General

Uang Braile Kalau Prabowo-Sandi Menang, Memang Belum Ada?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Isu uang braile ramai diperbincangkan dalam beberapa hari terakhir. Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Hashim Djojohadikusumo, berjanji bakal mencetak mata uang braile khusus tunanetra. Janji itu akan direalisasikan jika Prabowo-Sandi terpilih pada Pilpres 2019 nanti.

“Itu ide saya untuk bikin mata uang braile. Kami dapat aspirasi dari tunanetra, ada banyak yang bekerja jadi tukang pijat di panti,” kata Hashim saat peluncuran buku ‘Paradoks Indonesia’ versi huruf braile di Media Center BPN Prabowo-Sandi, Jakarta, Jumat, 16 November 2018 lalu.

Menurut Hashim, para tunanetra yang bekerja di panti pijat sering menjadi korban penipuan. Bahkan, lanjut Hashim, ada banyak yang ditipu oleh pelanggannya, misalnya saja uang yang harusnya diberikan adalah Rp50 ribu, tapi malah dikasih Rp500 atau Rp1000. Hal itulah yang mendorong Hashim untuk mewujudkan uang braile jika Prabowo-Sandi terpilih di Pilpres 2019.

Sementara itu, ternyata tak hanya uang braile saja, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar Simanjuntak mengaku bahwa timnya juga berjanji akan membentuk Komisi Nasional Disabilitas. “Khusus memfasilitasi kepentingan saudara-saudara kita yang difabel,” kata Dahnil Anzar dikutip dari akun Twitter-nya, Sabtu, 17 November 2018.

Selain Uang Braille. Pak @prabowo dan Bang @sandiuno akan mendorong Komisi Nasional Disabilitas. Komisi yang secara khusus memfasilitasi kepentingan saudara-saudara kita yang difabel. Hak ekonomi, Hak Sosial Politik saudara-saudara kita tersebut harus dijamin oleh negara.— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) November 17, 2018

Dahnil menjelaskan bahwa dengan kehadiran Komnas Disabilitas tersebut, maka hak ekonomi, hak sosial politik kaum difabel akan lebih terjamin oleh negara. Dua janji yang digaungkan tim Prabowo-Sandi ini tentu banyak dipertanyakan, terutama soal pencetakan uang braile.

BI Sudah Hadirkan Akses Mudah bagi Tunanetra Sejak 2004

Seperti dikutip dari laman resmi Bank Indonesia (BI) bi.go.id, bahwa sebenarnya BI sendiri sudah menghadirkan kemudahan bagi tunanetra untuk mendeteksi nominal uang sejak penerbitan uang kertas pecahan emisi 2004. Dalam hal ini, bentuknya adalah kode tunanetra atau blind code.

BI juga pernah merilis uang kertas dengan desain baru terutama di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 28 September 2011 lalu. Dalam siaran pers Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan masyarakat BI, bank sentral melakukan perubahan terhadap tiga pecahan uang rupiah tahun emisi 2004 lewat penambahan tingkat kekasaran kode itu agar lebih mudah dideteksi tunanetra.

Sebagai rincian yang pertama, pecahan Rp 20 ribu dengan blind code berupa dua buah empat persegi panjang yang semula tidak kasat mata (invisible) menjadi kasat mata dan terasa kasar bila diraba (cetak intaglio), terletak di samping kiri gambar utama pada bagian depan uang. Lalu kedua, pecahan Rp 50 ribu, dengan blind code berupa dua buah segitiga yang awalnya tak tampak menjadi kasat mata dan terasa kasar, terletak di samping kiri gambar utama pada bagian depan uang.

Kemudian yang ketiga, pecahan Rp 100 ribu, dengan blind code berupa dua buah lingkaran yang semula invisible menjadi kasat mata dan terasa kasar, terletak di samping kiri gambar utama pada bagian depan uang.

Tak hanya itu saja, pada 2016 lalu, Gubernur BI saat itu, Agus Martowardojo, memperkenalkan tujuh pecahan uang kertas emisi 2016. Ketika tujuh pecahan uang kertas itu diperkenalkan, blind code tidak dihilangkan. Bahkan, jangkauannya diperluas menjadi bisa ditemukan pada semua pecahan mata uang kertas selain Rp1.000 dan Rp5 ribu.

Penetapan kode tunanetra dilakukan oleh BI melalui komunikasi dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Tujuannya untuk mengembangkan kode-kode khusus yang diharapkan akan semakin memudahkan penyandang tunanetra mengenali nominal dan keaslian uang rupiah.

Posisi kode itu sendiri ada di tiap sisi uang dan kasar jika diraba. Lalu bentuknya adalah pasangan garis pendek dengan posisi agak miring dan berdekatan. Kode-kode itu berupa pertama, pecahan Rp 100 ribu, dengan sepasang garis.

Lalu kedua, pecahan Rp 50 ribu, terdapat dua pasang garis. Ketiga, uang pecahan Rp20 ribu dengan tiga pasang garis arsir, keempat, pecahan Rp10 ribu dengan empat pasang garis yang berada di bagian pinggir bawah. Sementara kelima, pecahan Rp5 ribu dengan lima pasang garis dan keenam, pecahan Rp2 ribu dengan enam pasang garis, dan pecahan Rp1.000 dengan tujuh pasang garis.

“Penentuan kode tunanetra pada pecahan uang kertas Rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia melalui konsultasi dengan Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia),” demikian dikutip dari dokumen Cara Mudah Kenali Keaslian Rupiah Tahun Emisi 2016 yang diunduh dari laman BI.

Selain itu, disebutkan pula bahwa kode tunanetra itu merupakan amanat UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Bagaimana dengan Uang di Negara Lain?

Aksesibilitas mata uang khusus tunanetra di negara-negara lain juga sudah ada, sama seperti Indonesia. Misalnya saja Australia dengan mata uang dolarnya. Pada 2016 lalu, Bank Sentral Australia (RBA) mengumumkan desain baru uang kertas pecahan 5 dolar.

Pecahan uang baru yang diterbitkan tersebut memiliki fitur khusus bagi warga tunanetra. Uang pecahan 5 dolar itu memiliki bagian yang menonjol di setiap sudutnya sehingga memungkinkan seorang penyandang tunanetra mengetahui nilai uang tersebut dengan cara diraba.

Selain itu, fitur keamanan juga ditambah untuk menghindari pemalsuan. Uang kertas edisi baru tersebut mulai diedarkan pada 1 September 2016 lalu. Perlu diketahui bahwa desain uang baru itu tetap menampilkan unsur utama desain yang lama seperti warna, ukuran serta gambar tokoh di mata uang. Tujuannya jelas yakni agar uang baru mudah dikenali dan mengurangi kebingungan saat digunakan warga.

Sekadar informasi, uang 5 dolar Australia ini sudah beredar 51 tahun silam dan sudah banyak mengalami perubahan sejak dicetak pada tahun 1967.

Selain dolar Australia, ada juga uang kertas di Kanada yang dicetak memiliki semacam huruf braile. Ada pula uang dolar di Hongkong yang menggunakan angka braile dan garis timbul sebagai aksesibilitasnya bagi kaum tunanetra. Uang dengan aksesibilitas bagi tunanetra juga berlaku di Uni Emirat Arab.

Jadi kesimpulan yang didapat adalah bahwa Indonesia sudah menerapkan uang kertas dengan aksesibilitas yang ramah dan mudah untuk kaum tunanetra, begitu pula dengan sejumah negara lain yang juga memakai fitur ramah tunanetra untuk uang kertas masing-masing.

Jika yang dimaksud Hashim adalah mencetak uang baru, dalam hal ini uang braile khusus tunanetra, hal tersebut pasti butuh waktu dan biaya besar. Apalagi tentu ada perbedaan antara biaya mencetak uang kertas yang sudah ada sekarang dengan uang braile. Banyak hal yang perlu dikaji dan diperhitungkan.

Toh dengan uang yang ada sekarang pun, pemerintah sudah berusaha memberi akses atau fitur agar bisa digunakan oleh kaum tunanetra. Dengan menyisipkan penanda khusus (tanda timbul jika diraba) di bagian angka dan bilangan, tentu saja bisa sangat membantu para tunanetra untuk mengenali uang tersebut.

Namun, kalau yang dimaksud Hashim memodifikasi atau menambahkan fitur aksesibilitas khusus tunanetra terhadap uang kertas, maka hal itu sudah dilakukan pemerintah Indonesia sejauh ini, bahkan seperti yang sudah disebutkan di atas, hal itu sudah berlaku sejak era Presiden SBY.

Share: Uang Braile Kalau Prabowo-Sandi Menang, Memang Belum Ada?