Isu Terkini

Situasi di Luar DPR Ricuh, Bagaimana di Dalam?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Pada mulanya adalah berbagai rancangan undang-undang yang bermasalah, kemudian kritik yang tak digubris. Alih-alih mendengar dan melibatkan masyarakat, para anggota DPR malah menggelar rapat pembahasan RUU KUHP secara tertutup di sebuah hotel di Senayan. Revisi dan pengesahan UU KPK digarap selama 15 hari saja terlepas dari banyaknya protes. Maka habislah kesabaran masyarakat. Dipimpin mahasiswa, masyarakat sipil menuntut langsung dengan turun ke jalan.

Setelah berunjuk rasa di depan gedung DPR sejak sepekan lalu, DPR akhirnya bersedia menemui perwakilan pedemo (23/9). Pertemuan di Balai Legislatif DPR ini tak berbasa-basi—setidaknya dari pihak mahasiswa. Supratman Andi Agas selaku perwakilan DPR membuka pertemuan itu. Ia memperkenalkan anggota-anggota lain yang hadir dalam pertemuan, yaitu Masinton Pasaribu selaku anggota Komisi III dan Heri Gunawan selaku anggota Komisi XI. “Saya dengan senang hati membuka acara ini. Saya tidak tahu—UU Pertanahan juga menjadi concern teman-teman atau tidak? Atau hanya dua ini (UU KPK dan RKUHP)?” tanyanya.

Manik Marganamahendra, Presiden BEM UI, membalas dengan bertanya apakah para perwakilan DPR ini sudah membaca lembar kesepatan yang mereka buat dengan Sekjen DPR RI pada 19 September lalu. Salah satu isinya adalah permintaaan agar DPR RI untuk tidak mengesahkan RUU yang bermasalah, termasuk RUU KUHP, Pertanahan, Pemasyarakatan, Ketenagakerjaan, Minerba, dan Sumber Daya Air.

“Pertanyaan saya sederhana, Pak. Sangat-sangat sederhana. Apakah Bapak mengetahui hasil kesepakatan kami tanggal 19 September kemarin? Apakah Bapak-bapak sekalian mendengar apa yang kami minta dan tuntut?” tanya Manik.

Para perwakilan DPR mengaku tidak mengetahui isi perjanjian antara mahasiswa dan Sekjen DPR RI. “Lho, ada kesepakatan dengan Sekjen? Tolong dijelaskan saja adik-adik. Kita kan tidak mau debat kusir. Kami ingin mendengar apa tuntutan adik-adik sekalian,” kata Supratman.

Mereka beralasan Kesekjenan lebih mengurus hal-hal yang bersifat administratif. Untuk penyampaian aspirasi, seharusnya mahasiswa langsung datang kepada anggota-anggota DPR.

“Lantas ke mana Bapak pada tanggal 19 September kemarin sampai harus diwakili oleh Sekjen?” tanya Manik lagi. Para perwakilan mahasiswa menolak menjelaskan ulang kepada DPR aspirasi yang telah mereka sampaikan sebelumnya. Mereka menyayangkan sikap DPR yang berbelit-belit bicara tentang birokrasi. Para mahasiswa juga menyatakan bahwa DPR tidak mendengarkan aspirasi rakyat.

“Sudah jelas ya, Teman-teman. DPR kita hanya mempermasalahkan birokrasi tetapi tidak mendengarkan masalah rakyat,” kata Manik.

Perwakilan mahasiswa yang terdiri dari 60 orang dari berbagai universitas seperti Trisakti, UI, Universitas Islam Riau, dan lain-lain ini kemudian menyampaikan mosi tidak percaya kepada DPR, yang dikatakan Manik sebagai singkatan dari Dewan Pengkhianat Rakyat.

Tak memberi kesempatan pada perwakilan DPR untuk menanggapi, para mahasiswa langsung beramai-ramai keluar dari ruang Balai Legislatif sembari berseru, “Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!”

Di Luar dan di Dalam DPR

23 September 2019, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas memenuhi kawasan pagar gedung DPR RI. Tak hanya di Jakarta, aksi juga terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia. Dengan tagar media sosial yang disesuaikan dengan kota masing-masing, mahasiswa di Yogyakarta, Malang, Lampung, dan Jember, dan daerah-daerah lain menolak berbagai RUU yang bermasalah.

Mereka juga mempermasalahkan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, seperti kekerasan terhadap warga sipil Papua, kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan, dan lain-lain. Tagar #HidupMahasiswa dan #ReformasiDikorupsi pun ramai dipakai orang di media sosial.

Kegentingan itu tak sampai ke dalam gedung DPR. Selagi para mahasiswa berteriak-teriak menuntut, para pimpinan DPR dan anggota Komisi III mengikuti sebuah acara peluncuran buku berjudul Selayang Pandang: Evaluasi penegakan hukum di Indonesia 2014-2019. Sejumlah pimpinan DPR, Kemenkumham, Polri, Komnas HAM, dan KPK berkumpul bersama melakukan kegiatan simbolik gunting pita, berfoto-foto di depan pameran foto, dan menghadiri talkshow. Acara ini dikatakan sekaligus menjadi acara perpisahan bagi anggota Komisi III DPR RI.

Dalam talkshow peluncuran buku, demonstrasi mahasiswa di luar gedung tidak disinggung sama sekali. Fahri Hamzah sebagai salah satu narasumber diskusi justru berkomentar pahit tentang orang-orang yang tidak menginginkan RKUHP. “RUU KUHP yang terang benderang adalah karya anak bangsa, bukan karya kolonial, malah ditentang,” ujarnya. Ia menganggap penolakan terhadap RUU KUHP sama saja dengan menyetujui isi KUHP saat ini.

“Kok bisa ada orang yang menentang hasil pikiran bangsa sendiri sambil membangga-banggakan undang-undang yang diproduksi dan berlaku lebih dari seratus tahun yang lalu. Dan kita masih menganggap itu jauh lebih baik dari karya anak bangsa dalam masa Reformasi, Pancasila, dan UUD 45,” lanjut Fahri.

Pernyataan Fahri ini juga pernah dilontarkan oleh Yasonna Laoly selaku Kemenkumham. Yasonna mengaku malu Indonesia masih menggunakan KUHP warisan Belanda. Ia juga mengatakan RUU KUHP lebih progresif dan sesuai dengan budaya Indonesia. “RUU KUHP ini cita rasa Indonesia, ini lebih Indonesia dari KUHP yang berlaku sekarang,” katanya (20/9).

Tak seperti mahasiswa yang menyerukan aspirasi-aspirasi mereka di luar DPR dengan penuh amarah—bahkan menuntut perwakilan DPR RI untuk keluar dan bertemu dengan mereka, suasana di dalam DPR cenderung tanpa tekanan. Rapat paripurna DPR (24/09) hanya dihadiri oleh 112 dari 560 anggota. Rapat yang seharusnya mulai pukul 10.00 pun mundur jadi pukul 11.47.

Sementara itu, pada waktu yang sama ketika mahasiswa diusir dari kawasan DPR dan ditembaki gas air mata oleh polisi, Bambang Soesatyo selaku Ketua DPR RI justru terekam kamera melecehkan seorang wartawan perempuan secara verbal dengan nada bercanda. “Ada (pertanyaan) lagi, Sayang?” katanya.

“Saya juga Pernah jadi Demonstran”

“Ya wajar-wajar saja,” kata Desmond Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, ketika ditanya pendapat tentang demo mahasiswa yang terjadi di luar gedung DPR (23/09). “Sebagai mantan aktivis, demo itu jadi suatu keharusan kalau ada hal-hal yang mesti dipertanyakan,” lanjut Desmond yang pernah jadi korban penculikan pada Kerusuhan Mei 1998.

Namun, Desmond juga berpendapat tuntutan-tuntutan mahasiswa terlalu memaksa. “Kalau dalam rangka memaksakan kehendak, ya agak lain. Ada upaya lain selain demo. Kalau kita bernegara yang benar, tidak puas dengan UU KPK, RUU KUHP, kan ada judicial review,” katanya.

Tak hanya Desmond, kata-kata “saya juga pernah jadi aktivis”, “pernah jadi mahasiswa”, atau “pernah jadi demonstran” memang kerap diumbar oleh politikus dan pejabat jika berhadapan atau ditanya tentang aksi mahasiswa. Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah, misalnya, mempersilakan para mahasiswa untuk melakukan aksi. Sebab, ia juga pernah jadi mahasiswa.

Ganjar menemui mahasiswa yang sedang berdemo di depan kantornya (24/09) setelah mereka memaksa keluar dan merobohkan pagar. Ganjar mengatakanakan menampung semua aspirasi dan tuntutan para mahasiswa, serta membawanya ke tingkat pusat.

Namun, kata-kata itu belum tentu berarti dukungan terhadap aksi demo besar-besaran ini. Selain Desmond, Fahri Hamzah sebagai mantan aktivis juga mempertanyakan aksi tersebut. “Ada semacam gumpalan amarah. Aneh menurut saya. Nggak wajar ini,” kata Fahri dilansir CNN(24/09).

Pertemuan mahasiswa dengan perwakilan Gerindra (23/09) juga memperlihatkan bagaimana kata-kata tersebut berujung pada promosi partai.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Andre Rosiade berkata kepada beberapa perwakilan mahasiswa di ruang fraksi Gerindra, DPR (23/09), bahwa ia pun pernah jadi demonstran. Ia juga mengaku pernah menjabat sebagai Presiden Mahasiswa Trisakti periode 2000-2001.

“Jadi bukan hanya teman-teman. Kita semua turut duduk di DPR ini,” kata Andre.

Dalam pertemuan itu, Andre membawa embel-embel Gerindra, terlepas dari aspirasi mahasiswa yang menginginkan aksi mereka tidak dipolitisasi. “Gerindra, sesuai dengan arahan Pak Prabowo, selalu menampung aspirasi masyarakat,” katanya kepada perwakilan mahasiswa.

Pernyataan ini langsung tak diterima oleh mahasiswa. “Tolong jangan ada embel-embel partai. Siapa yang menyampaikan kami ingin bertemu dengan fraksi Gerindra? Kami ingin bertemu dengan pimpinan dewan, bukan fraksi Gerindra,” kata seorang mahasiswa.

Arif Yogiawan dari YLBHI menyayangkan sikap DPR yang tidak memberikan respons apa-apa terkait tuntutan-tuntutan masyarakat. Sikap ini berbeda dari aksi-aksi mahasiswa di daerah yang menghasilkan kesepakatan antara peserta demo dan pemerintah daerah, seperti di Jember.

“Walaupun DPRD Jember tidak bisa melakukan apa-apa, tetapi paling tidak respons mereka baik. Sementara, di Jakarta, tidak ada respons dari DPR RI. Padahal aksi kekerasan terjadi di mana-mana. DPR tidak bisa diam saja dan menyerahkan penyelesaiannya pada aparat kepolisian,” kata Yogi.

Sementara itu, Erasmus Napitupulu dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP merespons pembelaan dari DPR dan Menkumham yang mengatakan revisi KUHP tidak pro-penjajah. “Berhenti bicara tentang dekolonialisasi (KUHP). Kami butuh KUHP yang betul-betul tidak kolonial. Untuk itu, hapuskan pasal-pasal yang pro-penjajah yang membungkam aspirasi masyarakat dan mengurus urusan privat,” seru Eras.

Selain DPR, politikus PDIP Eva Kusuma Sundari dan Wiranto selaku Menkopolhukam juga menyatakan bahwa aksi demonstrasi tidak relevan (24/09). Sebab Presiden telah meminta DPR untuk menunda pengesahan RUU bermasalah dan poin-poin desakan lain tidak relevan untuk disampaikan ke DPR RI.

Aksi demo #ReformasiDikorupsi #RakyatBergerak yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia ini terdiri dari tujuh desakan:

  1. Menolak RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan: Mendesak Pembatalan UU KPK dan UU SDA; Mendesak disahkannya RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga;
  2. Batalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR;
  3. Tolak TNI dan Polri menempati jabatan sipil
  4. Stop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik papua segera;
  5. Hentikan kriminalisasi aktivis;
  6. Hentikan pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang dilakukan oleh korporasi, dan pidanakan korporasi pembakar hutan, serta cabut izinnya;
  7. Tuntaskan pelanggaran HAM dan adili penjahat HAM; termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan; pulihkan hak-hak korban segera.

Share: Situasi di Luar DPR Ricuh, Bagaimana di Dalam?