Isu Terkini

Unjuk Rasa Buruh Aice: Bekerja untuk Hidup, Bukan Cari Mati

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

“Saat usia kandungan 8 bulan, saya sudah mulai kontraksi. Bayi saya dikatakan meninggal. Diinduksi dua hari nggak keluar, akhirnya operasi sesar. Setelah dievaluasi ternyata pengapuran, banyak pikiran, dan istirahat yang nggak tentu karena saya juga begadang malam.”

Arlini Aprilia telah bekerja di PT Alpen Industry sejak 2018. Hingga usia kandungannya mencapai 8 bulan, Arlini tetap bekerja mengikuti shift normal perusahaan — pagi, siang, dan malam — yang setiap seminggu sekali diputar. Saat meminta untuk tidak dipekerjakan di shift malam, pihak perusahaan menolak. “Alasannya, ‘buruh hamil yang ikut shift pagi itu banyak. Jadi mesti ngasih pekerjaan apa lagi?’” tutur Arlini, mengulang perkataan pihak perusahaan, kepada Asumsi.co (27/2).

Sepanjang tahun 2019, terdapat 19 pekerja hamil yang mengalami keguguran dan kematian bayi. Salah satu pekerja mengalami keguguran dua kali. “Kalau cuti melahirkan, kita disuruh tanda tangan perjanjian yang isinya kalau terjadi apa-apa, kita nggak boleh menuntut perusahaan,” kata Arlini.

Keguguran dan kematian bayi jadi salah satu isu utama yang dialami oleh buruh PT Alpen Industry. Kuasa hukum Serikat Buruh Bumi Manusia Indonesia PT Alpen Industry (SGBBI PT AFI), Sarinah, mengatakan bahwa buruh dipersulit untuk mendapatkan surat keterangan dokter. “Persoalannya banyak sebenarnya. Ada persoalan sulitnya mendapatkan surat keterangan dokter. Kalau mengambil surat dari dokter di luar, itu nggak diterima. Perusahaan berpatokan pada dokternya sendiri,” kata Sarinah kepada Asumsi.co (27/2).

Selain mempekerjakan buruh di malam hari, buruh perempuan juga dikatakan dipersulit untuk mengajukan cuti haid. “Mengambil cuti haid juga susah karena harus ke dokter perusahaan itu. Kalau ada yang ingin cuti haid, cuma dikasih obat penghilang rasa sakit, nggak boleh cuti,” kata Sarinah. “Ada satu kasus seorang perempuan dipersulit untuk mengambil cuti haid. Cuma dikasih obat. Akhirnya, darahnya keluar banyak. Sekarang dia didiagnosis penyakit endometriosis.”

Fajar, anggota SGBBI, mengatakan banyak pekerja hamil yang keguguran karena mesti mengangkat beban berat. “Harus mengangkat beban roll bungkus plastik yang berat minimalnya 10 kg. Satu hari paling tidak 10 roll. Dan yang banyak terjadi keguguran juga di bagian itu, packing. Karena mengangkat beban itu,” katanya kepada Asumsi.co (28/2).

“Mereka minta izin buat non-shift saja tidak dikasih. Katanya harus dari dokter spesialis. Sekarang bayangkan, keuangan buruh sekarang berapa sih? BPJS kan paling kalau ngga di bidan, di klinik. Mana mungkin buruh sampai ke spesialis.”

PT AFI mengaku masih mempekerjakan pekerja hamil di shift malam. Namun, menurut Sylvana Zhong selaku Brand Manager PT AFI, kasus-kasus keguguran bukan disebabkan oleh shift kerja malam. “Kita juga sudah ke dokter. Hasil dari dokter itu bahwa keguguran ini bukan karena mereka masuk shift malam. Bukan karena kondisi kerja,” kata Sylvana kepada Asumsi.co (28/2).

PT AFI bekerja sama dengan dokter dari Rumah Sakit OMNI dalam memeriksa kesehatan pekerja-pekerjanya, termasuk ketika pekerja mengalami keguguran. Dokter yang diutus oleh PT AFI menyatakan, keguguran yang terjadi disebabkan oleh perilaku pekerja sendiri. Hal ini disampaikan oleh Simon Audry Halomoan Siagian selaku Legal Corporat PT AFI. “Kadang-kadang keguguran itu disebabkan oleh mereka tidak tahu kalau sedang hamil. Bahkan, salah satu alasannya adalah ia berhubungan intim di trimester pertama. Itu bukan kami yang menyatakan, tapi pengakuan si pekerja dan dokter yang menganalisis,” tutur Simon.

Dokter utusan PT AFI juga pernah menolak untuk memberikat surat keterangan sakit kepada salah satu pekerja. “Salah satu pekerja pergi ke dokter perusahaan, dia minta istirahat sakit. Tapi dibilangnya masih bisa kerja. Karena dia merasakan sakit, akhirnya dia ke klinik lain. Di klinik lain, langsung dirujuk ke rumah sakit, besoknya langsung operasi,” kata Fajar.

Simon dan Sylvana membantah adanya 20 kasus keguguran sejak tahun 2019, seperti tercatat oleh SGBBI. Jumlah keguguran yang terhitung oleh PT AFI adalah sebanyak 14 kasus. Mereka juga membantah keguguran tersebut disebabkan oleh beban kerja yang berat. “Kepada pekerja yang hamil, kita menempatkan mereka dalam pekerjaan yang sifatnya itu tidak boleh berdiri, tidak boleh ada mesin bergetar, dan tidak boleh ada angkat beban. Jadi itu pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya manual, misalnya melipat kardus,” kata Simon.

Pada Januari 2020, SGBBI telah melakukan pengaduan kepada Komnas Perempuan terkait pelanggaran cuti haid dan mempekerjakan pekerja hamil di shift malam. Komnas Perempuan pun mengeluarkan surat rekomendasi yang ditujukan kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat dan Kepala UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II Karawang. Surat ini juga ditembuskan kepada pimpinan PT AFI, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kementerian Kesehatan RI.

Dalam surat tersebut, Komnas Perempuan merekomendasikan agar PT AFI menghentikan segala bentuk pelanggaran hak buruh perempuan dan memperbaiki sistem manajemen K3 buruh di perusahaan. Komnas Perempuan juga meminta agar Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi melakukan pengawasan ketenagakerjaan di lingkungan kerja terkait dengan pelanggaran sejumlah hak buruh.

Tiasri selaku Komisioner Komnas Perempuan mengatakan bahwa hak-hak buruh perempuan telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. “Telah diatur tentang larangan jam kerja malam bagi buruh hamil. Undang-undang tersebut juga mengatur bagaimana pekerja perempuan yang sedang haid di hari pertama dan kedua berhak untuk mengambil cutinya,” kata Tiasri kepada Asumsi.co (27/2).

Pasal 76 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatakan pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai 07.00. Pasal 81 ayat (1) menyebut, pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

Menurut Tiasri, untuk mengambil cuti haid, pekerja seharusnya tidak perlu melampirkan surat keterangan sakit dari dokter. “Pada dasarnya haid bukan penyakit, jadi tidak perlu memberikan surat keterangan sakit. Tidak dibenarkan memaksakan aturan sendiri. Ini kan bagian dari bagaimana sebuah perusahaan mempersulit pengambilan hak cuti bagi perempuan,” tutur Tiasri.

Aksi Mogok dan Unjuk Rasa

Atas dasar kondisi kerja yang tidak aman, buruh Aice mengajukan kenaikan upah kepada pihak PT AFI. Menurut Sarinah, buruh punya alasan yang kuat untuk meminta kenaikan upah. “Nggak tinggi sebenarnya upah yang diminta buruh itu. Itu juga atas dasar mau mengkompensasi segala persoalan K3 yang terjadi,” tutur Sarinah.

Selain soal cuti haid yang sulit dan buruh hamil yang bekerja di malam hari, ada pula kasus K3 seperti kebocoran gas amonia hingga buruh yang mengalami kecelakaan kerja karena alat. “Terjadi kebocoran amonia. Tapi atasan tetap memaksa bekerja. Baru mau agak bersih, masih ada bau amonia, oleh atasan dibilang, ‘sudah bersih kok. Kerja. Pakai masker.’ Ada juga yang sampai pingsan,” kata Fajar.

Sepanjang Oktober-November 2019, SGBBI melakukan perundingan bipartit dengan pihak PT AFI untuk meminta kenaikan upah. Perundingan telah dilakukan sebanyak lima kali, tetapi belum ada hasil kesepakatan atau perjanjian bersama. “Setiap berunding nggak ada penyelesaian. Beberapa kali serikat pekerja itu menurunkan tingkat tuntutannya. Tapi perusahaan nggak mau,” tutur Sarinah.

Mewakili pihak PT AFI, Simon mengungkapkan bahwa nominal kenaikan upah yang diajukan oleh buruh selama perundingan “mustahil”, “terlalu mengada-mengada”, dan “memberatkan”. “Mereka menginginkan upah di tahun 2019 itu dinaikkan hingga di angka 11 juta rupiah. Tentu saja upah sebesar ini sangat memberatkan dan mustahil untuk kami penuhi, mengingat jauhnya range kewajiban dari kewajiban kami sesuai upah minimum kabupaten saat itu. Bagi kami ini suatu permohonan yang terlalu mengada-ada.”

Di perundingan kelima, Simon mengatakan pihak SGBBI menurunkan ajuan nominal upah menjadi 8 juta rupiah. “Kami juga merasa kewajiban ini jauh dari yang seharusnya. Angka ini masih terlalu jauh,” katanya.

Sarinah mengiyakan bahwa pihak SGBBI sempat mengajukan angka 11 juta. Jumlah ini adalah 15% keuntungan sales pada 2018 yang mencapai 105 miliar rupiah. “Memang dalam presentasi awal, serikat mengatakan 15% dari sales bisa membayar upah pekerja 11 juta per orang. Tapi nilai ajuan serikat pekerja selalu turun dari waktu ke waktu,” tutur Sarinah.

Dalam surat perundingan terakhir yang disampaikan kepada pihak perusahaan pada 19 Februari 2020, upah yang diajukan oleh serikat buruh tidak mengacu pada angka. Upah pokok baru itu didasarkan pada rumus, yaitu jumlah dari upah pokok lama, selisih UMK baru dengan upah pokok lama, dan performa berdasarkan golongan, jabatan, pendidikan, dan kompetensi. “Itu kompromi terakhir yang kami ajukan ke perusahaan. Nggak ada soal upah 8 juta, apalagi 11 juta,” kata Sarinah.

Namun, hal ini juga ditolak oleh perusahaan. SGBBI pun memutuskan untuk melakukan aksi mogok kerja pada 20-23 Desember 2019 — dengan telah menginformasikannya terlebih dahulu kepada pihak PT AFI sejak 11 Desember. Namun, PT AFI menganggap mogok kerja ini tidak sah. “Mogok kerja itu kami kualifikasi sebagai mogok kerja tidak sah,” kata Simon. “Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, perundingan masih berlangsung. Tidak ada dalam risalah rapat kami, kami menyatakan perundingaan ini buntu. Nggak ada,” tutur Simon.

PT AFI juga mempermasalahkan mogok kerja yang dilaksanakan di dalam komplek perusahaan, sebab “tidak diketahui siapa saja yang ikut mogok kerja. Padahal PT AFI sudah meminta nama-nama anggota SGBBI, tetapi permohonan tersebut tidak ditanggapi,” tulis PT AFI dalam rilis kronologinya.

Pekerja yang ikut mogok pun dianggap bolos kerja, gajinya dipotong, dan ada pula yang mendapatkan sanksi skorsing hingga ancaman PHK. “Ketika masuk kerja kembali, gaji selama 3 hari nggak dibayar. Selain itu ada sanksi-sanksi yang diterima oleh peserta mogok kerja,” kata Sarinah.

Menurut Sarinah, alasan perusahaan menganggap mogok kerja tidak sah tidak berdasar. Pasal 3 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Internasional mengatakan bahwa ketika dalam jangka waktu 30 hari proses perundingan bipartit tidak mencapai titik temu, perundingan tersebut dianggap gagal. “Perundingan gagal itu bukan dilihat dari perusahaan mau diajak berunding atau tidak, tapi sudah berkali-kali berunding dan sudah lebih dari 30 hari tapi tidak ada kesepakatan,” kata Sarinah.

Pasal 140 ayat (1) ayat (2) UU Ketenagakerjaan juga hanya mewajibkan buruh untuk menginformasikan waktu, tempat, alasan, dan tanda tangan ketua serikat buruh ketika hendak melaksanakan aksi mogok — setidaknya 7 hari sebelum aksi mogok berlangsung. Perusahaan juga dikatakan dapat melarang pekerja untuk melakukan mogok kerja di lokasi perusahaan hanya jika peserta mogok tidak melakukan ayat (1) dan (2).

Setelah aksi mogok kerja justru dianggap tidak sah, buruh dianggap bolos kerja, buruh di-skorsing dan di-PHK, dan juga dikarenakan adanya permasalahan-permasalahan kondisi kerja lain, SGBBI pun memutuskan untuk melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Pusat Aice Jakarta Utara dan di Kementerian Ketenagakerjaan RI. Terdapat 22 tuntutan yang disampaikan oleh buruh, termasuk agar pekerja hamil hanya dipekerjakan di siang hari, tidak mempersulit cuti haid, membatalkan skorsing dan PHK sewenang-wenang, desakan untuk menaikkan upah, dan lain-lain. Ada pula seruan untuk memboikot eskrim Aice.

“Saya tahu, akan banyak yang bilang nanti kalau Aice tutup, pekerja lain akan kena imbasnya dan segala macam. Memang kita butuh pekerjaan. Tapi menurut saya, jangan sampailah kita bekerja tapi martabat kita sebagai pekerja tidak ada,” kata Sarinah.

“Bekerja itu kan, kita mau hidup bukan cari mati.”

Share: Unjuk Rasa Buruh Aice: Bekerja untuk Hidup, Bukan Cari Mati