Isu Terkini

Sudah Pakai Besek Bambu, Kenapa Pakai Plastik Lagi?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Momen kurban Idul Adha 1440 H, Minggu (11/08/19), jadi kesempatan sejumlah pemerintah daerah untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Salah satunya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tujuannya jelas: mengurangi sampah plastik.

Panitia Kurban Masjid Istiqlal memakai sekitar 5.000 besek bambu sebagai wadah daging kurban. Mereka juga menggunakan kantong plastik ramah lingkungan, seperti yang disampaikan Wakil Ketua Humas Masjid Istiqlal, Abu Hurairah. “Bahan bakunya dari bambu dan gampang terurai,” kata Abu seperti dilansir dari Detikcom, Minggu (11/08).

“Kresek itu banyak sekali, beseknya yang terbatas. Kalau kreseknya kami dikasih, kerja sama dengan Istiqlal, nggak beli,” jelasnya.

Daging yang dibungkus plastik, lalu ditaruh lagi ke dalam besek bambu, malah jadi perhatian warganet beberapa hari ini. Banyak yang mengkritik kalau hal itu mubazir lantaran sudah ada besek bambu, tapi masih saja menggunakan plastik.

Ketua Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia, Profesor Hardinsyah, mengatakan penggunaan besek untuk wadah daging kurban sebetulnya dapat dikombinasikan dengan lapisan daun pisang atau kertas pembungkus makanan. Hal itu dilakukan jika banyak yang meyakini kalau proses pembuatan besek dan distribusinya kurang higienis.

Sebagai wadah ramah lingkungan, penggunaan besek sama halnya dengan plastik ramah lingkungan yang sudah diproduksi beberapa tahun terakhir. “Keuntungan lain karena menggerakkan ekonomi pedesaan, besek dibuat di desa dan menumbuhkan ekonomi kerakyatan,” kata Prof Hardinsyah, Senin (12/08) .

Menurut Hardinsyah, penggunaan besek dan plastik ramah lingkungan dalam waktu bersamaan bukan masalah. Yang membedakan hanyalah soal harga. Besek bambu lebih mahal daripada plastik ramah lingkungan.

Besek bambu dijual mulai Rp2.000 per satuan dengan ukuran 10×10 centimeter dan Rp3.000 untuk ukuran 20×20 centimeter. Sementara untuk plastik ramah lingkungan, seperti produksi Sinar Joyoboyo Magelang, beberapa situs jual beli membanderol Rp20.000 hingga Rp30.000 per boks dengan isi 50 kantong.

Plastik tersebut disebut-sebut bisa terurai dalam tanah antara 24-36 bulan, lebih kuat dan aman untuk wadah makanan, terbuat dari tepung bahan pangan, serta tersertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Lebih jauh, lanjut Hardinsyah, penggunaan besek atau pun plastik ramah lingkungan tak berpengaruh terhadap kualitas daging kurban, di mana daging mentah paling lama empat jam harus diolah jika tidak dimasukkan ke dalam ruang pendingin.

Di sisi lain, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono, menyebut fungsi penggunaan besek dan plastik ramah lingkungan tak memiliki perbedaan mendasar karena sama-sama ramah lingkungan. Agus menyebut bahwa besek bambu secara fungsi hanya sebagai kemasan.

Agus pun tak mempermasalahkan penggunaan besek dan plastik ramah lingkungan secara bersamaan. “Cepat atau lambatnya terurai di alam, besek dan plastik ramah lingkungan tidak memiliki perbedaan. Hanya besek mungkin masih dapat dipergunakan kembali sebagai wadah lain sebelum rusak,” kata Agus.

Penggunaan Plastik Tetap Tak Ramah Lingkungan

Beda dari Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Dwi Sawung, yang menyebut penggunaan plastik bersamaan dengan besek bambu, dinilai mubazir. Lagipula, menurut Sawung, sejauh ini belum ada plastik ramah lingkungan berbahan dasar bambu seperti yang disebutkan pihak Masjid Istiqlal sebelumnya.

“Setahu saya belum ada plastik berbahan bambu. Secara umum, yang ada itu plastik berbahan dasar singkong, tapi penggunaannya bukan untuk pasar Indonesia. Produksinya sih di Indonesia, ada pabriknya di Tangerang, tapi kayaknya belum dijual di Indonesia, untuk pasar ekspor,” kata Sawung saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (12/08).

“Yang ada itu plastik seolah-olah ramah lingkungan, plastik biasa dicampur dengan suatu bahan sehingga mudah terurai. Setahu saya yang ada ya plastik seperti itu, yang biasa disebut bio plastik.”

Menurut Sawung, penggunaan besek bambu memang ramah lingkungan, terlebih bambu sendiri memiliki umur yang pendek. Lalu, lanjutnya, bambu juga bisa menyerap cairan dari daging yang ditampung di dalamnya. “Kalau kita menanam bambu kan delapan bulan kemudian bisa dipanen untuk dipakai buat besek. Justru plastiknya itu yang aneh, kenapa sudah pakai besek tapi masih pakai plastik lagi gitu,” ucap Sawung.

Terkait plastik alternatif yang berbahan dasar nabati, yang dikenal dengan bioplastik, sebetulnya memang sudah ada di Indonesia. Bioplastik  sendiri merupakan bahan pengganti plastik yang terbuat dari bahan-bahan biotik seperti jagung, singkong, atau mikrobiota, dan bukan polystyrene seperti pada kantong plastik kebanyakan.

Misalnya langkah terbosan yang dilakukan Kevin Kumala, CEO Avani Eco, salah satu perusahaan start-up berbasis sains. Avani Eco menyediakan produk bioplastik yang terbuat dari pati singkong dan bukan polystyrene seperti pada kantong plastik kebanyakan. Produk yang sudah dipasarkan di antaranya adalah sedotan bioplastik, gelas minum bioplastik, wadah makanan bioplastik, bahkan ada juga kantong berlabel “I am not plastic.”

Kevin pun memilih dan memakai bahan baku singkong dengan pertimbangan biaya yang lebih ekonomis dibanding jagung yang biasanya dipakai negara-negara di Eropa, yang tentu berbiaya mahal. Singkong yang digunakan sebagai bahan dasar plastik tentu sudah melewati lulus toxicity test dan aman jika produk hasilnya dikonsumsi hewan laut. Nah, bioplastik produksi Avani itu ternyata sanggup larut dalam air panas.

Tak hanya itu, plastik itu juga akan melunak jika berada di dalam air dingin, lalu berubah menjadi karbondioksida, air, dan biomassa secara alami. Sayangnya, penggunaan bioplastik ini masih rendah lantaran harga jual yang masih tinggi di pasaran.

Ternyata Plastik Ramah Lingkungan Banyak Jenisnya, Apa Saja?

Sementara itu, seiring kemajuan teknologi, jenis-jenis plastik pun jadi beragam. Perlu diketahui bahwa plastik terbuat dari molekul yang disebut polimer, yang terdiri dari ribuan atom yang dihubungkan bersama dalam suatu rantai. Plastik bersifat padat, kuat, sekaligus lentur.

Dalam perkembangannya, ada yang namanya plastik biodegradable yang disebut-sebut bisa terurai dengan lebih cepat. Meski begitu, plastik jenis ini juga harus dipahami betul dan tentunya harus digunakan secara bijak.

Pasalnya, masih banyak masyarakat yang salah kaprah terhadap plastik jenis biodegradable lantaran banyak yang masih berpikir kantong plastik tersebut bisa terurai dengan cepat. Padahal kantong plastik biodegradable itu tidak sepenuhnya terurai.

Ternyata memang ada kondisi-kondisi tertentu juga yang memungkinkan plastik itu bisa terurai. Untuk kondisi di laut yang dingin, gelap, plastik tentu akan sangat sulit terurai. Dalam kategorinya, jenis plastik oxodegradable memiliki kondisi yang sangat terbatas untuk bisa cepat terurai, lalu plastik jenis biodegradable lebih baik, dan yang paling cepat terurai adalah plastik compostable. Sebagai tambahan, plastik jenis oxodegradable dan biodegradable jika terurai pun masih menjadi bubuk plastik.

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kantong plastik berjenis biodegradable, bahkan ternyata masih utuh setelah tiga tahun di laut atau terkubur di bawah tanah lantaran tidak terurai.

Dalam penelitian tersebut, para penulis seperti Imogen Napper dan Richard Thompson di University of Plymouth, telah menguji tas-tas plastik jenis kompos, biodegradable, oxo-biodegradable (terurai karena bereaksi dengan panas dan oksigen sehingga plastik pecah jadi molekul kecil yang bisa diurai oleh mikroorganisme jadi C02, H2O dan biomassa), dan polietilena konvensional (PE) di tiga lingkungan alami yang berbeda, yakni terkubur di tanah, di luar ruangan yang terpapar udara serta sinar matahari, dan terendam dalam air laut.

Hasilnya, ternyata tak satu pun tas-tas itu rusak sepenuhnya di semua lingkungan yang diuji. Secara khusus, kantong biodegradable mampu bertahan di tanah dan laut hampir tanpa kerusakan. Faktanya, plastik biodegradable terbuat dari molekul-molekul yang dapat terurai secara alami, tapi tidak ada skala waktu spesifik untuk degradasi ini bahkan dalam beberapa kondisi dibutuhkan waktu bertahun-tahun.

Pada intinya, baik istilah plastik biodegradable maupun plastik compostable (dapat menjadi kompos) tidak menunjukkan kemampuan materi untuk terurai dengan cepat di lingkungan. Dalam studi tersebut, kantong plastik kompos hancur terpapar ke udara dan di laut, tetapi masih terkubur di tanah setelah lebih dari dua tahun.

Dalam hal ini, waktu yang diperlukan plastik untuk terurai pun jadi bervariasi. Misalnya plastik biodegradable baru akan terurai dalam setahun pada lingkungan hangat. Sementara pada lingkungan lembab atau dingin, proses degradasi terjadi dalam dua sampai tiga tahun. Meski begitu, degradasi ini masih tercatat jauh lebih cepat ketimbang plastik konvensional yang butuh waktu untuk terurai selama puluhan hingga ratusan tahun.

Sementara itu, jenis plastik yang dapat terurai lainnya terbuat dari plastik oxo-biodegradable, yang merupakan jenis plastik konvensional, namun mengandung zat aditif. Dalam prosesnya, zat aditif ini memungkinkan plastik untuk bereaksi dengan oksigen yang memecahnya, sehingga mempercepat reaksi degradasi yang bisa terjadi selama ratusan tahun.

Tapi plastik jenis ini juga agak kontroversial. Ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka tidak terurai sepenuhnya seperti yang diklaim produsen mereka, tetapi malah terurai menjadi plastik mikro yang malah bisa bertahan di lingkungan.

Share: Sudah Pakai Besek Bambu, Kenapa Pakai Plastik Lagi?