Isu Terkini

Terusik Karena #UninstallGojek

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Memulai hari dengan memegang handphone dan memastikan bahwa saya tidak kelewatan satu berita pun di media sosial sudah menjadi kebiasaan saya beberapa tahun belakangan. Termasuk Senin ini, 15 Oktober 2018. Yang mengagetkan bagi saya adalah melihat trending topics Twitter karena ternyata tagar #UninstallGojek masih bertengger manis di sana.

Jujur, awalnya saya tidak mengacuhkan tagar ini. Tapi karena tagar ini mengisi pembicaraan Twitter selama akhir pekan kemarin, saya akhirnya merasa terusik untuk mencari tahu kebenarannya. Setelah saya mencoba mencari tahu, ternyata ini berawal dari status Facebook sang wakil presiden perusahaan penyedia jasa ojek online Indonesia yang identik dengan warna hijaunya! Enggak berhenti di situ, status Facebook ini membawa saya kepada rasa penasaran selanjutnya. Ini terjadi karena menurut saya pribadi, alasan di balik tagar #UninstallGojek ini sangatlah enggak rasional.

Memang ada yang salah dari sebuah perusahaan swasta untuk menciptakan inklusifitas dan mewujudkan keberagaman sebagai salah satu identitas perusahaannya? Bukannya memang seharusnya begitu? Lalu, kenapa kita harus memboikot perusahaan yang mencoba mempraktekkan usaha memanusiakan semua manusia? Justru, bagi saya, ini adalah tindakan yang benar dan sarat akan nilai kemanusiaan. Enggak percaya dengan argumen saya? Oke, saya coba jelaskan di bawah ini.

Go-Jek Luncurkan Program Internal #GoingAllIn, Warganet Ciptakan Tagar #UninstallGojek

Seperti yang sudah disebutkan di atas, kontroversi dukungan Go-Jek terhadap LGBT ini bermula dari sebuah status Facebook yang dipublikasikan oleh Brata Santoso, Wakil Presiden Go-Jek. Dalam statusnya yang dipublikasikan pada tanggal 11 Oktober 2018 tersebut, Brata menyatakan bahwa Go-Jek baru saja meluncurkan program internal #GOingALLin, yang secara garis besar bertujuan untuk mengadopsi kebijakan non-diskriminasi pada siapapun, terutama pada kaum LGBT yang masih belum terrepresentasikan dengan baik. Peluncuran program internal ini berkaitan dengan National Coming Out Day 2018 di berbagai negara, yang salah satu tujuan akhirnya adalah menciptakan kesadaran tentang LGBT. Brata pun melanjutkan statusnya bahwa kini di Go-Jek, sudah ada 30-an pegawai yang telah mengakui orientasi seksualnya termasuk dalam kategori LGBT.

Status ini pun sontak membuat warganet mengeluarkan respon berbagai macam. Salah satu respon yang mendominasi adalah adanya tagar #UninstallGojek yang menyerukan untuk menghapus aplikasi Go-Jek dari gawai setiap orang. Tagar ini datang dari sekelompok warganet yang memang berasal dari golongan yang menolak kehadiran LGBT di Indonesia. Di sisi lain, warganet yang lebih senang dengan perdamaian dan cenderung tidak bebal berusaha melawan narasi #UninstallGojek ini dengan mengapresiasi langkah Go-jek yang telah mengakui keberadaan LGBT dengan cukup baik. Langkah Go-Jek dinilai sebuah langkah besar menuju perusahaan yang lebih beragam dan inklusif. Mengapa Go-Jek cukup berani mengambil langkah ini? Ternyata, langkah Go-Jek ini bisa diberikan justifikasinya secara teori dan finansial.

Program #UninstallGojek Berlandaskan Latar Belakang Teoritis yang Kuat

Keputusan Go-Jek untuk mengeluarkan program #GOingALLin ini tentu merupakan sebuah langkah menuju perusahaan yang lebih beragam dan inklusif. Langkah Go-Jek ini pun ternyata memiliki justifikasi teoritik yang kuat. Ray Reagans dan Ezra W. Zuckerman, dalam tulisannya yang berjudul The Social Capital of Corporate R&D Teams, menyatakan bahwa heterogenitas dapat dilihat sebagai modal sosial yang menguntungkan, karena kondisi yang heterogen dapat membuat kekosongan informasi dalam sebuah jaringan sosial terisi, dan menghasilkan tim yang lebih produktif. Heterogenitas dianggap sebagai sebuah keuntungan karena informasi yang didapatkan dalam sebuah tim dapat lebih beragam, juga ditambah dengan pengalaman dan keahlian yang akan lebih beragam. Sebaliknnya, jika sebuah tim bersifat homogen, dengan perbedaan yang tidak begitu banyak, informasi akan bersifat redundant. Hasilnya, produktivitas di tim yang bersifat homogen akan lebih rendah dibanding dengan tim yang bersifat heterogen.

Padahal, Mendukung Keberagaman dan Inklusifitas Juga Bisa Membawa Pengaruh Positif Secara Finansial

Kemudian, selain berbasis landasan teoritik, keputusan untuk menciptakan keberagaman dan kondisi yang inklusif dalam sebuah perusahaan juga memiliki justifikasi finansial di dalamnya. Rocio Lorenzo dan Martin Reeves dalam tulisannya yang berjudul How and Where Diversitiy Drives Financial Performance, melakukan survei di 1,700 perusahaan yang berasal dari delapan negara yang berbeda, yaitu Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Tiongkok, Brazil, India, Switzerland, dan Austria. Tidak hanya sampai situ, demi mencapai keakuratan dalam kajiannya tersebut, Lorenzo dan Reeves juga mengkaji beragam bentuk dan ukuran industri, mengkaji keberagaman di posisi manajerial. Keberagaman yang dimaksud dalam oleh Lorenzo dan Reeves pun meliputi keberagaman gender, umur, kebangsaan, pendidikan, jalur karir, dan pendidikan.

Hasilnya? Lorenzo dan Reeves mencapai kesimpulan bahwa perusahaan yang paling beragam juga merupakan perusahaan yang paling inovatif. Perusahaan yang dinilai memiliki keberagaman di atas rata-rata, memiliki 19 persen keuntungan inovasi lebih tinggi dan 9 persen pendapatan sebelum pajak dan bunga (EBIT) lebih tinggi.

Tidak hanya sampai situ, Vivian Hunt, Dennis Layton, dan Sara Prince, dalam penelitiannya, menemukan fakta bahwa seperempat perusahaan dengan keberagaman gender, rasial, dan etnis yang paling tinggi akan cenderung mendapatkan keuntungan finansial di atas rata-rata industri nasional. Sebaliknya, perusahaan yang berada di kuartil terbawah dalam konteks keberagaman cenderung lebih sulit untuk mencapai angka keuntungan finansial di atas rata-rata. Selain itu, keberagaman juga dinilai oleh Hunt, Layton, dan Prince sebagai salah satu aspek kunci yang dapat menggeser market share yang lebih besar ke arah perusahaan yang cenderung lebih beragam.

Mengapa keuntungan finansial bisa meningkat? Perusahaan yang beragam dan inklusif dinilai oleh Hunt, Layton, dan Prince memiliki kans yang lebih besar untuk mendapatkan talenta terbaik, meningkatkan orientasi pelanggan, meningkatkan kepuasaan pekerja, dan meningkatkan kualitas pengambilan kebijakan. Dari kondisi-kondisi yang lebih baik ini lah yang membuat keuntungan perusahaan dinilai dapat meningkat. Selain itu, Hunt, Layton, dan Prince juga menilai bahwa poin-poin keberagaman lain seperti keberagaman umur, orientasi seksual, dan pengalaman kerja juga dapat berpengaruh untuk meningkatkan keuntungan tersebut.

Apakah akan Memberikan Keuntungan bagi Go-jek, atau Sebaliknya?

Lalu, bagaimana dengan Go-Jek? Penerimaan warganet yang terpecah belah, bahkan sampai muncul kampanye untuk menghapus aplikasi Go-Jek, nampaknya membuat justifikasi-justifikasi yang telah saya tuliskan secara panjang lebar di atas tidak terbukti. Dari fakta yang sudah ada, justru malah nampaknya Go-jek akan merugi dengan penolakan yang terjadi di media sosial oleh sebagian warganet. Untuk memahami mengapa kondisi-kondisi seperti yang diprediksi di bagian sebelumnya tidak terjadi, salah satu yang perlu dipahami adalah pemahaman kontekstual masyarakat Indonesia.

Di Indonesia, gagasan-gagasan tentang LGBT dan pandangan yang berasal dari barat sebenarnya sudah bukan menjadi pembicaraan yang tabu. Namun, gagasan LGBT ini tetaplah merupakan pandangan yang relatif baru. Masyarakat masih belum familiar dengan alasan di baliknya, bahkan belum familiar dengan keberadaan kaum LGBT yang secara terang-terangan mengakui orientasi seksualnya. Juga, sebagian besar budaya di masyarakat Indonesia masih kental dengan nilai-nilai konservatisme agama. Hal ini lah yang menurut saya telah membuat keputusan Go-Jek mendukung kaum LGBT justru menuai penolakan yang cukup besar-besaran.

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan seperti Go-Jek di tengah konteks masyarakat Indonesia seperti saat ini? Inklusifitas dan keberagaman kan, sebenarnya, tentang aksi, bukan simbol. Kalau memang perusahaan-perusahaan besar nantinya ingin mengikuti jejak Go-Jek untuk lebih inklusif dan beragam di dalam timnya, tak usahlah dulu menggembor-gemborkan dukungan. Yang jelas, di dalamnya, keberagaman dan inklusifitas benar-benar dilakukan. Kalau nanti narasi tentang LGBT (atau inklusifitas dan keberagaman lainnya) sudah lebih diterima di masyarakat, simbol-simbol ini juga akan dengan mudah berkeliaran sendirinya tanpa harus perlu takut menuai kecaman dari masyarakat.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: Terusik Karena #UninstallGojek