Isu Terkini

Sudah Mengutuk, Ini yang Bisa Indonesia Lakukan untuk Bantu Palestina

Irfan — Asumsi.co

featured image
Tangkapan Layar YouTube/Reuters

Peningkatan tekanan Israel atas Palestina yang terjadi dalam satu bulan terakhir mendapat kecaman dari sejumlah negara dan lembaga. Satu per satu, kecaman muncul mengomentari bahwa apa yang dilakukan oleh Israel adalah tindakan salah dan harus segera dihentikan.

Di Indonesia, Presiden Joko Widodo telah mengutuk agresi militer Israel yang brutal itu. Diikuti oleh pernyataan sejumlah lembaga, seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, hingga Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (Ormas/LSM) yang tergabung dalam Indonesian Humanitarian Alliance (IHA) dan Tokoh Penggerak Aksi Kemanusiaan Lintas Agama.

Cukupkah sampai di situ?

Peneliti Haifa Institute Gilang Al Ghifari Lukman kepada Asumsi menyebut Indonesia memang telah melakukan banyak hal dalam memperjuangkan nasib Palestina. Dari sekian upaya yang dilakukan sejak 1945, diplomasi masih menjadi tulang punggung Indonesia dalam kerja-kerja pengentasan krisis di Al-Quds.

Baca juga: Efektifkah “Kutukan” Pimpinan Negara Untuk Israel? | Asumsi

Mengacu pada penelitian yang ia tuangkan dalam jurnal bertajuk “Whither Israel’s Annexation Plan: An Indonesian Perspective”, Gilang menyebut gairah mendukung perjuangan Palestina tidak hanya dilakukan oleh aktor negara, tetapi juga non-negara. Pembangunan Rumah Sakit Indonesia-Gaza jadi salah satu bentuk konkret hubungan baik dan dukungan Indonesia atas Palestina.

Namun, Gilang menilai, sikap tradisional solidaritas seperti ini kurang berdampak untuk membujuk Israel membatalkan aspirasi ekspansionisnya di Tepi Barat. Penilaian ini karena beberapa alasan. Salah satunya, fakta bahwa Israel masih membuat rencana aneksasi, meskipun resolusi PBB beberapa kali mengutuk praktiknya.

Di lain sisi, Israel menikmati perlindungan tanpa henti dari AS, yang telah membatalkan lebih dari 44 resolusi yang mengkritik Israel sejak 1970. Dengan begitu, meski berpengaruh, kekuatan diplomasi ini cukup terbatas.

“Bukan berarti langkah yang sudah diambil itu tidak baik. Seperti mengadvokasi Palestina di PBB, lalu gerakan grassroots untuk mengumpulkan donasi, tapi alangkah lebih bagus jika ditambah dengan strategi lain,” kata Gilang.

Mengacu pada riset Gilang, meski pemberian bantuan sudah membantu meringankan kesulitan orang-orang Palestina yang dijajah, namun upaya ini tidak menyelesaikan penyebab penderitaan mereka. Asumsi bahwa bantuan finansial semata bisa memecahkan masalah Palestina tidak berbeda dari pola pikir menggurui yang mendasari Visi Trump, yakni ilusi bahwa yang dibutuhkan Palestina adalah pembangunan dan bukan kemerdekaan. Padahal, di luar ketidakadilan ekonomi, masalah politik yang tidak terpenuhi adalah Palestina punya hak untuk menentukan nasib sendiri.

Dengan demikian, resolusi konflik hanya bisa dicapai melalui penyelesaian politik yang adil, setara, dan representatif.

Terkait hal ini, yang mungkin dilakukan Indonesia di antaranya menengahi rival internal di Palestina antara faksi Fatah dan Hamas. Pemerintah persatuan adalah sine qua non bagi perjuangan Palestina. Apalagi perselisihan internal tidak hanya akan memberi jalan bagi umur panjang Israel, tetapi juga melemahkan legitimasi Palestina di depan sekutu dan pendukungnya.

Dengan masyarakat yang majemuk dan faksi yang banyak di kancah politik, ada tiga isu yang jadi konsensus di Palestina, yakni diberhentikannya pendudukan militer atas wilayah Palestina, terutama Tepi Barat dan Gaza, melarang pembangunan pemukiman ilegal, dan pemerintah persatuan. Dari tiga konsensus ini, yang tidak melibatkan Israel hanyalah poin ketiga, yakni pemerintah persatuan.

“Masalahnya ini tidak banyak yang anggap serius oleh banyak negara termasuk Indonesia. Padahal tanpa unity government, perjuangan Palestina akan sangat rapuh,” ucap dia.

Ruang ini disebut Gilang kosong. Negara Arab yang selama ini diharapkan Palestina, seperti memunggungi perjuangan Palestina. Beberapa negara kunci bahkan menormalisasi hubungannya dengan Israel. Saking kecewanya, Palestina bahkan memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai pimpinan pada pertemuan Liga Arab September lalu. Ini bukti kalau mereka mencari partner baru.

“Ini potensial buat Indonesia. Apalagi Indonesia punya prestasi pada perjanjian Indonesia-Portugal tentang Timor Leste dan memorandum Indonesia-Gerakan Aceh Merdeka. Indonesia memiliki peringkat tinggi dalam Matriks Kesepakatan Perdamaian dengan skor implementasi 85 hingga 95 persen. Ini bisa meningkatkan soft power Indonesia juga sebagai perantara damai,” ucapnya.

Baca juga: Pro Palestina Bukan Berarti Anti Yahudi, Ini Alasannya | Asumsi

Nilai plus lain, berbeda dengan negara lain, Indonesia tidak anti-Hamas. Seperti diketahui, Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza sering dikaitkan pada gerakan terorisme. “Kita memang berhubungan dengan PLO, tapi tidak anti Hamas, cenderung netral, sehingga kita bisa diberi kepercayaan lebih dari faksi Hamasnya,” ucap dia.

Langkah lain adalah menggalakkan boikot produk Israel atau yang mendukung agresi Israel. Strategi ini penting untuk menekan Israel agar mematuhi hukum internasional. Termasuk di dalamnya menghentikannya penjajahan, memberikan kesetaraan penuh kepada warga Arab-Palestina, dan memenuhi hak pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah mereka.

Saat ini, gerakan boikot juga lebih terarah karena di awal tahun 2020, PBB mengeluarkan daftar 112 perusahaan yang terlibat dalam pendudukan Israel di Palestina. Ini bisa menjadi solusi dari gagasan boikot di Indonesia yang selama ini hanya mengandalkan sentimen emosional dan tanpa tujuan yang dapat diukur. Asal berbau Barat, langsung diboikot. Padahal, 112 perusahaan yang masuk daftar PBB sudah dicermati secara mendalam terkait keterlibatannya dalam agresi Israel di Palestina.

“Kita jangan sok tahu dalam membela Palestina. Misalnya Palestina butuhnya a, b, c, tapi kita memberi x, y, z. Gerakan boikot ini bagi banyak ormas di Palestina adalah hal yang bisa diseriusi,” ucap Gilang.

Namun, tentu bukan sebentar untuk mencapai tujuan dari gerakan boikot. Afrika Selatan mungkin bisa jadi salah satu contoh sukses gerakan boikot dan berkontribusi pada runtuhnya rezim apartheid di 1994. Dimulai pada 1960-an, gerakan boikot di Afrika Selatan sempat diragukan karena ekonomi di sana justru membaik 20 tahun kemudian. Tetapi, ketika kampanye terus digalakkan dan ada pergeseran opini publik terutama di Eropa, membuat Afrika Selatan terisolasi secara internasional dan runtuh.

Publik juga sering dibuat pesimistis dengan gerakan boikot. Apalagi untuk Israel yang tidak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia. Namun, Gilang memastikan, imej Israel akan baik-baik saja meski diboikot adalah bagian dari propaganda Israel itu sendiri.

“Padahal di balik layar mereka menyiapkan jutaan dolar untuk melawan kampanye BDS (Boycott Divestment and Sanctions-kampanye gerakan melawan Israel), bahkan ada komite khusus untuk mendeligitimasi perjuangan gerakan boikot ini. Indonesia jangan sampai kalah dengan Irlandia yang sudah menyiapkan RUU-nya (RUU untuk turut memboikot 112 perusahaan dalam daftar PBB),” ucap Gilang.

Share: Sudah Mengutuk, Ini yang Bisa Indonesia Lakukan untuk Bantu Palestina