Isu Terkini

Sudah Sampai 3 Edisi, Apa Itu Ijtima Ulama?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Ijtima Ulama III berlangsung di Hotel Lor In, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Rabu, 1 Mei 2019. Pada Ijtima Ulama III ini, ada lima rekomendasi yang isinya untuk menyikapi hasil Pemilu 2019. Sebagian besar poin dari Ijtima Ulama III itu sendiri berisi adanya kecurangan di Pemilu 2019 dan mendorong kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk menindaklanjuti masalah tersebut.

Rekomendasi Itjima Ulama III

Ada pun lima poin rekomendasi Ijtima Ulama III yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

Pertama, Ijtima Ulama menyimpulkan bahwa telah terjadi kecurangan dan kejahatan bersifat terstruktur, sistematis dan masif dalam proses penyelenggaraan pemilu 2019. Kedua, mendorong dan meminta kepada Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi untuk mengajukan keberatan melalui mekanisme legal, prosedural tentang terjadinya berbagai kecurangan dan kejahatan, terstruktur, sistematis dan masif dalam proses pemilihan presiden 2019.

Sementara ketiga, mendesak Bawaslu dan KPU untuk memutuskan membatalkan, atau mendiskualifikasi paslon capres-cawapres 01. Keempat, mengajak umat dan seluruh anak bangsa untuk mengawal dan mendampingi perjuangan penegakan hukum secara syari dan legal konstitusional dalam melawan kecurangan kejahatan serta ketidakadilan termasuk perjuangan pembatalan/diskualifikasi paslon capres-cawapres 01 yang ikut melakukan kecurangan dan kejahatan dalam Pilpres 2019.

Terakhir atau poin kelima, bahwa memutuskan melawan kecurangan kejahatan serta ketidakadilan adalah bentuk amal marif nahi munkar, konstitusional dan sah secara hukum dengan menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan rakyat.

Lalu, yang jadi pertanyaan, apa sebenarnya Ijtima Ulama itu sendiri? Dan sudah sejauh apa Ijtima Ulama memberi pengaruh dari sebelum Pemilu 2019 sampai pesta demokrasi di tanah air tersebut sudah selesai digelar.

Perjalanan Ijtima Ulama I dan Ijtima Ulama II

Ijtima Ulama sendiri diinisasi oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama. Ijtima Ulama I diadakan pada 29 Juli 2018, di mana saat itu hasil dari Ijtima Ulama I adalah merekomendasikan Prabowo Subianto sebagai calon presiden di kontestasi Pemilu 2019. Tak hanya itu saja, sejumlah tokoh agama yang tergabung dalam GNPF Ulama jug asempat merekomendasikan Ustadz Abdul Somad dan Salim Segaf untuk mendampingi Prabowo di Pilpres 2019 sesuai hasil Ijtima Ulama I. Saat itu, memang tak ada nama Sandiaga Uno yang pada akhirnya dipilih Prabowo untuk jadi cawapres yang mendampinginya.

Meski begitu, hasil Ijtima Ulama I yang merekomendasikan cawapres itu pun tak langsung disetujui Prabowo. Saat itu, Ketum Partai Gerindra itu pun mengaku akan mengkonsultasikan rekomendasi Ijtima Ulama I soal skenario pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Prabowo kemudian mengatakan bahwa pasangan capres-cawapres yang dihasilkan dalam Ijtima Ulama I hanya berupa rekomendasi atau saran. Prabowo tidak menjawab dengan tegas apakah bakal merealisasikan rekomendasi Ijtima Ulama I. Ia pun akan membahasnya lebih lanjut ketika itu terkait pendampingnya.

Situasi itu lah yang membuat sosok pengisi cawapres pendamping Prabowo pun masih jadi misteri dan ramai dibicarakan. Menariknya, tak ada nama Sandiaga Uno yang muncul sebagai kandidat pendamping Prabowo pasca Ijtima Ulama I tersebut.

Namun, yang mengejutkan banyak pihak adalah dipilihnya Sandiaga sebagai cawapres Prabowo. Lalu, setelah keputusan Prabowo tersebut, GNPF pun menggelar Ijtima Ulama II untuk memutuskan dukungan terhadap pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Uno pada 16 September 2018.

Saat itu, Prabowo menandatangani 17 poin pakta integritas hasil Ijtima Ulama II oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) dan tokoh nasional di Hotel Grand Cempaka, Cempaka Putih, Jakarta, Minggu, 16 September 2019. Dengan ditandatanganinya surat kesepakatan tersebut, Prabowo dan Sandi wajib melaksanakan poin-poin yang dimaksud.

Surat itu tertuang dalam lampiran Surat Keputusan Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional II nomor 02/IJTIMA/GNPF-ULAMA/MUHARRAM/1440 H tentang Pakta Integritas Calon Presiden dan Wakil Presiden. Penandatanganan disaksikan oleh seluruh peserta Ijtima Ulama II dan para petinggi GNPF.

Apa Itu Ijtima Ulama?

Di pentas Pemilu 2019, keberadaan ulama akhirnya menjadi magnet tersendiri yang ikut meramaikan arah dan sikap politik. Ulama yang menjadi elemen penting dari kaum muslim pun pada akhirnya tertarik untuk ikut terlibat dalam mendukung salah satu pasangan capres-cawapres.

Adanya hasil Ijtima Ulama I dan II sendiri seolah ingin menegaskan peran ulama yang solid, sekaligus memunculkan banyak persepsi liar yang menyebutkan bahwa Ijtima Ulama tak lebih dari politik identitas.

Ijtima sendiri berasal dari kata itjma yang berarti kesepakatan atau konsensus. Ijtima adalah hasil konsensus tersebut. Atau lebih luas adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al Quran dan Hadis dalam suatu perkara yang terjadi.

Biasanya Ijtima Ulama dikaitkan dengan keputusan dalam ranah fikih (hukum Islam), namun bukan urusan politik. Pada cabang ilmu fikih, itjma sendiri berada pada posisi ketiga dari empat sumber hukum yang sah dan diakui di bawah Alquran dan Hadis, serta di atas qiyas yang menjadi sumber hukum keempat.

Sementara itu, ada lima poin yang menjelaskan mengenai unsur-unsur itjma itu sendiri. Pertama, adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam (ulama). Kedua, suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan secara jelas. Ketiga, yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid. Keempat, kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah. Serta kelima, yang disepakati itu adalah hukum syara’ mengenai suatu masalah/peristiwa hukum tertentu.

Maka dari itu, Ijtima sendiri merupakan satu hal yang sangat serius. Apalagi para pelaku itjma merupakan para ulama yang yang dipercaya dan ahli di bidangnya. Namun, yang sempat jadi pertanyaan banyak orang saat munculnya Ijtima Ulama I, II, hingga III adalah apakah benar hasil Ijtima Ulama tersebut mewakili atau sebagai representasi seluruh ulama atau umat muslim di Indonesia?

Pasalnya Indonesia sendiri merupakan negara besar dan berpenduduk sekitar 260 juta jiwa. Bahkan, mayoritas pendudukanya, yang hampir mencapai 80 persen adalah masyarakat muslim. Selain itu, banyak yang juga yang menganggap bahwa jumlah ulama yang tergabung dalam setiap Ijtima Ulama sangatlah kecil dan banyak ulama-ulama lain yang tak tergabung dalam hasil Ijtima Ulama yang selama ini muncu.

Menariknya, saat acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-6 di Pondok Pesantren Al-Falah, Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Senin, 7 Mei 2018 lalu, KH Ma’ruf Amin, sebelum dipilih Joko Widodo sebagai cawapresnya, pernah menyampaikan bahwa Ijtima Ulama mempunyai arti penting bagi MUI, terutama sebagai forum untuk mengonsolidasikan ormas dan kelembagaan Islam di Indonesia, khususnya yang terkait erat dengan aspek kefatwaan.

Mantan Ketua Umum MUI itu juga menegaskan bahwa MUI bertekad menjadi tenda besar semua komponen umat Islam di Indonesia, tanpa memandang asal usul dan tempat perkhidmatannya. “MUI yang merupakan tenda besar umat Islam di Indonesia harus benar-benar bisa merangkul semua komponen umat Islam di Indonesia, di manapun mereka berkhidmah dan beraktifitas,” kata Ma’ruf pada acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-6 di Pondok Pesantren Al-Falah, Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Senin, 7 Mei 2018.

Ma’ruf juga menekankan kata ‘umat’ tidaklah merujuk hanya pada kelompok tertentu saja dan menegasikan yang lain. MUI akan merangkul dan membimbing semua umat Islam di Indonesia, tanpa memandang asal usul dan tempat perkhidmatannya.

Sementara itu, Menurut Imam besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, Ijtima secara bahasa berarti pertemuan atau perkumpulan. Sedangkan ijma berarti hasil keputusan yang diperoleh lewat ijtima. Lebih lanjut, menurut Nasaruddin, jika ada kegiatan bernama Ijtima Ulama maka legitimasi hasil Ijtima itu sangat ditentukan oleh siapa saja ulama yang hadir.

Menurutnya hanya ulama-ulama mujtahid dengan pemahaman ilmu fiqih mumpuni yang bisa menghasilkan sebuah ijma. Selain itu, Nasaruddin menjelaskan bahwa Ijtima Ulama juga dikenal dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan ormas-ormas besar Islam lainnya. Di NU misalnya dikenal dengan istilah bahsul masyail, di Muhammadiyah majelis tarjih, dan di MUI komisi fatwa.

Lebih jauh, Nasaruddin mengatakan bahwa tidak pernah ada Ijtima Ulama di lembaga-lembaga tersebut yang menghasilkan putusan politik praktis seperti penyebutan langsung nama orang yang mesti dipilih menjadi pemimpin. Biasanya Ijtima Ulama untuk politik hanya merujuk kriteria ahlak dan keimanan.

“Kalau ijtima menghasilkan itjma. Kalau jima menghasilkan orang. Jima kan artinya bersetubuh,” kata Nasaruddin seperti dikutip dari Tirto, soal hasil Ijtima Ulama GNPF yang terang-terangan menyebut nama Prabowo-Abdul Somad dan Prabowo-Salim Segaf sebagai pasangan capres dan cawapres di Pilpres 2019, Kamis, 2 Agustus 2018.

“Tapi kalau sebagian pesertanya bukan ulama itu tidak bisa disebut ‘ijtima ulama’. Apa yang disebut ulama itu yang mengerti agama,” ucapnya.

“NU enggak pernah menunjuk orang. Muhammadiyah juga setau saya tidak. Hanya menunjuk kriteria. Kalau mengikuti Alquran dan hadist kan tidak detail. Lebih banyak menunjuk kriteria supaya berlaku elastis.”

“Ulama-ulama buka-bukaan kitab kuning, ayatnya apa. Tapi kalau tidak ada rujukan [dalil agama hanya] mengikat bagi yang datang. Tapi secara kolektif nasional tidak mengikat. Tapi kalau yang ikut hanya minoritas ulama dan non-ulama, sementara mayoritas ulama yang mumpuni representatif tidak ikut, itu legitimasinya tidak terlalu kuat.”

Share: Sudah Sampai 3 Edisi, Apa Itu Ijtima Ulama?