Olahraga

Tes PCR Tujuh Hari Berturut-turut, Ini Ribetnya Meliput Olimpiade di Tengah Pandemi

Mikael Widjajanto — Asumsi.co

featured image
Unsplash/Mat Napo

Sebagai wartawan olahraga, meliput turnamen olahraga di luar negeri bukan hal baru bagi saya. Setiap penugasan menyimpan kegembiraan, sensasi, pengalaman, dan kejutannya tersendiri. Keluar masuk negara komunis seperti Tiongkok dan Rusia tidak seseram anggapan umum. Bahkan, saya juga berhasil melewati berbagai cerita kriminalitas di Rio de Janeiro. Sampai tiba saatnya saya ditugasi untuk meliput Olimpiade Tokyo 2020. Untuk pertama kalinya, saya merasa cukup gentar. Musuh tak terlihat berupa virus bisa datang dari siapa saja, termasuk kolega jurnalis yang bertugas bersama.

Kerepotan untuk berangkat ke Tokyo dimulai sejak dua bulan sebelum keberangkatan. Pada bulan Mei 2021, saya sudah harus memasukkan rencana keberangkatan dan kepulangan, beserta nomor pesawat yang akan digunakan. Setelah itu, saya juga harus memasukkan formulir berisi rencana segala aktivitas saya di sana yang harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Jepang. Setiap orang yang masuk Jepang harus memasang aplikasi pelaporan kesehatan dan pelacakan kontak di telepon pintarnya.

Tes PCR terus-menerus

Penanganan pandemi di Indonesia juga tidak mempermudah keberangkatan kami ke Jepang. Di awal Juni, Pemerintah Jepang dan Panitia Penyelenggara Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020 (TOCOG) mengeluarkan persyaratan karantina bagi negara-negara yang mengalami lonjakan kasus. Awalnya, Indonesia tidak masuk dalam daftar tersebut. Tapi, hanya berselang beberapa hari Indonesia masuk ke grup 2 dan langsung naik ke grup 1.

Akibatnya, kami para wartawan harus melakukan sejumlah tes, antigen atau PCR, selama tujuh hari berturut-turut sebelum keberangkatan. Ini tidak termasuk dua tes PCR wajib di fasilitas yang sudah ditunjuk oleh Pemerintah Jepang.

Saya pun pasrah menjalani rangkaian tes PCR. Hidung ini rasanya sudah kebal karena dicolok peralatan tes usap setiap hari. Setelah lima tes negatif, saya dibangunkan satu panggilan telepon tepat sehari sebelum rencana keberangkatan. Ternyata, hasil tes di hari keenam saya positif. Sontak, saya langsung bergerak cepat. Saya bahkan tak sempat memikirkan rencana peliputan ke Jepang yang terancam gagal. Yang terpikir hanya, saya harus segera melakukan tes bersama anak dan istri saya untuk memastikan kondisi mereka.

Namun, di hari ketujuh, saya mendapat kabar bahwa hasil tes PCR saya negatif. Namun, ini tidak berarti saya lantas berangkat. Saya diminta menjalani satu tes PCR lagi. Puji Tuhan, di hari kedelapan, tes PCR saya menunjukkan hasil negatif. Saya ditanya, apakah bersedia berangkat? Meski segala jadwal telah berubah, saya nyatakan bahwa saya siap bertugas.

Protokol super ketat

Rombongan wartawan yang saya ikuti sampai di bandara Narita, Tokyo, di hari Rabu (22/7/21). Sejak awal, kami sudah bersiap menjalani proses sangat panjang untuk bisa masuk ke Tokyo. Dua rekan kami yang sudah lebih dulu tiba memberi tips tentang dokumen apa saja yang harus dipersiapkan. Sejam sebelum mendarat, saya memastikan sudah berkumur dengan obat kumur antiseptik sebagai persiapan tes saliva di bandara Narita.

Ada sejumlah aktivitas kami yang belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Jepang. Akibatnya, kami harus menjalani proses yang lebih panjang. Kami digiring masuk ke sebuah ruangan di mana segala dokumen akreditasi dikumpulkan. Petugas pun menelepon pusat akreditasi untuk memeriksa dokumen kami. 30 menit kemudian, kami diminta menjalani tes saliva.

Masing-masing wartawan diberi tabung dan diminta memasukkan air liur ke dalam wadah tersebut. Setelahnya, barulah tiba pemeriksaan paspor. Saat diperiksa, kami harus mengisi kuesioner kesehatan yang disertai kode QR. Setelah itu, yang kami bisa lakukan hanyalah menunggu hasil tes saliva dan validasi akreditasi.

Sekian jam berlalu hingga akhirnya hasil tes kami keluar. Puji Tuhan, hasilnya kembali negatif. Setelah rangkaian tes kesehatan dan akreditasi penugasan selesai, barulah kami bisa masuk ke pintu terakhir, yakni imigrasi. Pemeriksaan di imigrasi berlangsung relatif cepat. Setelah mengambil bagasi, saya dan teman-teman akhirnya bisa keluar.

Perjalanan baru dimulai

Setelah persiapan berangkat yang cukup menguras energi, kami akhirnya bisa menapakkan kaki di ibukota Tokyo. Tentu saja, ini bukan berarti segala peraturan protokol sudah selesai. Saat menulis cerita ini, saya sedang menjalani hari pertama dari tiga hari karantina yang disyaratkan Pemerintah Jepang. Hari kedatangan dianggap sebagai hari nol. Ini artinya, saya baru bisa masuk stadion dan bertugas meliput tepat sehari setelah pembukaan.

Selama karantina, saya harus terus menjalani tes saliva. Kemungkinan, tes ini akan terus berlanjut selama saya berada di Tokyo. Satu hal yang menjadi catatan saya: protokol kesehatan yang ketat diikuti serangkaian tes tidak lantas membuat saya merasa jauh lebih aman. Sebab, kemungkinan tertular selalu ada di mana dan kapan saja.

Saat ini, para atlet, perwakilan negara, petugas pertandingan, dan wartawan dari seluruh dunia sudah berkumpul di Tokyo. Dan mungkin juga, seluruh varian Covid-19. Berlangsung tanpa penonton, Olimpiade Tokyo mungkin akan menjadi Olimpiade yang paling senyap sepanjang sejarahnya. Semoga, gegap gempita semangat olahraga akan tetap menyala dari kami semua yang tengah bertugas di sini. Salam dari Tokyo!

Share: Tes PCR Tujuh Hari Berturut-turut, Ini Ribetnya Meliput Olimpiade di Tengah Pandemi