Isu Terkini

Urusan THR Makin Panas, Perusahaan Harus Perhatikan Hal-hal Ini

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Tunjangan Hari Raya (THR) kini jadi angan-angan bagi banyak buruh yang tempat bekerjanya terdampak pandemi COVID-19. Itu melengkapi penderitaan karena pemotongan atau penundaan gaji. Kondisi pun semakin rumit ketika pemerintah menawarkan jalan tengah yang tak berpihak kepada mereka.

Rabu (13/05), karyawan PT Crevis Tex Jaya di Subang, Jawa Barat, menggelar demonstrasi untuk menuntut hak mereka atas gaji dan THR. Mereka merasa perusahaan sebetulnya sanggup membayar THR meski bisnis terganggu oleh SARS-CoV-2.

Kabarnya, PT Crevis Tex Jaya menyanggupi untuk membayar gaji karyawan sebesar 50 persen pada 20 Mei dan sisanya pada akhir bulan. Perkara THR, perusahaan menyanggupi memberikan sebesar 20 persen pada 20 Mei dan sisanya paling lambat di bulan Oktober.

Setali tiga uang, PT Fast Food Indonesia selaku pemegang merek KFC juga mengalami kesepakatan dengan serikat pekerja untuk menyesuaikan beban upah yang diterima karyawan serta pemberian THR karena dampak pandemi COVID-19.

Setidaknya ada 97 gerai KFC yang ditutup bersamaan dengan mal atau plaza yang tak bisa beroperasi selama pandemi COVID-19. KFC juga pada umumnya hanya menyediakan layanan drive thru dan bawa pulang (take away) lantaran penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai wilayah.

Baca Juga: Sedang Pandemi, THR Cair, Nggak?

“Telah disepakati untuk melaksanakan penyesuaian pembayaran THR dengan mekanisme penurunan dan penundaan pemberian THR yang bervariasi dengan penurunan terbesar di tingkat manajemen senior ke atas,” kata Direktur Fast Food Indonesia Dalimin Juwono dalam dokumen keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Jumat (24/04).

Ada pula Gabungan Pengusaha Makanan Minuman (Gapmmi) yang mengaku kesulitan membayar THR para pekerja. Alasan mereka, omzet bisnis makanan dan minuman (mamin) turun drastis sebagai dampak pandemi COVID-19.

“Kami berharap ada subsidi agar perusahaan tidak tutup. Kalau tutup akan sangat sulit untuk membuka lagi. Kemudian PPh pasal 25 dan PPh pasal 22 untuk karyawan memberikan skema untuk THR karena banyak perusahaan tidak sanggup membayar THR,” kata Ketua Umum Gapmmi Adhi Lukman dalam rapat dengar pendapat virtual Komisi VI DPR RI, Senin (27/04).

Menurut Adhi, berdasarkan hasil survey Gapmmi terhadap anggotanya, setidaknya 50 persen pengusaha menyatakan ragu dan tidak yakin bisa memenuhi kewajiban gaji, apalagi THR karyawannya. Selain itu, nyaris 50 persen perusahaan hanya punya cadangan kas untuk bertahan 2-3 atau 4-5 bulan.

Perihal THR Keagamaan tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 6 Tahun 2016 tentang “Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja atau Buruh di Perusahaan.” Permenaker ini merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2015 tentang “Pengupahan.”

Sesuai Pasal 5 ayat 4 Permenaker tersebut, THR keagamaan wajib dibayarkan oleh pengusaha paling lambat tujuh hari atau sepekan sebelum Hari Raya Keagamaan. Dalam aturan itu disebutkan perusahaan yang terlambat membayar THR Keagamaan dikenai denda sebesar lima persen. Denda ini dikelola dan dipergunakan untuk kesejahteraan pekerja. Pemberian denda tidak serta-merta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayarkan THR Keagamaan kepada para pekerja.

Para pengusaha menjerit dan pemerintah mengupayakan sebuah jalan tengah. Lewat Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang “THR Tahun 2020,” Menaker menyatakan perusahaan dapat membayarkan THR secara bertahap atau menundanya sampai waktu tertentu yang disepakati dengan pekerja.

Hasil kesepakatan itu harus dilaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. Menaker juga menyatakan kesepakatan itu tak menghapuskan kewajiban pengusaha untuk membayar THR sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Pembayaran juga harus dilakukan pada tahun 2020.

Melihat polemik yang tak kunjung selesai ini, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menjelaskan setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan.

“Pertama, harus ditekankan terlebih dahulu bahwa SE tersebut tidak meniadakan kewajiban pembayaran THR oleh pelaku usaha kepada karyawannya, tetapi hanya menunda atau mengubah mekanisme pembayarannya,” kata Shinta saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (14/05/20).

Kedua, SE tersebut secara tegas memberikan rambu-rambu bagaimana penundaan atau pencicilan pembayaran THR bisa dilakukan secara sah oleh perusahaan.

“Dua ketentuan utamanya adalah transparansi manajemen perusahaan tentang kondisi keuangan perusahaan dan dialog bipartit antara karyawan dan manajemen perusahaan untuk menentukan kapan dan bagaimana THR akan dibayarkan,” ucapnya.

Shinta menegaskan bahwa para pekerja punya suara terkait hal ini. Mereka berhak mengajukan pertimbangan, bahkan alternatif mekanisme pembayaran THR kepada perusahaan, sehingga penangguhan THR bisa menjadi jalan keluar bagi kedua pihak.

“Kami pun merasa mekanisme dan rambu ini dibuat dengan prudent dan cukup fair untuk menjembatani kepentingan pelaku usaha maupun pekerja. Kalau pekerja merasa kondisi keuangan perusahaan tersebut sebetulnya bisa membayar THR tanpa membuat perusahaan tutup atau bangkrut ya, silakan diargumentasikan saja dalam dialog bipartit,” ujarnya.

Menurut Shinta, perusahaan-perusahaan yang menunda pembayaran THR dengan mekanisme suka-suka, apalagi menghapuskan kewajiban itu secara sepihak, dapat diadukan ke Kemenaker.

Ketiga, SE juga menjelaskan denda terhadap perusahaan yang tidak membayarkan THR.

“Setiap perusahaan itu pasti ada financial audit. Setiap perusahaan yang mempunyai pegawai banyak pasti ada audit eksternal. Jadi, harus ditunjukkan saja hasilnya. Lain halnya dengan perusahaan golongan menengah ke bawah yang rata-rata hampir tidak memiliki audit laporan keuangan,” kata Shinta. “Bagi yang tidak memiliki audit, harus bicara [tentang kondisi keuangan] dengan pekerjanya,” kata Shinta.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyebut ada beberapa usaha swasta yang harus menyicil pembayaran THR. “Kayak pariwisata yang mana udah tertekan dari awal–enggak punya pemasukan–transportasi, UMKM, dan juga manufaktur,” katanya.

Hariyadi menilai SE Menaker dapat meringankan beban pengusaha. “Kami menyambut baik hal ini. Kami juga sudah sampaikan kepada pemerintah bahwa kondisi sektor riil kita ini sangat berat. Jadi, jika ada beberapa stimulus dari pemerintah, akan sangat membantu,” ujarnya.

Share: Urusan THR Makin Panas, Perusahaan Harus Perhatikan Hal-hal Ini