General

Sontoloyo vs Tampang Boyolali, Mana yang Lebih Mendingan?

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Baru-baru ini kata “sontoloyo” dan “tampang Boyolali” jadi bahan perdebatan di berbagai lini media massa. Istilah “sontoloyo” ramai saat calon Presiden petahana nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) dua kali mengucapkan kata itu. Jokowi sendiri menggunakan kata itu sebagai luapan kekesalan terhadap politikus yang kerap mengadu domba. Pertama, diucapkan saat penyerahan sertifikat tanah gratis kepada 5.000 warga DKI Jakarta di Kebayoran Lama, 23 Oktober. Kedua, saat membuka Trade Expo Indonesia di Tangerang, Banten.

Sedangkan untuk kata “tampang Boyolali” sendiri merujuk pada pernyataan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto saat peresmian Kantor Badan Pemenangan Prabowo-Sandi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Selasa, 30 Oktober 2018. Dalam pidatonya, Prabowo menyindir keadaan ekonomi rakyat menengah ke bawah yang kerap tersudutkan dengan kemewahan pembangunan di Jakarta.

“Tapi saya yakin kalian tidak pernah masuk ke hotel-hotel tersebut. Betul? Kalian kalau masuk, mungkin kalian diusir. Karena tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang-tampang kalian, ya tampang Boyolali ini, betul?” ujar Prabowo setelah menyebutkan nama-nama hotel bergedung tinggi yang ada di kota metropolitan.

Dua kata itu tentunya sama-sama berpotensi memiliki konotasi negatif dan akan sangat mudah dipolitisasi. Beberapa orang beranggapan bahwa ucapan sontoloyo itu tidak pantas diungkapkan oleh seseorang sekelas pemimpin negara. Begitu juga dengan ujaran tampang Boyolali, yang sebagian orang menganggap bahwa itu adalah bentuk penghinaan untuk warga di wilayah tersebut.

Tapi, tentu saja kedua ucapan itu sama-sama dibela oleh pendukung mereka masing-masing. Pendukung Jokowi menganggap sontoloyo hanyalah umpatan kekesalan yang tidak sengaja diucapkan. Sedangkan pendukung Prabowo mengatakan bahwa tampang Boyolali adalah bentuk bercanda di sela-sela pidato.

Entah mana yang benar dan mana yang salah, tentunya baik Presiden Jokowi maupun Prabowo perlu belajar dari pengalaman. Bahwa, setiap gerak gerik mereka yang terekam di media akan bisa digiring ke berbagai permasalahan.

Contohnya saja, dampak dari pernyataan tampang Boyolali itu, seorang pria kelahiran Boyolali bernama Dakun melaporkan Prabowo ke Polda Metro Jaya. Ada pula ribuan warga yang sempat memadati Balai Sidang Mahesa Boyolali pada Minggu, 4 November 2018 untuk memprotes pernyataan Prabowo tersebut.

Bahkan, Bupati Boyolali Seno Samodro sampai mengajak warganya untuk jangan memilih calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. “Saya tegaskan, karena ini Forum Boyolali Bermartabat, tidak usah menjelek-jelekkan Prabowo. Kita hanya sepakat tidak akan memilih capres yang nyinyir terhadap Boyolali. Setuju?” kata Seno ketika berorasi dalam aksi ‘Save Tampang Boyolali’ yang digawangi oleh Forum Boyolali Bermartabat, di gedung Balai Sidang Mahesa, Boyolali.

Saat ini memang masyarakat di Indonesia cukup mudah mengumpulkan massa, hanya untuk bereaksi atas ucapan-ucapan yang diungkapkan oleh politisi yang sekarang sedang asyik-asyiknya berkompetisi sebelum pencoblosan di Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

Namun ujaran antara sontoloyo dan tampang Boyolali, keduanya masih sama-sama lebih baik daripada politisi yang mencolek isu agama yang berpotensi memecah belah bangsa. Setidaknya, kedua ucapan itu punya sisi positifnya jika benar-benar memahami konteks yang dibicarakan. Seperti yang dikatakan juru bicara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Faldo Maldini, bahwa arah pidato Prabowo itu adalah tentang kesejahteraan rakyat.

“Saya berharap isu ini mengarah ke substansi, kenapa kesejahteraan pedesaan gagal terangkat? Jangan dipelintir untuk memancing kebencian. Siapa pun yang menang, warga harus jadi yang paling untung,” kata Faldo.

Ujaran Jokowi yang mengatakan, “Hati-hati banyak politikus baik-baik tapi banyak juga politikus sontoloyo,” itu juga punya kesan positif jika mau jujur dan mengakui bahwa di dunia politik tidak semuanya benar-benar ingin mensejahterakan rakyat, tapi ada juga yang hanya menginginkan jabatannya saja. Makanya secara litterlijk, kata sontoloyo sendiri punya arti konyol, tidak beres, yang istilahnya biasa digunakan sebagai makian ataupun umpatan.

Jika Prabowo dalam ucapannya menginginkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan Jokowi dalam ujarannya menginginkan rakyat tidak mudah tertipu dengan politisi yang suka mengadu domba. Maka, keduanya sama-sama punya niat yang baik, bukan? Namun, tentunya perlu belajar lagi dalam memilih kata yang baik khususnya di depan publik.

Sebab, sudah ada politisi yang dipenjara hanya karena sepatah ucapan.

Winda CS adalah penulis tetap Asumsi.

Share: Sontoloyo vs Tampang Boyolali, Mana yang Lebih Mendingan?