Isu Terkini

Tiga Jenis Kekerasan Baru Terhadap Wartawan dan Desakan LBH Pers ke Pemerintah-DPR

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Data kekerasan terhadap wartawan di Indonesia memang berbeda-beda dari berbagai lembaga pers. Ketiga lembaga seperti Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, punya data masing-masing yang bervariasi. Terkait hal itu, Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan lembaganya memiliki data jumlah kekerasan jurnalisme yang lebih tinggi dibanding lembaga lain.

Ade menjelaskan bahwa data yang berbeda tersebut disebabkan karena LBH Pers mengidentifikasi jenis kekerasan baru terhadap wartawan dan jurnalisme. Menurut Ade, LBH Pers lebih rinci merangkum sederet kekerasan yang tak hanya tertuju kepada wartawan saja, tetap elemen-elemen terkait dalam sebuah karya jurnalistik, seperti keberadaan narasumber misalnya.

“LBH Pers melihat ada bentuk pelanggaran yang semakin meluas. Kekerasan terhadap jurnalis jenisnya tidak cuma yang konvensional, tapi bisa dibilang baru, ada beberapa macam,” kata Ade pada acara bertajuk “Mengakhiri Kasus Kekerasan Jurnalis di Indonesia pada Tahun Politik dan Launching Komite Keselamatan Jurnalis” di Hall Dewan Pers, Jakarta, Jumat, 5 April 2019.

Jenis Kekerasan Lain dari Sebuah Karya Jurnalistik

Ade menjelaskan jenis kekerasan pertama adalah kriminalisasi terhadap narasumber. Menurut Ade, pemidanaan terhadap narsumber termasuk kategori kekerasan dalam jurnalisme. Lebih lanjut, Ade menerangkan bahwa narsumber merupakan bagian dari sebuah karya jurnalistik.

Maka dari itu, pertanggungjawaban suatu pemberitaan seharusnya bukan khusus tertuju kepada narsum saja, tetapi lebih luas dari itu, juga ada keterlibatan redaksi dalam penerbitan sebuah berita. “Ketika upaya pemidanaan lolos, lalu narasumber itu dipidana, maka teman-teman jurnalis akan sulit di kemudian hari untuk mencari narasumber. Itu sangat merugikan publik,” ucap Ade.

Sementara jenis kekerasan baru terhadap karya jurnalistik lainnya seperti pelanggaran terhadap privasi jurnalis. Ade menjelaskan bahwa misalnya akun media sosial milik seorang jurnalis paling sering menjadi sasaran pihak-pihak yang merasa dirugikan dan tidak senang atas sebuah pemberitaan.

Kenapa medsos si jurnalis mudah jadi sasaran? Sebab, sebuah berita yang sudah diterbitkan hampir pasti mencantumkan nama penulis secara lengkap, sehingga hal itu lah yang memudahkan pihak lain untuk melakukan penelusuran terhadap akun media sosial si jurnalis.

Lebih lanjut, pihak yang membidik si jurnalis atas alasan tidak senang dan mengklaim sebuah pemberitaan dari si jurnalis merugikan, langsung melancarkan penyerangan. Bahkan, yang paling sering pihak tersebut menyebarkan foto akun mesdos si jurnalis dan menyebarkannya ke berbagai platform yang lebih luas.

Aksi itu tentu berdampak mengerikan bagi si jurnalis yang bisa yang bisa membuat si jurnalis pemilik akun medsos tersebut menjadi target sasaran hinaan atau hujatan. Tak cukup sampai di situ, biasanya juga komentar-komentar yang ada di akun medsos si jurnalis cenderung berisi hinaan dan ancaman kekerasan. “Butuh kesadaran privasi di dunia internet. Jurnalis harus sadar pekerjaannya berpotensi menimbulkan kekerasan,” ujar Ade.

Lalu, jenis kekerasan baru lainnya, lanjut Ade, adalah kriminalisasi terhadap penyebar karya jurnalistik. Dalam kasus ini, banyak orang yang hanya menyebarkan sebuah pemberitaan, lalu dikenakan pidana. “Ini pelanggaran kebebadan pers. Dalam persidangan yang akan diuji adalah karya jurnalistiknya. Jadi kalau pemidanaan lolos, maka karya jurnalistik yang sebenarnya dipidanakan,” ucapnya.

LBH Pers Desak Pemerintah dan DPR Bikin UU Khusus Terkait Sengketa Jurnalistik

Sementara itu, Ade juga menjelaskan soal desakan LBH Pers kepada pemerintah dan DPR RI agar membuat Undang-Undang khusus untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Bahwa selama ini, kata Ade, prosedur penyelesaian sengketa jurnalistik selalu menggunakan nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri.

Padahal, nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri itu dinilai tak cukup untuk menyelesaikan kasus hukum terhadap jurnalis dan media massa. Seharusnya memang, saat ada aduan secara hukum, penegak hukum menyerahkan kasus itu lebih dulu kepada Dewan Pers.

“Kalau MoU tidak diperpanjang, akan banyak kasus yang langsung ditangani oleh Polisi tanpa Dewan Pers. Tetapi tidak cukup MoU, lebih baik ini diperkuat di level perundangan,” kata Ade.

Lebih lanjut, Ade mengatakan bahwa memang perlu ada regulasi yang menjelaskan secara lebih tegas bahwa kasus yang melibatkan jurnalis dan media harus lebih dulu diselesaikan melalui Dewan Pers. Pembuatan aturan itu dinilai, menghilangkan kekhawatiran mengenai dilakukan atau tidak perpanjangan nota kesepahaman.

Apalagi, lanjut Ade, banyak lembaga dan oknum yang menginginkan agar jurnalis dapat dipidana jika melanggar aturan mengenai pers. Ade menegaskan bahwa saat ini LBH Pers sedang mengumpulkan putusan-putusan yang dianggap terbaik dalam kasus sengketa jurnalistik, di mana putusan tersebut diawali penanganannya oleh Dewan Pers. “Hasilnya nanti akan jadi dasar untuk mendesak pemerintah dan DPR membuat regulasi penyelesaian sengketa jurnalistik,” ucapnya.

Share: Tiga Jenis Kekerasan Baru Terhadap Wartawan dan Desakan LBH Pers ke Pemerintah-DPR