General

Pilkada dan Hak Mereka yang Terampas Sistem

Haifa Inayah — Asumsi.co

featured image

Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak 2018 yang digelar hari ini (27 Juni) sejatinya adalah pesta rakyat lima tahunan yang patut untuk disambut dengan antusias oleh warga Indonesia. Atau setidaknya, oleh mereka yang sudah memenuhi syarat untuk mencoblos dan tercatat sebagai pemilih di satu dari 171 daerah yang akan menggelar pesta demokrasinya secara bersamaan.

Ada banyak cara menunjukkan rasa syukur kita atas anugerah demokrasi ini. Yang paling lumrah adalah dengan meriset calon kepala daerah dengan cermat, sehingga pilihannya nanti tidak seperti memilih kucing dalam karung. Namun yang paling berat, khususnya di pemilu kali ini, menurut saya adalah untuk memastikan hak memilih mereka yang tinggal di luar domisili tetap bisa digunakan.

Sayangnya, sistem pemilu kita tidak memungkinkan hal itu terjadi. Ketika seseorang ber-KTP Bogor namun tinggal di DKI Jakarta, satu-satunya cara untuk memastikan hak pilihnya tidak hangus adalah dengan pulang kampung dan mencoblos di TPS daerahnya. Memang sih, ada cara lain yang bisa dilakukan, seperti mengurus surat pindah bernama Formulir A5. Tapi, berapa banyak orang yang mau repot-repot mengurus surat pindah mencoblos?

Nah, kembali lagi ke urusan suara hilang, bayangkan jika seorang asli Medan hari ini tengah berada di Bandung. Sudah dipastikan, suaranya untuk memilih antara Djarot atau Edy akan melayang.

Kekhawatiran akan hilangnya jutaan hak pilih secara sia-sia ini tidak muncul begitu saja. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah, Joko Purnomo memperkirakan bahwa jumlah pemilih asal Jawa Tengah yang akan sulit menggunakan hak pilihnya hari ini karena berada di perantauan mencapai angka 8,7 juta atau 32 persen dari total pemilih sebanyak 27,3 juta orang. Angka ini jika ditambah dengan para perantau lain dari Jawa Barat, Jawa Timur maupun provinsi padat penduduk lainnya, pasti angkanya lebih besar lagi, mengingat tingginya jumlah warga daerah yang mencari nafkah di daerah lain.

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh para perantau ini agar hak memilihnya tidak hangus?

Saya kemudian bercakap-cakap dengan dua orang komisioner KPU asal daerah saya, Jawa Barat, terkait hal ini. Keduanya adalah sang Ketua KPU sendiri, Yayat Hidayat, dan komisioner KPU bagian perencanaan dan data, Ferdhiman Bariguna. Apa jawabannya?

“Pulang. Mencoblos di kampung,” ujar Yayat yang sudah menjabat sebagai ketua KPU Jabar sebanyak dua periode.

“Tidak ada cara lain, kang?”  tanya saya.

Ferdhiman kemudian menambahkan.

“Kalau enggak bisa pulang, cari daerah lain yang dekat dengan daerah domisili untuk pindah TPS. Misalnya seseorang tinggal di Tangerang, cari aja daerah Jabar yang lebih dekat, seperti Bekasi misalnya, lalu urus surat pindah memilih” katanya.

Tentu saja ini bukan alternatif yang preferable, karena, siapa bilang Bekasi-Tangerang itu dekat?

“Selain itu tidak ada cara lain? Surat suara dikirim ke rumah misalnya?”

Keduanya kompak menggeleng.

“Itulah mengapa menurut saya, zaman sekarang sudah tidak pas lagi model pemilihan manual ini. Sekarang zamannya e-Voting,” kata Yayat lagi.

“Karena dengan model manual seperti sekarang, kalau sampai ada orang yang rela pulang kampung untuk memilih, itu alasannya dua. Pertama, dia ada kepentingan, kedua, memang ada kesadaran, dan itu tidak banyak,” Yayat menambahkan.

Artinya, sampai mimpi e-Voting itu terwujud di Indonesia, tanpa adanya “kepentingan” dan “kesadaran”, hak memilih warga yang tinggal di perantauan bisa dipastikan melayang. Padahal, pemilu yang mudah diakses adalah impian demokrasi yang ideal.

Akhirul kalam, sambil menunggu kita bisa memilih kepala daerah lewat e-mail atau bahkan voting Instagam, buat anda yang cukup beruntung berdomisili sama dengan alamat di e-KTP, selamat memilih!

Share: Pilkada dan Hak Mereka yang Terampas Sistem