Dear Cinta Laura,
Aku ingin bicara padamu tentang menjadi pelopor. Kadang, seseorang tak perlu melantangkan percakapan yang sudah ada, apalagi memantik percakapan baru supaya dipandang sebagai visioner. Justru sebaliknya. Seseorang dapat meninggalkan jejak dalam sejarah hanya dengan menghentikan siklus yang celaka.
Aku percaya di sini kamu dapat berperan, Cinta. Kamu dapat membuat perubahan.
Siklus yang kumaksud adalah kebiasaan buruk selebritas membuat pernyataan sembrono di tengah petaka. Kemarin, Cinta, kamu ikut-ikutan. Kamu menulis surat dari sudut pandang virus SARS-CoV-2. Kamu bilang virus hadir sebab manusia begitu rajin menyia-nyiakan Bumi serta kehidupannya yang fana. Virus datang datang sebagai pengingat, ibarat mala bagi orang-orang keras kepala dalam kisah nabi-nabi.
Aku percaya maksudmu baik, Cinta. Kamu ingin bicara tentang pentingnya menghargai keluarga dan betapa rawan keberadaan kita di dunia. Tetapi, unggahanmu menuai tanggapan negatif. Kamu dikatai melantur, sok ide, dan budek. Suratmu, kata banyak orang, ditulis dengan tinta emas privilese. Kamu main filsafat-filsafatan selagi banyak orang terancam kehilangan pekerjaan dan jatuh bergelimpangan.
Kamu bukan selebritas pertama yang melakukannya semasa pandemi ini. Ivanka Trump dicibir setelah bikin video cuci tangan dengan sabun Aesop yang harganya selangit. Gal Gadot menghimpun kawan-kawan selebnya untuk menyanyikan lagu “Imagine” karya John Lennon dari istana masing-masing, jauh, amat jauh, dari penderitaan duniawi.
Bahkan Madonna, sang ratu, tak luput dari hujatan. Sembari berkecipak dalam bathtub penuh kelopak mawar, ia berceloteh tentang bagaimana virus COVID-19 “menyamaratakan kedudukan” sebab ia “tak peduli kamu kaya atau miskin.”
Kamu, masih memerankan sang virus, memarahi umat manusia, “Saya bosan melihat bagaimana tanganmu menghancurkan semua yang disentuh,” tulismu. “Saya bosan melihat caramu memperlakukan Bumi.” Bagimu, COVID-19 layaknya pembalasan dari alam yang muak. Manusia merampok dan mengoyak-oyak bumi sedemikian rupa, dan kini baru kena batunya.
Kerusakan lingkungan yang disebabkan manusia memang tak pantas dimungkiri. Kita melubangi ozon, bikin es abadi di Kutub Utara meleleh, dan menggunduli hutan-hutan. Masalahnya, tak semua tangan sama nistanya.
Seperti ditulis Sierra Garcia dalam GRIST, perayaan terhadap “sembuhnya bumi” dari petaka ini sama saja merayakan kesengsaraan massal bagi orang-orang yang paling rentan. Ironis, sebab justru mereka yang paling sedikit andilnya, itu pun karena tak punya pilihan lain, dalam menciptakan krisis iklim.
Kamu tak sepatutnya membandingkan kerusakan yang disebabkan oleh penguasa struktur dengan kerusakan yang disebabkan oleh korban struktur tersebut. Kehancuran yang disebabkan oleh taipan tambang batu bara tentu lain derajat dengan “kerusakan” yang disebabkan warga Suku Anak Dalam yang digusur demi tambang tersebut. Diakui atau tidak, sebagian kecil orang di dunia ini menciptakan kerusakan berjuta-juta kali lipat dibandingkan manusia kebanyakan.
Memang aku menulis surat ini padamu di komputer jinjing bikinan pekerja anak di Bangladesh. Katakanlah baterainya mengandung mineral berdarah dari Kongo, dan kini terisi listrik hasil pembakaran dari batubara. Tapi aku tidak mengambil laba sedikit pun dari rantai eksploitasi itu. Segala yang kumiliki, yang pas-pasan ini, kudapatkan setelah menjual kerjaku siang dan malam. Aku, seperti kebanyakan orang, hanya sekrup kecil dalam sistem. Alangkah apes, setiap kali sistem tersebut gembos, kami dikorbankan selagi dalang sesungguhnya berlibur naik jet pribadi.
Cinta, jangan mengulang kesalahan Thanos dan memukul rata umat manusia. Gagasan “kita adalah virusnya” ngawur sebab ia melupakan bahwa sumber kerusakan lingkungan bukanlah keberadaan manusia sebagai spesies, melainkan paradigma bahwa eksploitasi dan ekspansi terus menerus merupakan harga mati.
Dunia memang perlu menyembuhkan diri, yaitu dari ketamakan, penindasan, dan eksploitasi. Itulah tiga iblis yang menghabisi orang-orang rentan serta bikin hutan hujan dan pegunungan babak bundas.
Cinta, orang-orang miskin tak perlu pandemi untuk belajar tentang ketidakadilan.
Lagipula, tak butuh seorang jenius untuk memahami bahwa COVID-19 bukanlah pemusnah mahaadil. Ia jelas lebih berbahaya bagi lansia dan orang dengan riwayat penyakit menahun. Ketimpangan itu semakin kentara saat kita melihat dampak turunannya. Pekerja informal dengan pendapatan pas-pasan tidak bisa swakarantina selama berbulan-bulan. Mereka harus berkeliaran, bertemu aneka rupa manusia, lalu kembali ke pemukiman yang sempit.
Pandemi atau bukan, kehidupan mereka senantiasa buntung. Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta mencatat bahwa sejauh ini 132.279 orang telah dirumahkan tanpa menerima upah oleh 14.697 perusahaan. Lebih celaka lagi, 30.137 orang kena PHK.
Bila keran rezeki di kota besar sudah lenyap, banyak pekerja memilih pulang kampung lebih cepat. Memang, tindakan ini berisiko. Mereka dapat membawa penyakit ke kota-kota kecil yang infrastruktur kesehatannya tak memadai. Tapi apa harapan yang tersisa bagi mereka di kota? Seperti kata Efek Rumah Kaca, “Menanam tak bisa, menangis pun sama.”
Kata sebuah anekdot, pemeriksaan COVID-19 paling masuk akal bagi orang miskin adalah bersin ke muka konglomerat, lalu tunggu hasil tesnya. Getir, tapi masuk akal. Ini masalah kuasa, Cinta. Pandemi menghajar tiap orang, tapi kita babak-belur dengan kadar berbeda.
Cinta, kamu menulis, “Saya bosan melihat sedikit waktu yang kamu luangkan untuk diri sendiri dan keluargamu. Saya bosan melihat betapa sedikitnya perhatian yang kamu berikan kepada anak-anakmu.”
Ayolah, Cinta. Ketika seorang sopir ojol terpaksa kerja dari subuh hingga tengah malam gara-gara penghidupannya diotak-atik sang “mitra”, salah siapa ia tidak sempat meluangkan waktu “untuk diri sendiri dan keluarga?”
Aku setuju denganmu bahwa harus ada yang berubah. Seperti ditulis Dawn Foster di Jacobin, pandemi ini menyadarkan pemerintah bahwa “tulang punggung masyarakat yang sesungguhnya adalah para pekerja dengan bayaran seecret” dan pekerja musiman yang hak-haknya tak terlindungi. Tanpa mereka, masyarakat kita akan kolaps. Dan rupanya, merekalah orang-orang yang selama ini kita perlakukan layaknya virus–dihindari, dijauhi, dan dipinggirkan.
Kita bisa mulai dengan pertanyaan sederhana: mengapa kita tinggal di negara yang memaksa orang memilih antara hidup atau penghidupannya? Apa yang salah? Apa yang seharusnya kita perbaiki?
Kamu selebritas, Cinta. Bukan tugasmu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kamu tidak perlu seperti Rita Ora, yang mendaftar jadi sukarelawan medis di National Health Service (NHS) Inggris. Kamu tidak perlu seperti Angelina Jolie, yang mengorganisir penyediaan pangan untuk anak-anak rentan. Kamu bahkan tidak perlu seperti Rihanna, yang menyumbangkan 5 juta dolar untuk upaya menanggulangi dampak COVID-19.
Cukup tahan lidah saja untuk tidak menceramahi orang-orang yang sengsara, dan tahan jari untuk tidak mentwit “mungkin kitalah virusnya.” Kalau mau lebih, kamu dapat menyerahkan panggungmu kepada orang-orang yang selama ini diabaikan, biarkan mereka bicara sekeras-kerasnya.
Keputusanmu mempromosikan inisiatif pembagian sembako untuk korban KDRT yang harus swakarantina adalah langkah baik. Bila kamu terus di jalur itu, boleh jadi lama kelamaan kamu akan sekeren Britney Spears, yang mengajak fansnya mogok massal dan mendistribusi ulang kekayaan.
Itu jalan yang terjal dan panjang, Cinta, tapi kamu senang membuktikan diri, kan?