General

Survei Litbang Kompas dan Pertarungan ‘Liar’ Jelang Hari H Pemilu 2019

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Hari H pencoblosan di Pemilu 2019 yang berlangsung pada 17 April mendatang memang kurang dari 30 hari lagi. Dengan waktu yang terbilang singkat, pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno juga semakin gencar melancarkan kampanye demi meyakinkan masyarakat. Panasnya peta persaingan kedua kubu terlihat jelas dalam berbagai hasil survei, salah satunya dari Kompas.

Hari ini, Rabu, 30 Maret 2019, harian Kompas memuat headline menarik mengenai hasil survei terbaru Litbang Kompas terkait elektabilitas Jokowi dan Prabowo. Survei tersebut digelar dengan metode pengumpulan pendapat menggunakan wawancara tatap muka sejak tanggal 22 Februari-5 Maret 2019.

Survei ini diikuti 2.000 responden yang dipilih secara acak dengan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Tingkat kepercayaannya 95 persen dengan margin of error penelitian plus/minus 2,2 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.

Jarak Elektabilitas Jokowi vs Prabowo Semakin Ketat

Kesimpulan sederhana yang bisa ditarik dari hasil survei tersebut adalah adanya tren penurunan elektabilitas dari paslon 01, sementara paslon 02 mengalami kenaikan. Meski secara keseluruhan, elektabilitas paslon 01 sebenarnya selalu lebih unggul dari paslon 02.

Kesimpulan itu didapat dari dua kali survei yang dilakukan Litbang Kompas pada Oktober 2018 dan Maret 2019. Hasil survei Oktober 2018 lalu menunjukkan, Jokowi-Ma’ruf unggul dengan 52,6 persen, sementara Prabowo- Sandiaga 32,7 persen. Sebanyak 14,7 persen masih merahasiakan pilihannya. Saat itu, selisih suara keduanya masih 19,9 persen.

Perubahan justru terjadi di survei kedua Litbang Kompas pada Maret 2019 ini. Hasilnya, Jokowi-Ma’ruf masih unggul pada angka 49,2 persen berbanding 37,4 persen milik Prabowo-Sandi. Sementara 13,4 persen masih merahasiakan pilihannya. Namun, selisih suara kedua pasangan pun berubah dan mendekat pada angka 11,8 persen.

Itu artinya ada perubahan jelas dalam rentang waktu enam bulan terakhir, di mana ada total 8,1 persen suara yang berubah, baik dari pemilih yang sudah menentukan pilihan dan yang masih belum menentukan pilihan.

Dalam rentang enam bulan,  hasil survei Litbang Kompas menemukan bahwa Jokowi-Ma’ruf mengalami penurunan elektabilitas sebesar 3,4 persen, sementara Prabowo-Sandi justru mengalami peningkatan sebesar 4,7 persen.

Menariknya, meski selisih elektabilitas Jokowi-Ma’ruf vs Prabowo-Sandi semakin dekat, namun Kompas menilai paslon 01 masih berpeluang memenangkan Pilpres 2019. Sebab, Kompas ikut menyertakan data ekstrapolasi, atau dalam bahasa non statistiknya berarti “prediksi hasil akhir.”, elektabilitas yang dimunculkan Kompas, di mana angka peluang kemenangan Jokowi-Ma’ruf lebih besar dari Prabowo-Sandi. Pada data ekstrapolasi, Jokowi-Ma’ruf meraup 56,8 persen suara, sedangkan Prabowo-Sandi 43,2 persen suara.

Perlu diketahui bahwa angka hasil ekstrapolasi dilakukan dengan mengasumsikan kelompok yang belum memutuskan dukungan pilihan (undecided voters) akan terbagi secara proporsional menurut perolehan survei.

Sebagai tambahan, disebutkan bahwa menurunnya elektabilitas Jokowi-Ma’ruf disebabkan oleh sejumlah hal, mulai dari perubahan pandangan atas kinerja pemerintah, berubahnya arah dukungan kalangan menengah atas, membesarnya pemilih ragu pada kelompok bawah dan persoalan militansi pendukung yang berpengaruh pada penguasaan wilayah.

Nah, yang jadi pertanyaan adalah apakah angka elektabilitas tersebut masih mungkin berubah di saat Pilpres 2019 hanya menyisakan kurang dari 30 hari lagi? Bagaimana kedua kubu memaksimalkan kekuatan mesin partai dan relawan dalam waktu singkat? Mungkinkah ada potensi situasi berbalik yang mematahkan seluruh hasil survei selama ini, pada 17 April 2019 nanti?

Selain Litbang Kompas, Jokowi-Ma’ruf Nyaris Unggul di Semua Hasil Survei

Kepala Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Syamsuddin Haris melihat survei Litbang Kompas hanya jadi salah satu rujukan dari banyaknya hasil survei yang sudah dirilis. Menurut Prof Haris, jika harus menyimpulkan, dari banyaknya hasil survei termasuk survei Litbang Kompas, elektabilitas pasangan Jokowi-Ma’ruf tetap saja unggul dari Prabowo-Sandi.

“Survei Litbang Kompas hanya salah satu. Sebagian besar lembaga survei konfirmasi bahwa elektabilitas Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi makin lebar,” kata Prof Syamsudin Haris saat dihubungi Asumsi.co, Rabu, 20 Maret 2019.

Maka dari itu, dengan hasil-hasil survei yang ada sejauh ini, Haris mengatakan bahwa pola dukungan sebenarnya sudah kelihatan jelas. Di mana Jokowi-Ma’ruf sejauh ini masih unggul atas Prabowo-Sandi. Memang masih ada waktu yang terbilang pendek jelang 17 April 2019 untuk mengubah situasi. Namun, menurut Haris, menerapkan strategi baru pemenangan kedua kubu dalam jangka waktu yang pendek terbilang cukup sulit.

“Sulit untuk menciptakan strategi baru dalam jangka pendek. Karena itu baik Jokowi maupun Prabowo perlu mengajak masyarakat agar turut mengawal berlangsungnya pemilu yang jujur, fair, dan damai,” ucapnya.

Sementara itu, Muslimin selaku Direktur Riset Charta Politika, melihat hasil survei Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf memang mengalami penurunan, meski masih unggul dari Prabowo-Sandi.

Pertama kalau mengacu dari survei Litbang Kompas itu rentang waktunya itu kan ada enam bulan. Artinya dari sisi waktu, Jokowi-Ma’ruf memang mengalami penurunan suara yang sebenarnya tidak terlalu besar. Cuma karena memang ada dua pasangan, jadi begitu angkanya turun, ya kemungkinannya kan suara undecided voters itu larinya ke kubu 02,” kata Muslimin saat berbincang dengan Asumsi.co hari ini (20/3).

Muslimin pun menilai dari dua hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2018 ke Maret 2019, penurunan angka elektabilitas Jokowi-Ma’ruf tak terlalu tinggi karena hanya menurun sekitar tiga persen. Penurunan angka elektabilitas itu pun, lanjut Muslimin, tak akan menggoyang kubu 01. Sebaliknya, kedua kubu diprediksi bakal sama-sama terpacu untuk meraih hasil terbaik.

“Lalu apakah ini jadi ancaman bagi 01? Saya kira begini, apa pun itu ya, tanpa ada hasil survei itu juga kan sebenarnya ketika mereka ini sudah mendeklarasikan diri, maka ya hasil-hasil survei itu mungkin bisa jadi penyemangat kubu 01, terlepas juga kubu 02 tentu akan memacu mereka karena menganggap masih ada kemungkinan untuk mengejar ketertinggalan dari rivalnya,” ujarnya.

Angka Ekstrapolasi Unggulkan Jokowi-Ma’ruf, Bisakah Jadi Tolak Ukur?

Litbang Kompas juga menyertakan data ekstrapolasi elektabilitas dalam dua surveinya pada Oktober 2018 dan Maret 2019. Pada Oktober 2018, angka ekstrapolasi elektabilitas Jokowi-Ma’ruf unggul dan mencapai 62,7 persen dan Prabowo-Sandi 38,3 persen. Lalu, pada survei Maret 2019, ekstrapolasi Jokowi-Ma’ruf masih unggul pada angka 56,8 persen berbanding 43,2 persen milik Prabowo-Sandi.

Muslimin mengatakan memang sebagian besar lembaga survei jarang merilis data ekstrapolasi. Sebab, menurut Muslimin, hasil akhir di lapangan memang agak sulit diprediksi. Namun, ia menilai Kompas mempublikasikan data ekstrapolasi dengan proporsional.

“Ya memang kan kita jarang kemudian menggunakan data itu [ekstrapolasi], tetapi di mana-mana memang jarang sekali juga yang namanya orang yang belum menentukan pilihan atau undecided voters, itu kemudian suaranya bulat ke salah satu calon. Nah jadi, Kompas coba menarik secara proporsional ketika itu dibagi dua, maka memang jaraknya akan semakin jauh,” ucap Muslimin.

Dalam berbagai survei yang diamati Muslimin, memang jarang sekali dalam sebuah survei, bahkan tak pernah menemukan misalnya undecided voters itu kemudian lari ke salah satu calon, biasanya memang akan terbagi. Tinggal pembagiannya besar ke mana nanti, apakah ke paslon 01 ataupun ke paslon 02, yang jelas tetap pasti terbagi.

“Itu [ekstrapolasi] kan prediksi ya, artinya kalau pertanyaannya bisa dipercaya atau tidak data tersebut, coba menarik kesimpulan saja ketika di akhir itu kan tinggal ditarik secara proporsional tadi. Itu prediksi lembaga tentunya bisa saja hasilnya begitu, bisa saja tidak.”

Poin utamanya adalah undecided voters dalam sebuah riset atau survei itu memang tidak akan membelok persis ke salah satu calon. Sekali lagi, hampir dipastikan secara statistik, suara undecided voters itu tidak akan bulat beralih ke salah satu calon, namun pasti akan terbagi.

Strategi Kubu Jokowi dan Prabowo Jelang Hari H Pencoblosan

Setidaknya masih ada kurang dari 30 hari lagi bagi kubu 01 dan 02 untuk memaksimalkan kekuatan demi meraih suara terbanyak. Namun masalahnya, mampu kah kedua kubu menggaet para pemilih yang masih galau itu? Strategi seperti apa yang bisa dijalankan?

“Jadi sebenarnya dari riset-riset yang kita lakukan, mereka berdua ini kan pasangan yang sudah pernah bertanding sebelumnya. Dari sejumlah riset kami sebelumnya, mereka berdua ini sudah memiliki pemilih yang sangat loyal, bahkan pada temuan kita, hanya sekitar 20-30 persen suara yang diperebutkan,” kata Muslimin.

Lalu, dari komposisi 20-30 persen suara ini, pertama terdapat pemilih yang belum punya pilihan, yang kedua ada juga swing voters, pemilih yang sebenarnya sudah menentukan pilihan baik itu ke 01 atau 02, tetapi pilihan mereka ada potensi berubah pada 17 April 2019 nanti. Jadi sebenarnya perebutan suara kedua kubu berlangsung di lingkaran angka 20-30 persen suara tersisa itu saja.

“Siapa yang kemudian bisa mengambil angka yang jauh lebih besar dari porsi 20-30 persen itu, maka itulah yang kemungkinan besar akan menang. Tapi, problem-nya bagi 02 karena jaraknya yang masih cukup jauh, tentu mereka harus bekerja jauh lebih keras dibanding paslon 01. Apalagi paslon 01 ini kan sebenarnya kalau dilihat dari angkanya kan relatif aman, jadi mereka cukup bertahan saja.”

Sementara itu, menurut Muslimin, paslon 02 mau tak mau harus menjalankan ekstra strategi demi menyalip perolehan suara 01. “Jadi yang bisa dilakukan kubu 02 tidak hanya bagaimana menaikkan elektabilitasnya, tetapi bagaimana kemudian menarik suara 01 untuk beralih ke 02, tentu ini jadi tugas yang jauh lebih berat bagi kubu 02 dibanding kubu 01.”

Belajar dari Pemilu AS, Mungkinkah Berbalik Arah?

Semua hal bisa terjadi dalam politik dan semua situasi serta kemungkinan hasil di Pilpres 2019 bisa saja di luar prediksi. Misalnya saja, salah satu contoh kondisi politik di luar prediksi yang benar-benar terjadi adalah saat Pemilu Amerika Serikat (AS) 2016 lalu. Dari berbagai survei, Hillary Clinton selalu unggul dari Donald Trump. Namun, hasil akhir menunjukkan Trump tampil sebagai pemenang.

Dalam konteks Pilpres 2019, rasanya hanya hal-hal atau kondisi yang luar biasa lah yang bisa mengubah hasil akhir. Menurut Muslimin, jika bersandar pada berbagai hasil survei yang menempatkan Jokowi-Ma’ruf unggul, memang tidak mudah bagi Prabowo-Sandi untuk mengejar, namun bukan tidak mungkin.

“Bahwa dalam politik itu kan segala hal apapun itu ya bisa saja terjadi. Walaupun memang yang tadi saya bilang kecenderungan sisa waktu yang memang sedikit, jaraknya semakin tipis untuk diperebutkan, di titik itu sebenarnya jika 02 bisa menyalip, ya memang berarti ada sesuatu hal yang luar biasa yang terjadi.”

Secara statistik, memang situasi mungkin saja berubah, apalagi masih ada waktu yang tersisa kurang lebih satu bulan menuju pencoblosan. Ditambah lagi ada kesempatan kampanye akbar, kampanye terbuka yang bisa dilakukan kedua paslon dalam rentang tiga minggu. “Dalam masa ini tentu bisa dimanfaatkan untuk memperebutkan sisa suara seperti yang saya bilang tadi sekitar 20-30 persen suara, untuk diambil masing-masing paslon.”

Share: Survei Litbang Kompas dan Pertarungan ‘Liar’ Jelang Hari H Pemilu 2019