Isu Terkini

Cerita Silat Gus Dur Meredam Tarawih dan Yesus

Aan Anshori — Asumsi.co

featured image

Jika pernah melaksanakan salat tarawih di Masjid al-Akbar Surabaya, Anda pasti menyaksikan mekanisme unik dua model salat ini: faksi 8 rakaat yang identik dengan Muhammadiyah dan kelompok Nahdlatul Ulama (NU) yang keukeuh dengan  20 rakaat.

Saat tarawih di masjid tersebut telah mencapai 8 rakaat, imam salat mundur, diikuti jamaah pengikutnya. Posisi “sopir” tarawih kemudian diganti wakil kelompok NU yang melanjutkan hingga mencapai 20 rakaat.

Inilah model kompromi ideal ketika sebuah masjid/mushala gagal dimonopoli oleh salah satu dari dua organisasi raksasa Islam di Indonesia. Model ini sekaligus mengajarkan upaya saling menghormati setiap keyakinan masing-masing terkait bilangan rakaat tarawih.

Sebab, di beberapa tempat, jumlah tarawih acapkali terlalu serius diperdebatkan sehingga memperuncing ketegangan. Ketidakdewasaan menyikapi ini hanya berujung pada menguatnya sentimen negatif antarkelompok yang berpotensi merusak relasi baik selama ini.

Meski kedua kelompok sama-sama punya argumentasi (hujjah) kuat, namun saling olok antarmereka tak terelakkan. Rekaman historik ini, salah satunya, dicatat dalam karya etnografis, The Religion of Java.

Dalam buku itu, Cliffort Geertz menulis, “The NU people say the modernists are lazy and not very much interested in religion anyway. The modernists say that, although they do fewer prayers, they perform them more carefully and with greater understanding of the meaning of what they do…

Warga NU menilai kelompok modernis (Masyumi dan Muhammadiyah) malas dan tidak tertarik beribadah. Klaim ini ditolak kelompok modernis. Meski bertarawih lebih sedikit, mereka yakin melakukannya secara hati-hati dan penuh penghayatan.

Namun dalam prosesnya belakangan, ketegangan tarawih ini pelan-pelan mulai mencair. Tidak sedikit warga NU yang saya saksikan, mengakomodasi tarawih ala modernis, 11 rakaat, meskipun tidak secara terbuka. Adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan alm. KH. Hasyim Muzadi yang bisa dianggap mampu mencairkan ketegangan ini.

Dalam sebuah acara diskusi di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, pada awal 90an, Gus Dur menceritakan kisah alm. Hasyim Muzadi, kala itu masih menjabat ketua PWNU Jawa Timur, ketika memediasi “gegeran” bilangan tarawih yang disodorkan anak-anak Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Adik KH. Muchit Muzadi ini dengan enteng menjawab, “Tarawih 20 boleh, 8 rakaat ya boleh. Enggak tarawih juga boleh,”

Gus Dur sendiri saat menjadi ketua PBNU mengaku kerap menerima curhat beberapa kiai NU. Mereka sedih melihat banyak koleganya “berkhianat” ke 8 rakaat ketika diundang memimpin tarawih di pendopo kabupaten. Pada masa itu memang cukup banyak bupati/wali kota yang memilih 8 rakaat.

Dengan santainya Gus Dur menjawab curhatan itu. Menurut cucu pendiri NU ini, pada dasarnya kiai-kiai tersebut sudah niat tarawih 20 rakaat. Hanya saja sewaktu memasuki pendopo kabupaten, mereka mendapat kabar gembira, yakni mendapat diskon 60%—yang awalnya 20 rakaat menjadi 11 saja. Mereka, imbuh Gus Dur, tetap mendapat pahalanya utuh.

Pencairan ketegangan ritual keagamaan ala Gus Dur amat sangat diperlukan, utamanya dalam menjembatani relasi Islam-Kristen. Selama dua dasawarsa ini, Kristen di Indonesia menjadi sansak hidup, diperkusi terus-menerus. Situasi ini, jika boleh jujur, tak lepas dari kuat dan massifnya tafsir doktrin kebenaran-Islam-berdosis-tinggi yang diajarkan dalam pendidikan. Ada kesan kuat pendidikan tersebut ingin menghasilkan; semakin Muslim seseorang, semakin ia akan membenci non-Muslim.

Padahal, yang dibutuhkan bangsa yang beragam ini adalah kebalikan dari itu, yakni semakin relijius seseorang, semakin ia bisa memahami dan berempati pada yang berbeda keyakinan. Sosok seperti ini, saya kira, bisa dilacak dari diri Gus Dur, menurut cerita Prof. Ali Maschan Moesa, saat ia memberi kuliah saya di pascasarjana Hukum Islam Tebuireng tahun lalu.

Syahdan, kata kakak Ali Masykur Moesa ini, Gus Dur didatangi seorang Muslim NU yang menangis karena anaknya berpindah keyakinan ke Kristen. Dengan gaya khasnya, Gus Dur mengatakan, “Rasul Allah itu jumlahnya 25 orang, ada satu yang masuk Kristen. Biasa-biasa saja. Sudah jangan menangis, anaknya didoakan saja ya, Pak.” Kami pun tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya.

Cerita “silat” Gus Dur di atas menyadarkan kita semua, bahwa tugas menjaga keragaman Indonesia membutuhkan figur yang dewasa dalam beragama. Cirinya, ia tidak minder dengan keragaman dan senantiasa berusaha mencari titik persamaan antarperbedaan.

Sosok seperti ini hanya bisa dihasilkan oleh sistem pendidikan yang sejak awal mengajarkan keragaman, seperti halnya potret tarawih di Masjid al-Akbar atau puluhan umat Islam yang datang ke gereja korban bom Surabaya.

Aan Anshori adalah koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur, GUSDURian, mahasiswa S2 Hukum Keluarga Islam Univ. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

Share: Cerita Silat Gus Dur Meredam Tarawih dan Yesus