Isu Terkini

Setahun Pandemi di Mata Ahli Epidemiologi

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Tepat setahun yang lalu, Senin (2/3/20), Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Kasus pertama itu diumumkan sekitar empat bulan setelah ditemukannya kasus pertama Covid-19 di Cina.

Hari ini, Selasa (2/3/21), pandemi masih berlangsung dan jumlah kasus Covid-19 di tanah air sudah mencapai 1.341.314, 36.325 meninggal dunia dan 1.151.915 sembuh, berdasarkan data dari laman Worldometers. Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga memprediksi jika ada kemungkinan Covid-19 akan menjadi endemi secara global. Dengan kata lain, Covid-19 akan menjadi penyakit musiman seperti halnya Tifus dan DBD.

Sejak kasus pertama diumumkan, Indonesia jatuh bangun dan sudah mengambil berbagai kebijakan untuk menangani Covid-19. Beberapa di antaranya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) hingga PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).

Kebijakan tersebut tentu saja langsung berdampak ke sektor ekonomi. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, mengalami pemotongan upah, tak bisa menjalankan aktivitas bisnis karena pembatasan ruang gerak, dan sebagainya.

Terkait setahun pandemi Covid-19 di Indonesia, Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) dr. Riris Andono Ahmad berharap seluruh stakeholder bisa berkolaborasi daripada berkompetisi. Meski, menurutnya, hal tersebut masih terlihat sangat sulit untuk dilakukan.

“Kita masih bisa melihat, kadang, stakeholder itu, ada nuansa berkolaborasi tapi sering juga berkompetisi. Ini nggak akan bisa berhasil (menangani pandemi COVID-19) kalau saling berkompetisi, saling mementahkan dan seterusnya,” kata dr. Riris saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (2/3).

“Saya rasa mengkritisi itu penting tetapi kemudian ada nuansa, sekarang itu kritisnya seringkali lebih untuk menunjukkan siapa diri mereka, dibandingkan mencari solusi masalahnya.”

Riris juga mengingatkan bahwa hal berbahaya lain di tengah masih berlangsungnya pandemi saat ini adalah soal banyaknya informasi yang simpang siur, banyaknya hoaks di sosial media, hingga mudahnya orang-orang mencari informasi dan percaya justru kepada orang-orang yang bukan expert di bidangnya.

“Karena dari perspektif kami kan, kami mencoba bersusah payah mencari cara yang secara teknik itu work base untuk situasi tertentu. Tapi malah ada saja pihak yang bilang kalau epidemiolog itu cuma bisa ngomong, sudah dibayar ini dan sebagainya, itu kan sesuatu di mana orang boleh beropini. Tetapi pada situasi seperti ini, (epidemiolog) minimal punya knowledge yang lebih baik terkait dengan bagaimana penyakit berperilaku di populasi.”

“Apa-apa saja yang secara konseptual itu bisa bekerja, itu memang ilmu yang dipelajari para epidemologi. Itu yang menyebabkan keprihatinan sih.”

Sekadar informasi, selama setahun terakhir, masyarakat seringkali dibuat bingung dengan berbagai kebijakan yang tidak kompak antara pemerintah pusat dan daerah. Misalnya, di saat pemerintah daerah berupaya menegakkan aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemerintah pusat justru mewacanakan pelonggaran PSBB, belum lagi beda kebijakan pelonggaran transportasi antara DKI Jakarta dan pusat, dan berbagai kebijakan lainnya.

Share: Setahun Pandemi di Mata Ahli Epidemiologi