datang dari sekolah yang berdekatan dengan tempat tinggalnya, kemungkinan terjadi tawuran antar pelajar seperti sekarang itu bisa diperkecil. Di Jakarta kan kadang-kadang ada tawuran antar pelajar itu, itu dia sekolahnya jauh dari rumah, jauh dari pengawasan orang tua,” ungkap Soeprapto.

Soeprapto juga berharap bahwa diterapkannya sistem zonasi ini dapat mengekspos wilayah-wilayah mana saja yang masih kekurangan sekolah. Dengan demikian, ke depannya, target pembangunan sekolah-sekolah negeri dapat lebih sesuai kebutuhan.

Ia mencontohkan Kota Bekasi yang sudah menerapkan zonasi sejak 2017. Sistem itu berhasil menunjukkan daerah-daerah yang masih kekurangan sekolah. “Tapi yang tidak sadar ya banyak. Ya mudah-mudahan dengan zonasi itu akan ditekan oleh masyarakat, oleh pemerintah daerah, supaya memberikan layanan pendidikan yang berimbang, yang merata,” ujar Soeprapto.

Pendidikan yang menjadi urusan pemerintah daerah membuat Kemendikbud tidak bisa berbuat apa-apa ketika Pemprov DKI Jakarta memutuskan untuk tidak mengindahkan Permendikbud dan tetap menggunakan sistem nilai UN. Soeprapto khawatir tindakan Jakarta ini dapat diikuti daerah-daerah yang lainnya.

“Jakarta enggak boleh kok, tapi dia memaksakan diri, tapi kalo sudah begitu, apa daya Kemendikbud? Kita kan enggak punya sanksi, kita tidak bisa,” lanjut Soeprapto.

Sebagai upaya mempertahankan sistem zonasi ini, Kemendikbud memiliki dua strategi. Yang pertama, melakukan kajian dan evaluasi setelah diterapkan 3 hingga 5 tahun. Kemudian, secara formal, ia berharap sistem zonasi ini dapat dijadikan Perpres yang lebih mengikat.

Arief Rachman, seorang pendidik berpengalaman, mengaku paham bahwa sistem zonasi memiliki tujuan yang sangat baik, yakni meratakan pendidikan Indonesia. Selama ini, sistem pendidikan di Indonesia memang menciptakan “sekolah-sekolah favorit.” Dengan sistem zonasi, semua sekolah diharapkan menjadi sama baiknya.

Namun, menurut Arief, sistem ini tak dapat langsung diterapkan sepenuhnya, melainkan secara bertahap. “Artinya, kalau ada SMA yang belum unggul, guru-gurunya diberi pelatihan, fasilitasnya ditambah. Oleh siapa? Oleh pemerintah daerah zona itu,” kata Arief kepada Asumsi.co. “Semangat belajar anak sangat dipengaruhi oleh mutu sekolah, mutu guru, dan mutu proses pembelajaran.”

Dengan demikian, bila akhirnya sistem zonasi diwajibkan, tidak akan ada keberatan dari para calon siswa dan orang tua mereka. “Kenapa anak-anak ga mau masuk ke situ? Ya, karena mutunya jelek kan. Kalau mutunya bagus pasti dia mau,” ujar Arief. Ia membuat sebuah perumpamaan: “Kalau di Jawa lebih menjanjikan, ya orang pergi ke Jawa. Dia nggak mau di Kalimantan, dia nggak mau di Sulawesi Selatan.”

Share: Yang Perlu Dibenahi dalam Sistem Zonasi