Di Jakarta, keinginan memiliki rumah hanya angan-angan bagi banyak orang. Meski wilayah-wilayah penyangga ibu kota seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menawarkan banyak hunian layak huni, tetapi orang-orang tetap saja sulit menjangkaunya. Benarkah tak ada alternatif di antara menyewa terus-terusan dan berputus asa?
Harga rumah di sepanjang 2020 cenderung fluktuatif. Di awal tahun ini saja, rumah tipe kecil sempat diprediksi naik paling tinggi dibanding rumah menengah dan besar. Tren Harga rumah atau properti residensial di pasar primer pun melambat pada triwulan I 2020. Hal ini tampak dari Survei Bank Indonesia yang menyebutkan indeks harga properti residensial pada periode tersebut dengan indeks sebesar 211,93. Angka ini tumbuh 1,68 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sedangkan triwulan sebelumnya, pertumbuhannya 0,46 persen
Pertumbuhan harga properti tertinggi masih terjadi pada tipe rumah kecil yakni sebesar 2,83 persen secara tahunan dan 0,61 persen secara kuartalan, dengan indeks 251,53. Sementara pertumbuhan terendah terdapat pada rumah tipe besar yakni sebesar 0,86 persen secara tahunan dan 0,19 persen secara kuartalan, dengan indeks 177,56.
Namun, kondisi berubah drastis saat memasuki awal Maret ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia. Merebaknya kasus penyebaran virus SARS-CoV-2 di tanah air membuat harga rumah bekas atau second justru anjlok hingga 30 persen.
Penurunan harga ini sangat signifikan jika dibandingkan pada periode sebelum adanya pandemi COVID-19 yakni bisa 20-30 persen untuk properti seperti rumah mewah dan ruko strategis yang harganya di atas Rp1 miliar
Properti dengan harga di bawah Rp500 juta juga terkena imbas dan mengalami penurunan harga, meski tak separah properti dengan harga yang lebih tinggi. Penurunan harga rumah ini sebetulnya jadi kesempatan warga kelas menengah ke bawah untuk membeli rumah.
Tapi apa artinya kesempatan bila dana tetap tak memadai? Untuk urusan mewujudkan impian, kelas menengah kerap kali disalip oleh orang-orang kaya. Faktanya, penurunan harga rumah malah jadi momentum bagi para investor untuk berinvestasi.
Ketua Umum Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (Arebi) Lukas Bong mengatakan banyak investor yang sudah siap mencari properti yang tepat. Prinsipnya sederhana saja; siapa cepat, dia dapat. Saat seorang pemilik rumah berada dalam kondisi mendesak dan butuh uang, lalu terpaksa menjual rumahnya dengan harga jauh lebih murah, investor akan cekatan menyambar.
Menariknya, orang-orang yang berinvestasi di mata uang dolar juga bisa membaca momentum penurunan harga rumah ini sebagai peluang bagus. Bagi investor yang sebelumnya membeli dolar seharga Rp10.000/dolar, harganya saat ini bahkan mencapai Rp15.000/dolar.
“Ada naik 30 persen ditambah diskon properti 20-30 persen. Jadi kalau mereka jual dolar, lalu beli properti, mereka bisa dapat properti separuh harga kurang lebih. Diskon mereka dapat barang yang potongannya 50-60 persen. Itu luar biasa, nggak pernah terjadi sebelumnya,” kata Lukas, Selasa (19/05/20).
Kelas menengah ke bawah juga banyak yang pemasukannya terdampak COVID-19, seperti pemotongan gaji atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi ini semakin mempersempit peluang mereka.
Menurut data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR), ada penurunan minat masyarakat membeli rumah di tengah pandemi COVID-19. Direktur Utama PPDPP Arief Sabaruddin tak menampik hal itu, meski penyaluran Fasilitas Likuditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) terus dilakukan selama pandemi COVID-19 ini.
Catatan itu terlihat dari database management control PPDPP. Data yang bersumber dari aplikasi SiKasep (Sistem Informasi KPR Subsidi Perumahan) itu menunjukkan adanya tren penurunan pengajuan user SiKasep selama pandemi.
“Jika dalam kondisi normal (sebelum COVID-19), rata-rata tiap harinya masyarakat yang mendaftarkan diri sebagai user mencapai 3.000 calon debitur. Namun saat ini tidak sampai 1.000 user per harinya, menurun hingga sepertiga dari kondisi normal” kata Arief, Rabu (20/05).
Menurut Arief, hal itu terjadi karena kondisi perekonomian masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sedang dalam kondisi terdampak COVID-19. Tidak menutup kemungkinan berdampak juga kepada MBR yang telah menerima bantuan dan mulai kesulitan melakukan angsuran.
Berdasarkan data yang telah disampaikan oleh 37 bank pelaksana terkait debitur FLPP terdampak COVID-19, per Rabu (06/05), terdapat sekitar 273.980 debitur perlu mendapat perhatian khusus.
Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (IPW), menjelaskan bahwa di situasi saat ini, sebetulnya bargaining position itu ada di tangan pembeli, bukan di tangan penjual. Tinggal pilih, katanya, warga kelas menengah mau membeli rumah secondary atau rumah primary.
Menurut Ali, biasanya kalau rumah primary, saat ini banyak bonus-bonus, diskon-diskon atau cara bayar yang dipermudah oleh pihak pengembang.
“Nah, kelas menengah harus masuk ke sana. Memang belum semua, tapi ada beberapa pengembang yang mulai menawarkan itu. Misalnya minta dimundurin pembayarannya tiga sampai enam bulan, kemungkinan diizinkan karena pengembang butuh cashflow saat ini,” kata Ali saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (10/06).
Ali menyebut kondisi-kondisi seperti itu yang harus dimanfaatkan masyarakat kelas menengah. Sayangnya, situasinya justru berbeda, karena kelas menengah saat ini cashflow-nya agak terganggu. Pprioritas utama masyarakat kelas menengah saat ini bukan rumah, tapi lebih ke kebutuhan keluarga, pendidikan anak, dan sebagainya.
“Sekarang kondisinya yang punya uang sekarang jadi raja. Mereka masih punya potensi uang, masih bisa beli properti, bisa nawar dengan harga yang lumayan. Miris memang, tapi faktanya seperti itu, mau nggak mau.”
Sulitnya bersaing dengan kelas atas, ditambah kondisi ekonomi sulit semasa pandemi, membuat masyarakat kelas menengah tak mudah mendapatkan rumah dengan harga terjangkau. Terutama rumah-rumah di pinggiran ibu kota.
Terhadap masyarakat golongan menengah ini, Ali pun menyarankan agar mereka tak memaksa untuk membeli rumah di kondisi sulit saat ini. Menurutnya, perubahan perilaku pembeli itu nggak hanya terjadi saat pandemi saja, bahkan sebelum pandemi juga sudah ada.
“Saya bilang kalau kesulitan membeli rumah, ke pengembang harga rumahnya mahal, beli second nggak bisa atau susah KPR-nya, jadi mau nggak mau, yang paling realistis dilakukan adalah ya mencicil tanah. Beli tanah di daerah-daerah yang mungkin bukan perumahan klaster,” kata Ali.
“Saya mendorong itu ke komunitas-komunitas milenial, kalau belum cukup dana, jangan beli rumah, tapi beli tanah aja di wilayah penyangga ibu kota,” ujarnya menambahkan.
Tanah tersebut nantinya bisa dibangun rumah kapan saja. Meski memang ada ketentuan bahwa dalam jangka waktu tiga tahun, tanah hak milik yang dibeli itu mesti tidak boleh terlantar. Sebab berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang “Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Telantar”, ada ketentuan pengambilalihan tanah.
Dalam PP itu, objek tanah yang bisa diambil alih meliputi tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, namun tidak dipergunakan sesuai ketentuan selama tiga tahun. Tetapi pemerintah juga wajib memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali kepada pemegang hak tanah tersebut. Kalau sampai tidak ditanggapi, pemerintah baru bisa mengambil alih tanah terlantar tersebut.
Syariful, pengajar di Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Jakarta, mengurungkan niatnya membeli rumah dan mulai mencari-cari lahan kosong. Langkah itu tentu saja tak membuyarkan mimpi Syariful untuk memiliki rumah idaman, meski harus dibangun secara bertahap.
“Dulu sempat hampir jadi untuk membeli rumah KPR di daerah Cileungsi. Cuma karena kita mikir nggak mau berutang selama 10-20 tahun, jadi sabar dulu. Setelah dipikir-pikir dengan cermat, akhirnya kami batal ambil KPR, meski sudah membayar DP,” kata Syariful saat berbincang dengan Asumsi.co, Senin (01/06).
Menurut Arif, sapaan akrabnya, hanya kalangan menengah ke atas dan para pengusaha yang bisa dengan cepat membeli rumah. Sedangkan masyarakat menengah ke bawah kesulitan menjangkau itu, apalagi di kondisi seperti ini. Terlebih, ia juga khawatir dengan potensi kredit macet di kala cicilan rumah sedang berjalan.
“Dengan kredit macet kan tentu jadi menyulitkan orang-orang yang ambil rumah. Risiko seperti inilah yang saya hindari dan lebih memilih membangun rumah sendiri saja pelan-pelan.”
Awalnya, pria yang akrab disapa Arif itu langsung mengatur rencana untuk membeli tanah dengan cara menabung dulu setahun hingga dua tahun ke depan. Namun, pandemi COVID-19 justru mempercepat realisasinya untuk membeli tanah, mendahului target waktu yang ia pasang.
Dari informasi sejumlah orang yang hendak menjual tanahnya dengan harga miring, Arif pun mendapatkan dua lahan atau kavling tanah di wilayah Cileungsi, Jawa Barat. Dua tanah itu dibeli Arif dari dua orang yang mendesak butuh uang sehingga menjual tanahnya dengan harga terjangkau.
“Tanah pertama yang saya beli itu terjadi di awal pandemi COVID-19. Ada seorang pengusaha muda terpaksa menjual tanahnya untuk menutup cashflow usahanya yang terdampak pandemi. Ia ingin membayar gaji dan THR karyawannya.”
Menurut Arif, setelah negosiasi dengan penjual, kavling tanah pertama ini memiliki nilai jual objek pajak (NJOP) yang berkisar pada angka satu juta sampai dua juta rupiah. Padahal, ia memperkirakan NJOP di daerah Cileungsi berada pada angka dua jutaan rupiah.
“Dulu harganya sekitar satu juta setengah per meter, tetapi sekarang saya beli seharga satu juta, dengan total ukuran 10x15m. Hitungannya jadi 115 meter, dengan harga totalnya 115 juta. Tanah pertama ini saya bayar lunas.”
Selang dua minggu kemudian, di saat kasus positif COVID-19 terus melonjak dan kondisi ekonomi masyarakat juga semakin tertekan lantaran efek Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Arif mendapatkan tanah kedua dengan harga murah. Masih di daerah Cileungsi, tanah tersebut dijual oleh seorang karyawan yang baru saja kena PHK oleh tempatnya bekerja.
“Waktu itu di Cileungsi ini ada ratusan orang yang kena PHK. Saya dapat tawaran beberapa bidang tanah dari seorang karyawan yang sudah kena PHK. Lalu nego di daerah Cipenjo, Kecamatan Cileungsi, itu ukuran tanahnya 108 meter.”
Arif menawar tanah seukuran 108 meter ini dengan harga Rp100 juta. Kalau dihitung, harganya tak sampai satu juta rupiah per meter. Padahal, lanjutnya, NJOP di lokasi tanah kedua ini justru lebih besar ketimbang NJOP dari tanah yang pertama, dan lokasinya juga cukup strategis.
Berdasarkan kesepakatan bersama penjual, dengan sertifikat Akta Jual Beli (AJB), seperti tanah yang pertama juga, Arif akhirnya bisa mencicil dua kali pembayaran tanah keduanya ini. Ia pun membayar setengah dulu dari nominal harganya yakni Rp50 juta. Lalu, cicilan kedua diberikan tenggat waktu pembayaran hingga Agustus tahun ini.
“Sebenarnya ada opsi lainnya juga, saya diperbolehkan mencicil tanahnya sampai lunas. Tapi, karena si penjual mendesak membutuhkan uang, dan niat saya pun membantu korban PHK, jadi saya tetap cicil dua kali.”
Di Cileungsi, harga tanah tentu saja masih ada yang harganya terjangkau. Berdasarkan pantauan Asumsi.co di laman Lamudi, Jumat (12/06), ada tanah yang dijual seharga Rp1,2 juta per meter di Jalan Raya Jonggol Cileungsi, di seberang Perumahan Harvest City Cileungsi.
Sementara untuk harga jual tanah yang berlokasi di belakang kampus UI, Depok, ada yang mencapai 7,5 juta per meter, dengan total luas 1095 meter persegi, seperti dimuat di RumahDijual.com, Jumat (12/06).
Di laman Rumah.com, ada pula tanah kavling di Delima Townhouse seberang mal Cinere, Depok, Jawa Barat, yang dijual dengan harga Rp10 juta per meter dengan luas total 50 meter persegi. Sementara, harga tanah di Jalan Grand Wisata, Cikarang Pusat, Bekasi, Jawa Barat, ada yang berkisar pada angka Rp1,3 juta per meter. Lalu, apa kabar harga tanah di Jakarta?
Seperti dilansir Kompas, Jumat (05/06), Hendro Gondokusumo, pendiri PT Intiland Development Tbk dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Properti, menyebut penjualan properti di Pantai Mutiara, Jakarta, mengalami kenaikan pesat.
Tanah yang dulu sempat seharga Rp400.000 per meter persegi, ternyata tahun 1998 naik mencapai Rp1 juta per meter persegi. Sekarang, harga tanah melejit mencapai Rp35 juta-Rp40 juta per meter persegi.
Kondisi pandemi COVID-19 tak hanya dimanfaatkan Arif untuk membeli tanah dan berencana membangun rumah. Seorang karyawan swasta yang bekerja di Jakarta, Rahmat Tata, juga mendapat berkah di tengah situasi sulit ini.
Niat Tata yang hendak merenovasi rumahnya di Bekasi sempat terganjal masalah upah tukang yang lumayan besar. Padahal, tahun sebelumnya, Tata juga pernah merenovasi rumah dengan upah yang murah dan kualitas bagus. Namun, beda dengan sekarang, di mana upah tukang justru melonjak tinggi.
“Bulan Maret pas dapat bonus, rencana mau renovasi rumah. Tapi bonusnya jauh dari yang diprediksi. Maksudnya untuk upah tukang misalnya selama 25 hari, kalau dihitung-hitung sekitar enam jutaan,” kata Tata saat dihubungi Asumsi.co melalui sambungan telepon, Kamis (04/06).
“Tapi ya ada uangnya segitu untuk upah tukangnya aja, untuk dana material bangunannya malah bingung juga, kayaknya pengeluarannya bakal banyak.”
Dikutip dari laman BintoroBuild.com, estimasi biaya renovasi rumah memang lumayan besar. Untuk biaya tenaga kerjanya saja, itu bisa dibagi jadi beberapa pilihan. Untuk sistem harian, biaya sekitar Rp125.000-Rp150.000 per hari.
Sementara sistem borongan, estimasi biaya sekitar Rp600.000-Rp800.000 per meter persegi. Biaya untuk sistem ini memang lebih mahal karena perhitungan biaya didasarkan luas proyek renovasi.
Terakhir, sistem borongan penuh, dengan rata-rata biaya sekitar Rp3 juta hingga Rp5 juta per meter persegi. Pada sistem ini, pemilik rumah tak perlu repot membeli bahan material renovasi karena semuanya sudah dikerjakan pemborong. Pemilik rumah cukup memberikan spesifikasi material atau bentuk renovasi saja.
Namun, masalah terpecahkan di saat Tata berhasil mendapatkan cicilan alias ngutang untuk membeli bahan bangunan di sebuah toko material. Sehingga, ia tak banyak membutuhkan uang dengan jumlah besar dalam satu waktu dan dana yang ada bisa dialihkan untuk upah tukang.
“Ternyata saya nemu di Google, ada toko bangunan yang bisa ngasih cicilan. Pas saya tanya apakah bisa ngutang dulu untuk beli bahan bangunan. Ternyata bisa dan saya pun senang.”
Beberapa waktu kemudian, Tata datang kembali ke toko bangunan tersebut untuk memulai proses mencicil bahan bangunan. Pihak toko pun hanya memberi dua syarat yang harus dipenuhi Tata agar bisa berhutang di situ yakni tahan BPKB motor dan harus belanja minimal sejuta atau dua juta sebagai tanda jadi.
“Setelah itu prosesnya normal sih, kita yang ambil barang aja terus. Lumayan sih kemarin saya ambil barang dan bahan bangunan sampai 13 jutaan gitu. Memang nggak ada batasan mau ngutang berapa. Cuma saya ngerasa nggak enak juga mau ambil banyak dan melebihi nominal itu.”
Menurut Tata, adanya cicilan di toko bangunan tentu saja sangat membantu apalagi di tengah pandemi yang juga berdampak pada kondisi ekonomi. “Jadi terasa ringan aja, biaya kehidupan sehari-hari juga jadi aman. Dengan tidak mengeluarkan dana besar sekaligus itu sangat membantu.”
Untuk cicilan per bulannya, Tata menyebut pihak toko bangunan tak mematok nominal, bahkan membebaskan kepadanya. “Ibunya bilang ‘terserah bapak mau berapa, yang penting ada aja setiap bulan’, beliau bilang gitu. Tapi karena ngerasa nggak enak juga, jadi saya yang netapin sendiri dengan bayar sejuta per bulan, jadi totalnya 13 bulan cicilan dan pihak toko pun setuju saja.”
Pada akhirnya, dari generasi ke generasi, ekspektasi kita terhadap rumah di ibu kota terasa semakin jauh dari harapan. Di saat generasi orang tua kita sanggup punya rumah di Jakarta, generasi kita hanya sanggup punya rumah di pinggir Jakarta. Lantas, apa kabar generasi di bawah kita?