Isu Terkini

Wiranto Sebut Penyebar Hoaks Bisa Dijerat dengan UU Terorisme, Pantaskah?

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyebut pelaku hoaks bisa dijerat dengan Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebab, dia menilai, penyebar hoaks itu sebagai peneror masyarakat. Oleh sebab itu, Wiranto mengatakan bahwa penyebar hoaks bisa juga dijerat dengan aturan soal terorisme.

“Kan ada Undang-Undang ITE, pidananya ada. Tapi saya terangkan tadi hoaks ini kan meneror masyarakat. Terorisme ada fisik dan nonfisik. Terorisme kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoax untuk takut datang ke TPS, itu sudah ancaman, itu sudah terorisme. Maka tentu kita Undang-Undang Terorisme,” ucap Wiranto di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu, 20 Maret 2019 kemarin.

Hal ini ia ungkapkan untuk merepon isu yang menyebut akan ada kerusuhan saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 nanti. Ia sendiri menjamin bahwa Pemilu pada 17 April 2019 akan berjalan aman dan damai.

“Tentang adanya isu dan hoaks bahwa pemilu itu akan rusuh, sebelum pemilu akan ada gerakan massa, pemilu nanti adalah people power, ini saya sendiri heran mengapa isu itu dilemparkan, padahal keadaannya damai-damai saja. Keadaan juga tidak ada sesuatu yang ekstrem yang mengisyaratkan adanya seperti itu,” kata Wiranto.

Wiranto menyebut penyelenggara pemilu serta aparat penegak hukum sudah memiliki rencana detail untuk mencegah terjadinya potensi ancaman terhadap pemilu. Dia meminta publik tidak mudah begitu saja menelan berita bohong. Mantan Ketua Umum Partai Hanura itu pun menganjurkan warga Indonesia tetap menggunakan hak pilihnya masing-masing.

“Jangan percaya hoaks kemudian ambil langkah sendiri-sendiri. Gunakan hak pilih Anda. Anda punya hak pilih sebagai warga negara untuk memimpin 5 tahun ke depan. Jangan sia-siakan kesempatan itu sehingga kita mengharapkan tidak ada lagi golput yang menyia-nyiakan kesempatan hak pilihnya hanya karena takut hoaks.”

Respon Polri Soal Penyebar Hoaks Dijerat UU Terorisme

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menjelaskan soal penyebar hoaks yang disebut Wiranto bisa dijerat dengan UU Terorisme. Ia mengatakan bahwa penjeratan kasus ke dalam beberapa pasal harus melalui pembuktian yang dilakukan oleh penyidik. Brigjen Dedi membenarkan bahwa jika si pembuat hoaks sengaja melakukan tindakan yang membuat orang lain cemas, takut, dan adanya intimidasi psikologi, maka bisa saja hukumannya berdasarkan pidana terorisme.

“Penyidik akan membuktikan dulu siapa yang bersangkutan. Kemudian latar belakangnya apa, unsur kesengajaannya untuk membuat rasa cemas dan takut, bentuk intimidasi psikologis, itu bisa dikenakan. Juga pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018, apabila pelakunya memiliki jaringan atau masuk dalam suatu jaringan terorisme,” ujar Dedi.

Meski begitu, menjerat pelaku hoaks dengan UU Terorisme bukan perkara yang mudah. Perlu adanya pendapat para ahli untuk mendalami konstruksi hukumannya agar lebih jelas.

“Itu perlu pendalaman yang boleh dikatakan mengundang beberapa saksi ahli untuk menguatkan konstruksi hukumnya.”

Jika ternyata pelaku hoaks tidak terlibat dengan jaringan teroris manapun, lanjut Dedi, lebih tepat jika dijeratnya menggunakan Pasal 27 dan 45 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selain itu menurut Dedi bisa juga diterapkan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 bila seseorang sengaja membuat keonaran dengan menyebarkan berita bohong.

“Jadi proses penegakan hukumnya sangat tergantung dari hasil analisa dan secara komperhensif dilakukan oleh penyidik. Penyidik secara profesional yang melihat itu berdasarkan fakta hukum,” imbuh Dedi.

Pelaku hoaks yang juga dijerat dengan UU Terorisme sebenarnya sudah pernah terjadi di Indonesia. Penangkapan pelaku hoaks bernama Abu Riky di Rokan Hilir, Riau, misalnnya. Ia ditangkap karena kerap memposting konten-konten jihad di akun media sosial miliknya. Namun ternyata setelah diidentifikasi, Abu Riky telah terpapar paham radikal.

“Abu Ricky juga, kita masukkan (juga) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018,” demikian cerita Dedi.

UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Dalam Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 2018 sendiri, telah dijelaskan bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal. Ancaman yang bisa dikategorikan kekerasan itu bisa berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, maupun gerakan tubuh.

Di Pasal 25, tertulis bahwa waktu penahanan bisa selama 270 hari atau 9 bulan. Di sana dijelaskan pula soal penangkapan serta penetapan status tersangka yang durasinya memakan waktu 7 hari. Meskipun begitu, pasal ini juga masih harus menjunjung tinggi hak asasi manusia. Setiap penyidik yang melanggar ketentuan tersebut bisa dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, dalam Pasal 9 Nomor 15 Tahun 2003, tertulis bahwa setiap orang memiliki hubungan dengan berbagai senjata untuk melakukan tindakan terorisme, maka hukumannya bisa pidana mati atau penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Sedangkan bagi orang yang merencanakan atau sekedar menggerakkan tindak pidana terorisme, maka hukumannya tetap pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

Lalu, pantaskah penyebar berita hoaks diberi hukuman yang sama seperti tertulis dalam UU tindak pidana terorisme?

Share: Wiranto Sebut Penyebar Hoaks Bisa Dijerat dengan UU Terorisme, Pantaskah?