Budaya Pop

Yang Patut Dipertimbangkan pada Hari Musik Nasional

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Banyak alasan untuk tertunduk lesu pada Hari Musik Nasional edisi tahun ini. Dua festival mentereng, Head in the Clouds Jakarta dan Hammersonic, batal akibat ancaman wabah COVID-19. Konser musisi pilih tanding macam Stormzy, Foals, dan Khalis juga ditunda sampai waktu yang tak dapat ditentukan. Namun, terlepas dari panggung-panggung besar yang senyap untuk sementara, kancah musik alternatif Ibukota tetap digdaya.

M-Bloc menjadi tuan rumah konser penuh distorsi yang memadukan Kelompok Penerbang Roket dan unit sarat distorsi asal Bali, Rollfast. Fuzzy, I memboyong syiar coldwave dari Bandung dalam penampilan yang trengginas di Panhead. Veteran indie rock Sajama Cut bangkit dari tidur panjang dalam konser pertamanya setelah tiga tahun. Jagoan musik keras Cloudburst dan Deadly Weapon berangkat satu rombongan dari Yogyakarta dan adu garang dengan Dental Surf Combat serta Tarrkam. Sementara itu, Mondo Gascaro memanjakan pendengarnya dengan konser intim “In a Silent Way” di Studio Musik Salihara.

Kiprah mereka semua membuktikan bahwa geliat skena independen lokal tak terhentikan bahkan oleh wabah. Namun, dalam kesehariannya, militansi para pegiat musik independen seringkali tak sepadan dengan hasil yang mereka tuai. Ekosistem musik independen lokal masih dijegal oleh kesulitan ekonomi, model bisnis yang berevolusi dengan susah payah, infrastruktur yang belum memadai, dan peranan bertumpuk yang dijalani tiap pelaku.

Kareem Soenharjo sedang sumringah. Musisi yang tampil dengan nama BAP dan Yosugi ini baru saja merilis proyek baru yang bercitarasa punk, BAPAK. Sebagai produser, ia merupakan salah satu otak cemerlang yang meracik Menari Dengan Bayangan, album debut Hindia. Namun, meski reputasinya mengkilap, ia mengakui bahwa pegiat sepertinya tetap menemui banyak kesulitan.

“Era internet ini seperti pedang bermata dua,” keluhnya. “Terdengar konyol, tapi di era keterhubungan seperti ini, semua musisi malah menjadi jarum kecil di lautan jerami. Saking gampangnya orang jadi musisi, akhirnya jadi tambah susah buat semua orang untuk menonjol.” Seorang musisi mesti putar otak mencari apa yang membedakannya dengan sejuta penantang lain, padahal proses artistik tersebut belum tentu terjadi dengan cepat.

Tak hanya pusing mencari gaya yang khas sebagai seniman, seorang musisi independen juga mesti berurusan dengan printilan lain dalam kariernya. Kecuali seorang musisi beruntung tergabung dalam kolektif, dinaungi label, atau dipandu oleh manajer yang dahsyat, proses artistik maupun kemajuan karier mereka mesti dirintis sendiri.

Hal ini yang dirasakan betul oleh Randi Ismail, seorang rapper yang naik panggung dengan nama Rand Slam. “Sebelum gue merasakan dibayar untuk tampil, semuanya dari biaya sendiri,” ungkapnya. “Duit transportasi gue sepenuhnya dari gue jualan CD yang gue bawa.”

Mirip dengan banyak musisi lainnya, Randi mencoba berjejaring. Ia mendirikan kolektif Medium Rare bersama rapper seangkatan seperti JuTa, Bintang Adamas, dan Joe Million, tapi mereka pecah kongsi akibat perbedaan visi. Kini ia belajar banyak dari keterlibatannya di Def Bloc–label asal Bandung yang sekaligus berfungsi layaknya koperasi.

“Masalah modal dan perputaran duit masih jadi persoalan penting untuk label independen,” tuturnya. Siasatnya hanya dengan perencanaan baik dan investasi bijak. “Misalnya begini, akhir 2019 kami merilis kompilasi Brother’s Keeper. Kami memperhitungkan anggarannya, kemungkinan keuntungannya, dan keuntungan itu bisa dipakai jadi modal untuk apa?”

Semua anggota koperasi Def Bloc–rata-rata produser, musisi, serta pegiat kancah musik lokal lain–akan menawarkan proyek baru yang telah siap untuk “didanai” secara kolektif. Barulah dana hibah kecil-kecilan dialokasikan ke proyek-proyek tersebut, dan prosesnya berulang.

Dalam cara kerja seperti ini, transparansi ekonomi dan visi yang sama jadi lebih penting. Dengan nada geram, ia mengisahkan bahwa kolektifnya bahkan sempat menjadi korban penipuan anggota yang diam-diam menilep uang. Insiden tersebut memotivasinya untuk lebih awas terhadap keuangan.

“Banyak musisi–terutama hip hop–yang nggak mau berurusan dengan keuangan, padahal itu penting buat keberlangsungan kerja kalian,” kata Randi. “Sekarang, gue dan anak-anak malah belajar pembukuan. Walaupun awalnya keteteran, kami tahu ini penting untuk kerja kami.” Dalam kolektif yang mandiri, manajemen rapi malah lebih diperlukan. Satu proyek yang meleset atau uang sekian juta yang salah tempat bisa berakibat fatal.

Peranan ganda ini menjadi ciri khas dalam pola kerja skena independen lokal. Bukan hal baru bila jurnalis musik merangkap musisi, manajer band merangkap bos label, atau pengorganisir konser sekaligus jadi penyanyi terkenal. Kisah macam Kareem yang jadi produser sekaligus pernah aktif sebagai pengelola kelas musik, atau Randi yang rapper sekaligus mengurus pembukuan, jelas bukan kabar baru.

Nasib Daffa Andika sama saja. Ia pendiri Kolibri Rekords, label spesialis indie pop yang telah merilis karya kugiran-kugiran berkualitas macam Bedchamber, Flowr Pit, Jirapah, serta Circarama. Salah satu grup tersukses mereka, Grrrl Gang, pernah tur ke lebih dari 20 kota di Indonesia dan Asia Tenggara pada 2018. Grrrl Gang pun diundang tampil di festival mentereng South by Southwest Festival di Austin, Texas, sebelum festival tersebut batal diselenggarakan akibat virus COVID-19.

Di balik semua itu, Daffa dan timnya yang mungil bekerja tak kenal rehat. Meski ia familiar dengan pola kerja palugada khas skena independen, menurutnya industri musik harus pelan-pelan berubah. Impiannya tentu agar skena lokal dapat menyusul Jepang, Amerika Serikat, atau Eropa, yang dapat menghidupi label maupun musisi paling segmented sekalipun. Dari amatan Daffa, kuncinya justru karena pembagian tugas yang jelas dalam ekosistem musik luar negeri.

“Di scene musik independen Indonesia, umumnya cuma ada empat peranan: artis, label, media, dan pengorganisir acara (EO),” ujar Daffa. “Hampir semua aspek dalam karier sebuah band dan ekosistem musik secara keseluruhan dibebankan pada keempat pihak tersebut.” Baginya, praktik ini tidak salah, namun seharusnya bisa jadi lebih efektif. Bila industri musik yang begitu kompleks hanya diarungi oleh empat pihak, mau tidak mau akan ada beban kerja yang kelewat berat untuk tiap simpul.

“Di luar negeri, ada setidaknya 10 pilar vital dalam suatu ekosistem musik,” tuturnya. Selain artis, label, dan EO, kancah musik independen di luar negeri juga punya ruang untuk manajemen artis, booking agent yang mengurus tur, distributor karya dalam bentuk fisik maupun digital, publisher yang mengurus tetek bengek legal, hak cipta, serta kerjasama dengan medium lain seperti acara televisi, agensi kehumasan yang mengurus promosi, serta creative studio yang menggarap citra visual.

Bagi Daffa, hadirnya sepuluh pilar kunci itu membantu musisi luar negeri dari genre teraneh sekalipun untuk tur keliling dunia dan hidup dari penjualan musiknya. “Band independen kecil di AS pun rilisannya bisa sampai ke Australia dan Jepang karena mereka punya distributor internasional yang oke,” ungkap Daffa. “Sedangkan, di Indonesia, praktis distributor rilisan fisik cuma Demajors. Gue enggak tahu apakah ini karena ada monopoli yang disengaja, atau memang tidak banyak yang sadar bahwa kita butuh pilar-pilar lain.”

Sayangnya, ekosistem musik lokal belum tentu kondusif untuk perkembangan semacam itu. Kareem mengeluhkan adanya “lingkungan yang toksik” di scene musik independen lokal yang ujung-ujungnya mencegah kemajuan dan inovasi. “Menurut gue kita butuh ekosistem yang memang pengin maju, baik dari segi artistik maupun bisnis.” Ucapnya. “Gue dan banyak musisi di Indonesia gampang banget terjebak zona nyaman dan merasa nyaman dengan apa yang kita miliki sekarang.”

Menurut Daffa, persoalannya ada pada visi. “Sekarang, kalau ada anak baru yang mulai terjun ke industri musik, mereka entah mau ngeband, jadi media, atau bikin label,” kritik Daffa. “Nggak banyak yang mau jadi distributor, booking agent, atau PR. Kalau pun ada yang melakukan itu, selalu dari perusahaan besar yang nggak punya relasi kuat dengan akar rumput.”

Walhasil, keempat “pilar” tersebut menumpuk, sementara pos lain yang juga penting untuk keberlangsungan industri musik justru didominasi nama yang itu-itu saja, atau tak diacuhkan sama sekali.

“Secara musikal, menurut gue Indonesia sangat menjanjikan,” ucap Kareem. “Tapi sekarang, energi kreatif yang sama juga harus disalurkan untuk model bisnis dan pemasaran kita. Selain Kolibri Rekords, apa yang dilakukan Senyawa juga menurut gue menarik untuk dikulik.”

Melalui karya artistik yang mumpuni, relasi baik dengan booking agent dan sinergi yang apik dengan tim manajemennya, duet eksperimental asal Yogyakarta itu rutin merambah panggung internasional. Dalam tur mereka belum lama ini, mereka bahkan memamerkan jamu dan tembakau racikan sendiri yang diperjualbelikan secara bebas. Kepada saya, Senyawa mengungkapkan bahwa mereka telah mendaftarkan diri sebagai badan hukum dan berniat mandiri sepenuhnya secara ekonomi.

Bersama kawan-kawannya di Bandung, Randi pun mulai merambah ranah selain produksi musik. “Ketimbang mengandalkan suntikan dana gede, mending lo bikin badan usaha dengan skala kecil,” sarannya. “Sekarang, Def Bloc cari pemasukan dari dagangan lain seperti merchandise dan vinyl, sekaligus membuka kedai kopi.”

Tahun lalu, mereka pun meresmikan studio mungil Cutz Chamber, yang mereka kelola sendiri dan mumpuni untuk rekaman dan mengolah karya. Pengeluaran untuk rekaman di studio luar pun berkurang drastis.

“Semoga kita nggak lihat bagaimana scene di luar negeri bisa hidup dan berpikir itu cuma utopia,” ucap Daffa. “Mungkin konteks di sini beda. Di sana ada sepuluh pilar, ternyata di sini cuma butuh tujuh atau malah butuh dua belas.” Yang jelas, percakapan itu mesti terus dibuka dan inisiatif dari para penggiat musik independen harus terus digalang.

Share: Yang Patut Dipertimbangkan pada Hari Musik Nasional