Budaya Pop

TVRI yang Monoton dan Media yang Terus Berkembang

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Televisi Republik Indonesia (TVRI) identik dengan kualitasnya yang monoton. Sebagai stasiun televisi pertama di Indonesia, TVRI kini memiliki jumlah penonton paling sedikit di antara yang lain. Tahun lalu saja, Iskandar Achmad, Direktur Utama TVRI kala itu mengakui bahwa minat masyarakat dalam menonton televisi yang dipimpinnya sangat rendah. Berdasarkan survei AC Nielsen, rating TVRI di sebelas kota berkisar antara 1,2%-1,4%.

“Memang rating TVRI retvrindah berdasarkan AC Nielsen,” ujar Iskandar dilansir dari Akurat.co pada Rabu, 8 Februari 2017.

Angka itu cukup kecil dibandingkan dengan televisi swasta lainnya. Di tahun yang sama PT Surya Cipta Media Tbk (SCMA) yang mengoperasikan stasiun televisi SCTV dan Indosiar mendapatkan pangsa penonton mencapai 30,1 persen dari Oktober ke November 2017.

Persaingan antara TVRI sebagai televisi milik pemerintah dengan televisi swasta di Indonesia bertambah pelik tatkala munculnnya TV kabel yang kini mulai menjamur. TV kabel sendiri memungkinkan orang-orang untuk mendapatkan pilihan tontona yang lebih banyak, dan tak jarang orang lebih memilih saluran televisi luar negeri.

Di tahun 2017 saja, jumlah TV kabel berlangganan diperkirakan mencapai 7,1 juta pengguna. Data yang diambil dari Karadata.co.id pada 8 Agustus 2016 itu membutikan bahwa TVRI kini mempunyai lebih banyak saingan.

Sayangnya, tak banyak perubahan yang dilakukan TVRI, kita bisa melihat dari kualitas gambarnya yang tampak usang. Hal itu tentu punya beberapa faktor, misalnya tak adanya color grading saat proses editing gambar. Atau bisa jadi memang dari pihak internalnya yang tak menginginkan adanya perubahan di dalam perusahaannya.

Sebab, tugas-tugas di TVRI sendiri kebanyakan dipegang oleh golongan orang tua. Apni Jaya Putra, direktur program dan berita TVRI sendiri mengungkapkan bahwa saat ini jumlah pegawai TVRI ada 4.300 orang, dan 95 persennya berusia 45 tahun ke atas. Dalam setahun, rata-rata ada 500 hingga 600 karyawan yang tinggal menghitung hari masa pensiun.

“Susah mencari anak muda di sini,” ujar Apni dikutip dari Tirto.id, 2 April 2018.

Masalah umur pegawai itu mungkin bisa saja tidak akan masalah jika memang orang-orang yang di dalamnya benar-benar mampu memberikan energi di dalam tubuh TVRI. Sayangnya, selain kurang kreatif, TVRI juga cukup sering dihembus isu korupsi.

Sebagai stasiun televisi yang biayai negara, TVRI kerap mendapati permasalahan keuangan, korupsi, polemik manajemen, dan kepentingan politik. Presiden Joko Widodo bahkan pernah memperingatkan agar TVRI tak coba-coba memainkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“TVRI ini bolak-balik disclaimer, bertahun-tahun enggak rampung-rampung. Jangan ada yang coba-coba berani memainkan uang rakyat,” sindir Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, 23 Mei 2017.

Hal ini tentu berdasarkan catatan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis yang mengungkapkan bahwa sudah empat tahun berturut-turut TVRI mendapatkan penilaian disclaimer alias paling buruk dalam jenjang opini BPK.  “Ada potensi kerugian negara Rp400 miliar di situ,” katanya.

Benar bahwa TVRI tidak mendapatkan keuntungan dari sponsor. Namun perusahaannya tetap bisa bernafas berkat suntikan dana dari APBN, alias uang rakyat yang dikumpulkan dari berbagai pajak yang ditarik negara. Sayangnya, uang itu tak dimanfaatkan untuk memperbaiki citra TVRI yang jadul alias jaman dulu.

Padahal sebelumnya ada beberapa konten TVRI yang cukup menarik, seperti Si Unyil dan Lorong Waktu yang cukup menarik perhatian. Sayangnya ide-ide menarik itu tak lagi diproduksi lebih banyak. Terbukti dari program acara TVRI yang menyajikan 60 persen tayangan ulang tanpa, dan tak memproduksi konten baru.

Betul bahwa TVRI punya kewajiban menciptakan tayangan-tayangan yang edukatif, namun bukan berarti dikemas dengan bentuk yang monoton dan membosankan. Butuh gertakan yang hebat nan kreatif demi bisa membantu TVRI bersaing dengan berbagai media yang kini kian menjamur.

Namun tenang, jika TVRI benar-benar serius ingin mengubah tubuhnya, ia masih bisa menjadi pilihan rakyat Indonesia. Selain jangkauannya yang luas, televisi kini juga masih menjadi media utama bagi masyarakat Indonesia jika merujuk pada hasil survei Nielsen Consumer Media View (CMV) yang menunjukkan penerobosan televisi mencapai 96 persen. Di urutan kedua media luar ruang dengan angka 53 persen, internet (44 persen), dan di posisi ketiga radio (37 persen).

Melihat fakta itu, tentu masyarakat Indonesia berharap adanya revolusi yang terjadi di tubuh TVRI.

Share: TVRI yang Monoton dan Media yang Terus Berkembang