General

Untung Rugi Jika UU Pemilu Tak Direvisi

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Polemik mengenai pembahasan revisi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), masih terus berlangsung. Jika sebelumnya fraksi di DPR terbelah terkait hal ini, kini muncul usulan agar pembahasan revisi UU Pemilu tetap dilanjutkan, tapi tanpa merevisi UU Pilkada.

Salah satu poin krusial yang menjadi perdebatan dalam revisi UU Pemilu adalah soal waktu pelaksanaan pilkada. Kalau UU Pemilu tak direvisi, maka pilkada serentak di ratusan daerah, termasuk DKI Jakarta, akan digelar berbarengan dengan Pilpres 2024.

Jika UU Pemilu jadi direvisi, maka ada rencana menormalisasi jadwal pilkada serentak ke 2022 dan 2023, sesuai dengan habisnya masa jabatan kepala daerah. Awalnya, hanya PDI Perjuangan yang menyatakan menolak normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023, namun belakangan, mayoritas fraksi partai pendukung pemerintah menyusul sikap PDIP.

Pemerintah juga tegas menolak revisi UU Pemilu. Padahal, revisi UU Pemilu ini sebelumnya disetujui oleh fraksi-fraksi di DPR RI dan bahkan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

Pihak Istana Negara telah menepis tudingan kalau penolakan pemerintah terhadap revisi UU Pemilu karena dua hal: pertama, ingin memuluskan karier politik putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka di Pilgub DKI Jakarta 2024 dan kedua, menjegal upaya pencalonan Anies Baswedan di Pilpres 2024.

Opsi Revisi UU Pemilu Tanpa Revisi UU Pilkada

Belakangan, muncul masukan agar revisi UU Pemilu tetap dilakukan tanpa merevisi UU Pilkada. Wacana itu sempat disampaikan Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, beberapa waktu lalu.

“Untuk Undang-Undang Pilkada, kita tetep ya kita lakukan 2024. Tapi kita membuka peluang untuk revisi Undang-Undang Pemilu UU Nomor 7 Tahun 2017,” kata Djarot dalam rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) di YouTube, Senin (22/2/21).

Menurut Djarot, PDIP ingin menyempurnakan beberapa hal sehingga membuka kemungkinan revisi UU Pemilu. Penyempurnaan yang dimaksud Djarot berkaitan dengan evaluasi Pemilu 2019 lalu yang dinilai banyak kekurangan.

“Mari kita akan sempurnakan ya, supaya lebih berkualitas dan supaya pemilu kita itu bisa lebih mudah, tidak rumit, bisa bener-bener mampu karena kemarin 2019 itu banyak sekali ya terjadi kelelahan bagi penyelenggara pemilu, terutama saat penghitungan. Jadi itu perlu kita evaluasi kembali,” ujarnya.

Djarot menyebut apa yang ia sampaikan itu adalah sikap PDIP saat ini dan telah secara konsisten disampaikan di Komisi II. Jadi, pihaknya tetap ingin Pilkada digelar di 2024, sementara untuk revisi UU No. 7/2017 tetap dilakukan.

Selain Djarot, Komisi II DPR RI juga membuka opsi untuk dilakukannya revisi UU Pemilu, serta tanpa mengutak-atik UU Pilkada. Komisi II DPR RI pada 10 Februari 2021 memutuskan menunda pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada, setelah mendengar informasi bahwa pemerintah tidak bersedia melakukan pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada karena sedang fokus menangani pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

“Keputusan ini diambil dalam rapat pimpinan dengan mengundang seluruh kapoksi,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Luqman Hakim kepada wartawan, Rabu (24/2).

Opsi revisi UU Pemilu tanpa merevisi UU Pilkada bisa dilakukan jika ada perubahan sikap pemerintah. Sikap terakhir pemerintah adalah tak melanjutkan pembahasan revisi UU Pemilu.

“Apa pun opsi pembahasan revisi UU Pemilu, apakah hanya UU Pemilu atau dibarengkan UU Pilkada atau sekalian UU Partai Politik bisa diputuskan apabila terjadi perubahan sikap pemerintah (dari tidak bersedia membahas menjadi bersedia),” ucap politikus PKB tersebut.

“Apabila pemerintah tetap pada sikapnya yang tidak bersedia membahas revisi UU Pemilu, tidak ada opsi yang bisa dipertimbangkan. Karena pembentukan suatu UU harus dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan DPR. Tidak bisa hanya salah satu pihak.”

Bakal Banyak Mudharatnya Jika UU Pemilu Tak Direvisi

Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai UU Pemilu akan menimbulkan lebih banyak mudharat alias kerugian jika tidak direvisi. Untungnya, lanjut Adi, di 2024 itu mungkin urusan politik akan selesai, di mana Pilkada, Pilpres dan Pileg digelar bersamaan. Artinya, tidak setiap tahun negara disibukkan dengan urusan pilih-memilih pemimpin.

“Itu keuntungan satu-satunya, selebihnya banyak mudharatnya, banyak ruginya. Pertama, kalau Pilkada dan Pemilu dibarengin, khawatir secara teknis bermasalah, baik dari segi penyelenggara bebannya makin banyak, dari sektor keamanan juga semakin was-was, karena kan ini simultan jatuh. Dari segi pengawasan juga akan keteteran dan tentu saja akan terjadi tumpang tindih kepentingan politik,” kata Adi saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (25/2).

Adi menilai, Pileg dan Pilpres yang digelar bersamaan saja sudah memicu banyak sengketa, apalagi ditambah Pilkada. Sehingga, jangan harap, urusan langsung selesai setelah orang-orang pulang mencoblos di Pileg dan Pilpres. Menurutnya, pasti ada saja sengketa yang muncul selama berbulan-bulan pasca pencoblosan, entah itu berasal dari Pileg ataupun Pilpres.

“Jarak antara Pemilu dengan Pilkada kan nggak lama. Itu yang saya sebut akan terjadi tumpang tindih, unsur kepentingan politik antar partai, antar kontestan, pada saat yang bersamaan tentu pihak penyelenggara ini akan semakin terbebani dengan kerja kerja teknis, itu nggak gampang,” ujarnya.

“Itulah kemudian muncul kengerian seperti yang terjadi di Pilpres 2019 lalu. Banyak petugas-petugas lapangan meninggal dan semoga itu tidak terjadi lagi.”

Mudharat kedua, menurut Adi, adalah kemungkinan turunnya kualitas demokrasi. Ia menerka, masyarakat berpotensi merasa jenuh, karena dalam waktu berdekatan orang-orang akan terus membicarakan politik, yang dalam banyak hal tidak ada untungnya bagi mereka.

“Ya kan, siapapun yang jadi presiden, kepala daerah, anggota dewan, kondisi ekonomi begitu-begitu saja. Orang jenuh jadinya terhadap politik. Khawatirnya gitu, mereka bukan hanya tingkat partisipasinya yang rendah, mereka khawatir datang ke TPS itu ya karena dimobilisasi uang, logistik, sembako, dan lain-lain. Sehingga substansi demokrasi itu dalam posisi terancam.”

Ancaman Krisis Legitimasi

Sementara, mudharat ketiga, kalau Pilkada dipaksakan digelar pada 2024, itu artinya akan ada sekitar 271 “wilayah kosong” pada rentang 2022-2023, di mana akan banyak kepala daerah selesai masa jabatannya, lalu sesuai dengan undang-undang akan ditunjuk penjabat (Pj).

Adapun, ketentuan 271 daerah akan dijabat Pj itu diatur dalam UU Pilkada Pasal 201 ayat 9. Berikut bunyinya:

(9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

Rinciannya, sebanyak 271 daerah itu terdiri dari 101 daerah hasil Pilkada 2017 yang habis pada 2022, salah satunya DKI Jakarta. Lalu, 171 daerah hasil Pilkada 2018 yang habis 2023, di antaranya yakni Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Nantinya, 271 daerah itu akan dijabat oleh Pj sampai ada kepala daerah definitif hasil Pilkada Serentak 2024.

“Pertanyaannya, apa hak dan legitimasi dari pejabat sementara untuk memimpin wilayah di tengah rezim demokrasi langsung? Apalagi penjabat sementara ini kan tidak punya kewenangan untuk memutus keputusan-keputusan politik strategis, jadi terlampau lama juga jadi Pj kalau sampai dua tahun gitu.”

“Nantinya, legitimasi mereka sebagai Pj pemimpin wilayah dalam demokrasi langsung begini, akan bermasalah. Itu yang disebut bahwa akan ada amputasi demokrasi secara langsung yang akan berlangsung, yang akan terjadi dari 2022 sampai 2024.”

Selain itu, Adi menilai ada potensi muncul pihak-pihak yang diuntungkan, ketika Pj untuk 271 wilayah tersebut ditunjuk. Siapa pihak yang diuntungkan? Adalah mereka yang punya keistimewaan bisa dan menunjuk para Pj-Pj tersebut, yang dikhawatirkan oleh publik, justru diarahkan untuk mendukung salah satu capres dan partai di 2024.

“Tugasnya iya (kayak kepala daerah), tapi kan kewenangannya terbatas. Namanya juga Pj, cuma kepanjangan tangan pemerintah sementara, kan. Nggak bisa memutus anggaran, terutama keputusan keputusan politik strategis lainnya. Kan di situ yang diributkan oleh kelompok-kelompok pro demokrasi soal legitimasi kepala daerah Pj ini. Itu secara demokrasi langsung, nggak legitimate karena tidak ada kejadian yang luar biasa untuk menghilangkan Pilkada 2022 dan 2023.”

Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai keputusan pemerintah untuk tak merevisi UU Pemilu bakal melemahkan mutu demokrasi Indonesia, menurunkan performa partai politik dan membatasi kuantitas dan kualitas keterlibatan partisipatoris publik.

“Meski keserentakan pemilu tidak berubah, pemerintah tetap harus melakukan perbaikan peraturan UU Pemilu. Perubahan ini diperlukan untuk mempermudah dan menjamin kemurnian suara pemilih,” kata Titi.

Share: Untung Rugi Jika UU Pemilu Tak Direvisi