Luar Jawa

Upacara Penti Manggarai, Ungkapan Syukur Panen ke Sang Pencipta Hingga Persembahan Leluhur

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Wisata Komodo

Banyak cara yang dilakukan manusia untuk menyampaikan rasa syukur atas rezeki pemberian Tuhan, mulai dari memanjatkan doa saat beribadah, hingga menjalankan tradisi agama, adat hingga budaya setempat. Seperti masyarakat adat Manggarai yang memiliki tradisi upacara penti untuk mensyukuri pemberian Yang Maha Esa atas hasil panen yang diterima oleh mereka. 

Tak hanya sekadar untuk mensyukuri rezeki panen kepada Tuhan, upacara ini juga memiliki makna serta tujuan lainnya yang sarat akan filosofi kehidupan bagi masyarakat adat Manggarai. Masyarakat adat yang biasa menjalankan upacara ini, salah satunya yang ada di  Kampung  Rato  Desa  Kole  Kecamatan  Satarmese Utara,  Kabupaten  Manggarai, Provinsi  Nusa  Tenggara Timur.

Upacara Persembahan untuk Leluhur

Pada dasarnya, penti merupakan  pesta  adat  Manggarai  yang  bernuansa syukuran  serta persempahan untuk leluhur atau ruh supernatural, hingga wujud  tertinggi (Mori  Kraeng). Upacara adat ini dilaksanakan  oleh  sekelompok masyarakat  adat, dalam  situasi  formal  dan  suasana sukacita atas hasil panen hasil pertanian atau perkebunan mereka (Nggoro, 2016).

Melalui jurnal ilmiah “Upacara Penti Dalam Masyarakat Kampung Rato di Kabupaten Manggarai” yang ditulis Wayan Resmini, dalam bahasa Manggarai penti diartikan  sebagai pesta tahun baru masyarakat adat setempat.  

Buku “Sejarah Kota Ruteng” (2010) karya P. Janggur menjelaskan, asal muasal penyebutannya penti, diangkat  dari  bahasa Manggarai  yang  berbunyi,  “go’et:penti  weki-peso  beso reca rangga-wali ntaung; naa cekeng manga curu cekeng weru”. Artinya ialah syukur  dari  penduduk  desa  kepada  Tuhan  dan para  leluhur  karena  telah  mengganti  tahun,  telah melewati  musim  kerja  yang  lama  dan  menyonsong musim  kerja  yang  baru.

Laiknya ritual  adat  masyarakat adat Manggarai  yang  lain,  upacara  penti memiliki norma yang  mengatur  pelaksanaannya, sebagai cara berhubungan hubungan  antara antara  Sang  Pencipta  yang disebut mereka dengan sebutan Jari agu Dedek  dengan yang diciptakan-Nya. 

Tak hanya sebatas ritual interaksi dengan Sang Maha Pencipta, upacara ini juga simbol atas rasa syukur sesama umat manusia, dengan lingkungan tempat tinggal mereka.

Musyawarah Sebelum Gelar Upacara Penti

Dalam jurnal yang ditulis Wayan Resmini (2020), sebelum melakukan upacara penti, terdapat sejumlah hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat adat setempat sebagai persiapannya. Sebagai upacara yang juga memberikan  berkah bagi masyarakat setempat, maka mereka melakukan musyawarah adat yang biasanya dipimpin oleh tua tembong, yakni orang yang  menguasai  penggunaan  gong dan gendang di dalam rumah  adat.

Selanjutnya, musyawarah ini diikuti  oleh tokoh masyarakat setempat  yang  memiliki  peran penting dalam  upacara panen. Di sana, mereka dikenal dengan sebutan  tua teno. Seluruh warga  kampung  atau  suku juga dilibatkan di dalam musyawarah ini.

“Dalam  musawarah tersebut,  biasanya hal-hal  yang  perlu  disepakati  antara lain menentukan  pemimpin upacara,  hewan  yang akan dikurbankan, dan persembahan lainnya,” jelas Wayan dalam jurnalnya.

Selanjutnya, disiapkan hewan kurban sebagai sesajian  untuk  acara syukuran. Biasanya, hewan yang dikurbankan antara lain kerbau atau kambing bagi umat Muslim atau yang beragama lain, bisa menggunakan hewan ternak babi.

“Sajian  utama sebenarnya  adalah  kerbau. Sebab  penti yang  bernuansa syukuran dan suka cita  itu, tentunya dilakukan oleh mereka yang  mengalami  perubahan  hidup  yang sudah mapan dan  sukses, (serta peralihan) dari pengalaman yang buruk menuju kepengalaman yang baik, dari pengalaman yang gagal ke suatu pengalaman  yang  penuh keberhasilan, dan sebagainya. (Resmini, 2020).”

Perkuat Hubungan Kekeluargaan

Ada tiga upacara penti yang biasa digelar oleh masyarakat adat Manggarai. “Studi  Komunikasi  Budaya  tentang Upacara Ritual  Congko Lokap  dan  Penti  sebagai  Media Komunikasi  dalam Pengembangan  Pariwisata Daerah Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur” yang ditulis F. Ngare menyebutkan:

Penti Beo yang memiliki arti  syukuran  warga  kampung. Komando umum waktu pelaksanaan upacara penti  semacam ini, biasanya dilakukan kepala kampung yang disebuttua golobersama kepala kelurga ranting yang disebut  tua-tua  panga. Musyawarah bersama masyarakat dalam satu kampung menjadi hal yang paling penting dalam pelaksanaannya.

  • Penti Kilo merupakan syukuran  keluarga  dalam  satu turunan  leluhur dalam  satu  sistem  keluarga  patrilineal yang dihadiri  oleh  keluarga  kerabat:  anak  wina, Syukuran keluarga ini bisa dilakukan dalam tingkat keluarga besar  dalam  satu turunan, maupun keluarga tingkat ranting adat. 
  • Penti Ongko Gejur merupakan upacara syukuran untuk memungut hasil panen yang diperoleh masyarakat adat.

Masih dalam jurnal yang sama, secara tujuan dan filosofinya, upacara penti secara garis besar sebagai simbol menyadarkan masyarakat adat  Manggarai akan makna bersyukur. Kemudian melalui upacara  penti, hubungan masyarakat adat akan semakin terbina lewat hubungan kekeluargaan.

Melalui  acara  syukuran  juga  dapat  menyadarkan akan peran  kesatuan  tata  ruang  budaya  Manggarai, yaitu beo atau gololonto  (kampung),  natas  labar (halaman  kampung  tempat  bermain-main),  rumah tinggal (mbaru  kaeng), tempat  sesajian (compang  tesomba),  wae  teku  (air  minum),  acara  bersih  kubur (weang boa), uma duat/lingko (kebun).”

Lewat tradisi upacara adat ini, hal yang diitekankan masyarakat adat Manggarai ialah mensyukuri nikmat Tuhan dalam  suasana batin  yang  penuh  suka cita dan damai, serta dengan harapan senantiasa dilimpahi kebahagiaan dalam  semangat guyub nan penuh kekakraban.

Share: Upacara Penti Manggarai, Ungkapan Syukur Panen ke Sang Pencipta Hingga Persembahan Leluhur