General

Yang Harus dan Tidak Boleh Media Lakukan di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019

Yuli Krisna Saputra — Asumsi.co

featured image

Bukan hanya peserta pemilihan umum (pemilu) yang punya peran penting dalam pesta demokrasi, tapi juga media. Namun sering kali media malah menjadi sumber kisruh dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilu, apalagi memasuki tahun-tahun politik seperti sekarang ini.

Nah, untuk menciptakan iklim media yang kondusift, Dewan Pers Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan praktisi media menandatangani Deklarasi Menjaga Netralitas dan Independensi Pers dalam Rangka Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, di Gedung Sate Jalan Diponegoro Kota Bandung, pada 10 April lalu.

Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengatakan, deklarasi ini diharapkan menunjukkan upaya komponen masyarakat di luar pers dan pemilik media untuk ikut mewujudkan pemilu yang cerdas dan damai.  Jawa Barat dipilih karena provinsi ini memiliki penduduk terbanyak di Indonesia.

“Daerah ini diperebutkan oleh pasangan calon, apalagi menjelang Pemilu 2019. Kita bisa melihat dari pasangan calon. Partai-partai besar meletakkan calonnya di sini. Bukan tidak mungkin akan muncul kegaduhan. Kegaduhan akan mengganggu publik untuk secara cerdas mengunakan hati nuraninya, memberikan dukungan kepada calon-calon yang terbaik,” kata Yosep.

Dalam hal ini, lanjut Yosep, Dewan Pers berpesan kepada insan pers untuk ikut menjaga kondusivitas di tahun politik ini. Apa saja pesan Dewan Pers terhadap jurnalis dan praktisi media? Simak di sini:

Media Harus Nonpartisan dan Bekerja Untuk Kepentingan Publik

Yosep mengingatkan bahwa posisi ideal media adalah nonpartisan dan bekerja untuk kepentingan publik. Namun kenyataannya, banyak perusahaan media yang pemiliknya justru ketua umum partai atau pengurus partai politik.

Menurut Yosep, hal itu tidak menjadi masalah, dengan catatan ruang redaksi harus bersih dari ambisi pribadi atau partai. Ia menegaskan, pemimpin redaksi juga harus menjaga independensi.

“Silakan pemimpin umum yang berpolitik, tapi pemimpin redaksinya harus bisa menjaga kualitasnya sesuai dengan standar Undang-undang Pers,”  kata Yosep.

Sementara kepada pemimpin perusahaan, ia mengingatkan, agar pesan politik hanya berbentuk iklan atau advertorial dan tidak ditulis dalam format berita.

Media Harus Menjadi Verifikator dan Panduan Bagi Masyarakat

Berkaca pada pengalaman Pemilu 2014 dan Pilkada DKI Jakarta tahun lalu di mana berita hoaks dan media abal-abal bermunculan di media sosial, Yosep meminta agar media mampu menjadi verifikator dan panduan bagi masyarakat.

“Wartawan harusnya membuat berita yang bisa menjadi rujukan masyarakat ketika masyarakat bingung dengan berita-berita yang beredar di media sosial,” ujar Yosep.

Dewan Pers, kata Yosep, menginginkan media turut menjaga objektivitas di masa-masa proses politik berlangsung. Sekaligus juga, memberikan panduan kepada masyarakat mengenai pasangan calon.

“Kami ingin media bisa memberitakan jalannya kampanye, memberikan semacam guideline. Ini lho visi-misi dari pasangan calon, silakan dipilih. Apapun hasilnya, orang yang terpilih harusnya bisa mewujudkan wilayahnya lebih baik dan bisa menyejahterakan masyarakat. Pers harus bisa mengawal itu,” tutur pria yang akrab dipanggil Stanley ini.

Pegang Teguh Kode Etik Jurnalistik

Dewan Pers mencatat ada beberapa kesalahan yang dilakukan media pada masa Pemilu 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017. Pertama, media menulis berita hoaks yang bersumber dari informasi di media sosial tanpa melakukan verifikasi dan konfirmasi. Kedua, bermunculan media abal-abal yang menjadi bagian mesin penyebar kebencian.

“Ini terjadi menjelang tensi politik tinggi. Partai-partai sedang bertarung, pasangan calon sedang bertarung juga. Biasanya [muncul] hoaks, kemudian media abal-abal juga ikut menyebarkan kebencian melalui media sosial. Biasanya itu saling berkaitan,” kata Yosep yang pernah menjabat sebagai komisioner Komnas HAM periode 2007-2012 ini.

Agar tidak terjerat berita palsu, Yosep menyarankan agar wartawan memegang teguh Kode Etik Jurnalistik.

“Wartawan hanya melaporkan fakta. Jangan menggunakan berita yang ada di media sosial langsung ditulis di berita. Kenapa? Karena yang ada di media sosial, statusnya informasi. Informasi berbeda dengan berita. Berita adalah informasi yang terverifikasi dan terklarifikasi. Rambu-rambu Kode Etik Jurnalistiknya laksanakan, maka kita akan menghindari hoaks,” katanya.

Wartawan Harus Mundur Jika Menjadi Caleg atau Tim Sukses

Dewan Pers tidak mempermasalahkan wartawan yang ingin ikut dalam kompetisi pemilu atau terlibat sebagai tim sukses pasangan calon tertentu. Syaratnya, wartawan tersebut harus nonaktif untuk sementara waktu atau mengundurkan diri secara permanen.

Untuk mempertegas aturan itu, Dewan Pers mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 tahun 2018. Alasannya, dengan menjadi calon anggota legislatif (caleg) atau tim sukses, wartawan tersebut akan berjuang untuk kepentingan politik pribadi atau golongannya.

“Padahal tugas utama jurnalis adalah mengabdi pada kebenaran dan kepentingan publik. Karena itu, ketika jurnalis memutuskan menjadi caleg atau tim sukses, ia kehilangan legitimasinya untuk kembali pada profesi jurnalistik,” katanya.

Share: Yang Harus dan Tidak Boleh Media Lakukan di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019